Senja Merah di Pelupuk Mata

Kuda besi ekonomi yang selalu berpihak pada kaum alit ini masih merangkak pelan hengkang dari Senen sesekali berhenti. Seakan selalu mengalah dan menyilakan jika ada kereta kelas mahal yang hendak berpapasan ataupun mendahului. Aku masih sibuk membaringkan badan di bawah kursi penumpang untuk mendapat posisi tepat: tak diketahui petugas, dan mendapat belas kasih dari penumpang yang duduk di atasku.

Tak ada karcis di genggaman. Inilah perilaku nakal yang bisa dilakukan rakyat marginal macam kami. Mana ada wadah yang tepat untuk kami belajar korupsi dan merugikan ekonomi negara selain gerbong ketiga dari dua belas yang aku tempati sekarang.

Alangkah maha nikmatnya para tikus berkerah putih nan berdasi yang mengeruk kekayaan bangsa tanpa merasa sedikit dosa itu. Kriminal kelas teri yang aku lakukan saat ini saja begitu nikmat. Berteduh di bawah ini meski kotor, sangatlah nyaman, hitam gelap, dan selalu menghembuskan hawa menguap –mengantuk-. Aku benar-benar kepincut dengan trik kotor yang diajarkan Bang Mamat ini. Kenapa tak dari kemarin-kemarin aku menjadi koruptor.

Hiruk pikuk gerbong ini tak kalah heboh dengan pasar tumpah yang sering diumbar saat-saat bulan puasa. Dari pedagang asongan, penjual mainan, CD bajakan, sampai transaksi pulsa elektrik terjadi di sini. Namun, tak sedikitpun mengganggu kenyamanan tidur siangku kali ini. Berbekal informasi dari seorang penumpang, sekitar subuh nanti aku bakal transit di stasiun Jebres dan meneruskan perjalanan bus Solo-Praci untuk landing di daratan Wonogiri paling barat, Manyaran.

Hari makin gelap. Nuansa lebaran semakin pekat lewat dentuman suara takbiran yang bersahutan dari luar sana. Lama-lama stok kesabaranku kian habis. Kereta ini makin lelet merayap di kedua sisi rel. Tak sengaja seorang bocah menumpahkan wedang teh hangat di pahaku sebelah kanan. Sempat kelojotan aku merespon. Seketika aku mencium aroma teh yang sebentar lagi lengket di badan itu.

Ketidaksengajaan itu lagi-lagi malah menghasilkan satu wajah di kolong pejaman, simbok. Racikan tehDhandhang –merek teh terkenal dengan cita rasa tinggi, dan aromanya yang khas- ditambah singkong bakar yang dibenam di pawon –tungku besar tempat memasak- apalagi ditemani gesekan pita hitam di tape yang mendendangkan tembang Yen Ing Tawang Ana Lintang. Cukuplah untuk mencintai kecintaan simbok padaku.Alangkah girangnya beliau saat nanti bertemu anak semata wayangnya yang sudah bergelar ‘Bang Thoyib’ ini. Sorot mata pribumi yang penuh dengan kesahajaan pastilah akan berlinang-linang menganak sungai.

Angin pagi khas kampung pedalaman sudah menusuk isi rongga dadaku. Segera aku bangkit dari pembaringan setelah merasa aman tak bakal ada lagi pemeriksaan. Penumpang berbondong-bondong turun di setiap Stasiun dengan barang bawaan berat maupun ringan, kelelahan mereka berdesak-desakan seakan terbayar kontan dengan wajah-wajah riang sanak saudara yang melambaikan tanganwelcome dari balik sana.

Aku duduk di kursi setelah ditinggal oleh penumpangnya turun. Mataku masih lengket, sesekali memasang telinga untuk mendengarkan informasi sampai mana posisi kami. Memang, suaranya terdengar lirih. Hanya simbok-simbok yang tergabung dalam paguyuban pedagang asongan Tegal yang memberitahu para penumpang hendak sampai stasiun mana, tapi pejamanku makin dalam dan kian pulas.

*****

“Mas, ngandap pundhi?”, seseorang mencolekku.

-Mas, turun mana?-

aku menolak tangannya tak sopan, dan menggeliat seperti satpam yang tak tidur sebulan.

“Turun, Mas. Sampun Siang!”

Siang? Jebres. Akhirnya!

Sekonyong-konyong aku bangkit dan kuraih tas kusam kecil ala tukang bangunan. Tak kugubris aku melintasi barang apa dan siapa yang punya. Tak ada lintasan lain di otakku selain sebuah desa mungil, pelosok dan menjorok, yang tak pernah diperhitungan oleh pihak manapun. Spektrum mataku menyorot sebuah keinginan besar supaya hendak sampai sebelum posisi menentukanku. Hatiku girang bukan alang-kepalang, akhirnya aku bisa pulang. Mudik! Gratis pula!

Namun......

Terlalu heroik aku merayakan keberhasilanku, sebuah plang besar berlatar hijau berlafal putih besar seakan meneriaki kedua sisi telingaku.

STASIUN MADIUN!

Lagi-lagi tulisan itu bagiku adalah tamparan mahadahsyat yang mendapat di pipi kiriku. Sakit, dan begitu ngelekit.

Kepalaku kini berpusing, kian berputar. Sekeluarku dari tempat kuda besi itu kulihat segerombolan orang berduyun-duyun memakai baju muslim dengan tangan berlambai kain sajadah. Tertawa lepas seperti tak punya beban barang sedikit. Sholat id sebentar lagi!

Senja masih lama. Namun, aku seakan mati sebelum waktu ketentuan. Sekarang aku harus berpikir ulang agar korupsi kelas teriku lancar kembali. Kutunggu pengumuman kapan kereta sialan itu pulang kembali ke asal. Mungkinkah aku bisa berlebaran di tengah simbok-bapak. Atau aku bakal tak ketemu lagi untuk ke empat kalinya.

Tahukah kawan, seluruh beban batinku itu tersandar pada pelupuk mataku. Hingga berat, lalu terasa berat hingga menetes tak keruan. Dan masih tubuhku terbujur di ruangan gelap bawah kursi penumpang.


Arif Setiyanto

Ikuti PenaAksi[dot]Com di twitter dan gabunglah bersama kami di facebook untuk mendukung gerakan "Saatnya Mahasiswa Menulis"
Post ADS 1
Banner
Banner