Arjuna Berjanji Cinta [Bag.1]


42 arjuna

TERNYATA, YANG BIKIN RESAH PARA CEWEK-CEWEK ITU SATRIA WIBISANA. YANG NGAKU NAMANYA ARJUNA. PLAYBOY KELAS KAMPUNG!!!!!!! 

Aku hanya mampu meredam kemarahan. Gigi gerahamku hanya mampu aku adu dengan gigi geraham yang satunya. Ini pasti perbuatan anak Sialan itu! Anak Primitif! lantunan cacian itu seperti sudah kuhafal lama di luar kepala. Semua keadaan ini membuat titik didih darahku meninggi. Kucabut paksa famflet itu. Sepertinya, perlu ada pembelajaran bagi dia. 

Kucari dia. hari ini aku harus membuat perhitungan dengannya. Ember mulutnya harus kusumpal dengan kepalan mentah agar tak bocor lagi. Dari kejauhan kutemukan dia di kantin biasa. Langkahku semakin mantab dan pasti. 

“Ronald! Lu yang…………Hei!!!!”, teriakku. Dia kabur. 

Sialan. Dia mengajakku jogging di siang bolong mengelilingi kantin. Belum sempurna satu putaran penuh, cengkeh rokok ditubuhku keluar semua. Aku memang bukan cowok penikmat olahraga. Keliling kantin kecil ini saja, sudah membuat nafasku tak seimbang. Namun, Ronald sepertinya juga sama. dia sudah membungkuk, mengatur system pernafasannya. 

“sialan loe, Nal. hari gini Ngajak marathon!”, kutangkap tas yang digendongnya. Namun, aku juga harus meniru tingkah lakunya. Ngos-ngosan!! 

Dengan seketika, kudorong dia kedepan. Tersungkur di tanah. Wajahku memerah, aliran deras keringatku mulai keluar. Kulihat dia mulai bangkit. Terdengar kata-kata kotornya. 

“Apa-apaan nih?!”, ujarnya basa-basi sambil merapikan kemejanya yang kotor. 

“loe yang masang famflet ini ke mading jurusan kan?”, tanyaku balik, sembari menunjukkan famflet yang kucabut tadi. 

“dasar orang kampong! Udik! Bisanya main tuduh!”, bentaknya melawan. Gayanya yang sok jagoan, keluar. 

Aku tak boleh terpancing kata-katanya. Dia memang ahli dalam membakar hati orang. Mungkin dia dapatkan ilmu itu dari perkumpulan arisan ibu-ibu di rumahnya. Banci. Aku tak mungkin menghabisinya di kampus ini, aku bisa dapat kartu kuning untuk yang kedua, Drop Out! 

“lue jawab iya apa nggak. Cuma itu doang, banci!”, gertakku. Aku sengaja membuatnya panas. 

“Apa loe bilang. Bukannya eloe yang banci! Arjuna, Satria Wibisana!”, mengeja namaku lengkap, mengejek. 

“oh, berarti emang banci satu ini yang bikin ulah!”, jawabku santai. Semoga dia marah dengan perkataanku tadi. 

Kepalannya segera menyambar mukaku. Kutolak, dan kucegah dengan tanganku yang sigap dari tadi. Dengan seketika aku memegang kedua tangannya dan memelintir kebelakang badan. Kujatuhkan ke tanah. 

Sudah kutebak, dia cuma cowok yang banyak omong, tenaga nol. Tukang rusuh, tukang provokasi. Pengecut. 

“Cuma segitu doang kekuatan loe, banci kaleng!”, celaku. Dia melawan, tapi penguncianku cukup kuat. 

“oke. Oke. Gue nyerah, Bi. gue salah ama loe, gue minta maaf!”, jelasnya tak jelas, mungkin karena wajahnya terlalu dalam kusungkurkan ditanah. 

Kulepaskan dia. kubiarkan merapikan wajah, kemeja, dan celananya dari tanah. Aku melangkah mundur dan pergi meninggalkannya. Sejenak, kurasakan ada yang mengejarku. kumenoleh, dan sepersekian detik segera kuhindar tendangannya. Dengan tiga langkah, dan kuasai dirinya lagi. Satu hantaman di perut sepertinya sudah membuatnya tak bisa berjalan sempurna. Tak ada perlawanan. Bocah macam dia memang tak perlu dijelaskan dengan perkataan. 

******

Arif Setiyanto

Ikuti PenaAksi[dot]Com di twitter dan gabunglah bersama kami di facebook untuk mendukung gerakan "Saatnya Mahasiswa Menulis"
Post ADS 1
Banner
Banner