Pelangi Tak Berwarna [Bag.1]

Hari ini adalah hari penentuan. Bertahan atau tersingkir dari Jakarta. Dia akan test wawancara kali ini. Sebelumnya dia telah lulus test tertulisnya dua hari yang lalu. Antrian baru sampai nomor 26, padahal dia nomor 47. Masih panjang untuk mempersiapkan lagi semuanya. Dia memasang strategi, dari cara duduk di depan penguji, gaya bahasa yang digunakan, dan juga cara menjawab dengan lidah keilmuan. Lima hari latihan tak boleh sia-sia. Ditunggunya nomor-nomor itu dengan urut. Masih saja sempat harapan tingginya lahir, harapan yang dibangunnya sejak awal dia merantau. Kini nomor itu datang, tepat pada angka 47.

“Selamat siang. Silakan duduk!”, penguji menyilakan. 

“Terima kasih, Pak”, jawabnya dengan nada tegas. Diletakkan tubuhnya di kursi yang tersedia. Punggungnya tak menyentuh sedikit pun. Tegap dan tenang. Terkadang irama nafasnya terdengar agak tersengal, nervous. 

“Nama saudara siapa, asal mana, lulusan apa, dan kesini ada urusan apa?”, tanya penguji II, seperti dia sudah hafal urutan kata pertanyaan itu. 

“Perkenalkan, nama saya Urip Subahagyo, pak. Asli dari Pracimantoro, Wonogiri Selatan.”, jawabnya. dialek bahasa jawanya tak bisa disembunyikan. 

“Urip Subahagyo. Nama yang sangat filisofi. Ternyata, masih ada saja nama jawa penuh makna di zaman sekarang”, ujar penguji I, akrab. sepertinya pengji I lebih bersahabat dibanding penguji II. 

“Lalu saudara lulusan apa? Dan apa tujuan saudara datang kemari?”, sambung penguji I. 

“Saya lulusan SMEA Manajeman, Pak. Saya datang ke sini, ingin menjadi salesman di perusahaan yang bapak pimpin.”, jawabnya yang masih memakai kaidah EYD semampunya. 

“Kamu lulusan tahun ini?”, tanya penguji I lagi. 

“Iya, Pak. Saya baru lulus tahun ini.”, jawabnya pasti. 

“Berarti kamu tidak punya pengalaman kerja?”, samber penguji II. 

“Belum.”, jawab Urip layu. Dia sudah tahu ending-nya kemana. 

“Jika Pengalaman tak punya, lalu untuk apa saudara datang ke perusahaan ini! Di sini untuk bekerja, bukan mencari pengalaman kerja!”, bentak penguji II meninggi. kritikan itu membuat kepalanya pusing sejenak. Dia mulai kewalahan mengatur dirinya. Namun, dengan cepat, dia berhasil tenang kembali seperti semula. 

“OK, pertanyaan akhir saya. Apa tujuan saudara kerja di sini? Mengapa saudara memilih perusahaan ini?”, ujar Penguji II yang masih dengan muka masam. 

“Tujuan saya ke sini, ingin mengembangkan seluruh bakat dan keahlian saya. Dan mengapa saya memilih perusahan ini, karena perusahaan ini memiliki Visi dan Misi yang sama dengan tujuan saya. Dengan kata lain, perusahaan yang bapak pimpin sangat mendukung dan menunjang untuk karir saya ke depan.”, penjelasan memang agak berbelit. Daripada tak menjawab. 

Penguji itu saling bertatapan. Mengerutkan dahi ke atas, entah apa makna dari kode itu. Sepertinya memutuskan suatu hasil. Mereka pun menyuruh Urip mengisi daftar hadir dan biodata. Tidak lupa mencantumkan nomor telepon yang bisa dihubungi. Pengumuman seminggu lagi. Yang akan menerima panggilan telpon, itulah yang akan diterima, kata salah satu penguji sesaat sebelum Urip meninggalkan kursi panas itu. 

Sebentar sekali wawancaranya. hanya sepuluh menitan, batinnya. Padahal dia menunggu sejak jam enam, hingga sekarang tilawah sebelum azan sudah terdengar. Pikirannya sudah adem. Dia optimis bisa bertahan di ibu kota ini. 

*****
Arif Setiyanto


Next      : Pelangi Tak Berwarna (Bag.2)[Habis]


Ikuti PenaAksi[dot]Com di twitter dan gabunglah bersama kami di facebook untuk mendukung gerakan "Saatnya Mahasiswa Menulis"
Post ADS 1
Banner
Banner