Tuhan Mendengarkan

Matanya terbuka. Kehidupan di hari yang baru akan segera menjemput. Namun, poros dari putaran nasib belum mau berputar memindahkannya dari zona kemiskinan. Orang-orang memanggilnya Abah Juki. Sang manusia grobak. Rumahnya hanya sebatas luasan ember grobak yang mampu berpindah kemana-mana, tepatnya kemana dia melangkah, di situlah rumah. Yaa, keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Adalah teori klasik yang sudah butut, yang kini mengitari ruji-ruji ban grobaknya.

Dia langsung menyisir pagi. Dengan langkahnya yang cepat, dia melewati bangunan demi bangunan, jembatan demi jembatan, tak ingin didahului satpol PP yang siap menangkapnya. Hidup sebatang kara mendidiknya untuk egois. Baginya, tak ada lagi orang baik lagi di negeri ini. Hanya ada manusia-manusia sampah yang setiap hari memulung uang. Seorang perampok yang siap membunuh nyawa bagi yang menghalangi. Sama seperti dia. manusia buangan hasil dari seleksi dunia yang kejam. 

Teringat istrinya. Yang kini entah dimana juntrungannya. Terbayang jelas saat istrinya mengucapkan kata cinta dengan lugu kepadanya. Dan karena ucapan itulah yang membuat dia bercerai tanpa sidang. Istrinya mengucapkan cinta lagi. Namun, bukan dihadapannya, tapi pada juragan tanah yang jago merebut bini orang dan sekaligus merebut tanah serta rumahnya. Pagi masih indah, diwarnai beranekaragam kendaraan dan berjuta kubik asap knalpot. Batuk beratnya masih setia menemani irama langkahnya. Tak peduli. 

“bang, beli abu gosoknya?”, teriak seorang wanita memanggil. 

“maaf bu. Saya bukan tukang abu.”, jawabnya bersahaja. 

“lho. Trus abang apaan? Jangan-jangan pemulung ya?”, ucapnya dengan nada jijik. 

“bukan……bukan……!”, elaknya, memelas. 

“bohong! Hey satpam blo’on. maunya gaji naek, kerjaannya molor doang. Nih ada gembel masuk !!”, wanita itu meneriaki dua satpam perumahan yang langsung mendekati. 

“bukan…Pak…. Saya… bukan….pemulung di sini!” 

“ayo keluar gembel!”, dua satpam menariknya keras. Tak mungkin dia mampu mengelak, tenaga dua penjaga itu terlalu kuat. 

Dengan tidak menggunakan sedikitpun akal waras, satpam melemparnya dengan kasar, keluar dari kawasan perumahan itu. Dengan senjata tongkat hitam, mereka lalu menghajarnya tanpa jeda. Sedikit agak sadar, Bah Juki mendengarkan umpatan-umpatan kotor dari dua manusia tak biadab itu. Dicarinya teman jalannya. Grobak. Sebuah teman yang tak pernah mengeluh mengikuti kemanapun nasibnya bergulir. 

Dunia terkadang tak adil bagi Bah Juki. Juga bagi manusia-manusia yang satu spesies dengannya. Dia langsung menelusuri kawasan rumah makan sederhana. Dari warteg, masakan padang, warung kopi, warung makan sunda. Dirasakan perutnya menggeliat, mungkin Enterobius vermicularis dalam usus besar meminta jatah makan. Disapunya tong sampah dengan tangan untuk menemukan sesuatu yang masih dikatakan makanan. Tak ada. Beralih ke tong sampah lainnya. Masih dengan harapan sesuatu itu bisa dia makan. Aroma busuk memaksanya berhenti, apa daya. Usus dalam perut sudah hampir ruwet.

Arif Setiyanto

Ikuti PenaAksi[dot]Com di twitter dan gabunglah bersama kami di facebook untuk mendukung gerakan "Saatnya Mahasiswa Menulis"
Post ADS 1
Banner
Banner