Tinjauan Terhadap RUU Pendidikan Tinggi

Pada tahun 1994 Indonesia bergabung dengan World Trade Organization, sebuah lembaga perdagangan dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang ratifikasi “Agreement Establising the World Trade Organization”. Salah satu hasil kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam WTO adalah dijadikannya pendidikan sebagai sektor jasa yang diperdagangkan. Pendidikan menjadi salah satu dari 12 sektor jasa yang diliberalisasi dalam GATS (General Agreement on Trade Services).

Sebagai anggota WTO tentu saja Indonesia memiliki keterikatan terhadap keputusan-keputusan yang disepakati. Oleh karena itu Indonesia wajib mematuhi WTO untuk membuka pasar bebas dalam pendidikan. Secara legal genderang liberalisasi pendidikan telah muncul pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Liberalisasi pendidikan makin nyata dengan dikeluarkannya Perpres No 77 tahun 2007 yang menyatakan bahwa sektor pendidikan dapat ditanami modal asing hingga 49%.

Pada tahun 2009 UU Badan Hukum Pendidikan disahkan. Pembuatan UU No 9 tahun 2009 tersebut berdasarkan atas amanat yang terdapat pada UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 pasal 53 untuk menjadikan lembaga pendidikan berbentuk Badan Hukum Pendidikan.

Pasal 53 UU Sisdiknas

(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri.

Sejak pembahasannya UU BHP sudah menuai kritik keras dan penolakan dari berbagai elemen. Sejumlah masyarakat yang menolak UU BHP kemudian mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi dan berakhir dengan putusan MK No 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa UU BHP inkonstitusional sehingga tidak berlaku lagi. Pasca pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010 maka terjadi kekosongan hukum terhadap kampus-kampus BHMN yang sedang disiapkan menuju BHP. Ada 7 kampus yang berstatus BHMN yaitu UI, UGM, ITB, IPB, UPI, UNAIR, dan USU.

Menuju World Class University

Kata-kata persaingan global saat ini menjelma sebagai zikir yang senantiasa diucapkan dan didengung-dengungkan. Cita-cita menjadikan pendidikan nasional mampu bersaing secara global sebenarnya merupakan cita-cita yang sangat mulia dan patut didukung. Namun tanpa melihat realitas pendidikan saat ini cita-cita mulia tersebut hanya akan menjadi duri dalam daging. Alih-alih memperbaiki kondisi pendidikan malah akan menggerus hakikat dan makna pendidikan yang sesungguhnya.

Peringkat perguruan tinggi Indonesia dalam kancah dunia yang jauh tertinggal dari negara-negara lain hendaknya tidak menjadikan pemerintah gelap mata dalam mengejar peringkat semata. Akan tetapi yang terpenting adalah kebermanfaatan institusi perguruan tinggi dalam memberdayakan potensi Indonesia sehingga mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Prof. H.A.R. Tilaar mengatakan bahwa kampus-kampus di Indonesia akan menjadi World Class University bukan ketika mampu bersaing dengan negara-negara lain. World Class University adalah jika kampus-kampus Indonesia mampu memecahkan permasalahan masyarakat dan mampu mengolah kekayaan alam dan kebudayaan nasionalnya.

Pandangan guru besar UNJ tersebut tentu saja sangat beralasan karena saat ini kebudayaan-kebudayaan nasional Indonesia banyak yang hilang dan tidak terpelihara bahkan diambil oleh negara lain. Sedangkan kekayaan alam Indonesia yang begitu luar biasa belum mampu dikelola sendiri. Sebutlah tambang emas terbesar dunia yaitu PT. Freeport belum mampu dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Jadi perguruan tinggi seharusnya disiapkan untuk membangun bangsa dari berbagai keterpurukan. Tidak sekedar mengejar peringkat dunia dan menyiapkan tenaga kerja.

Masuknya Perguruan Tinggi Asing ke Indonesia

RUU PT mengizinkan perguruan tinggi asing untuk membuka cabangnya di Indonesia. Syaratnya adalah perguruan tinggi tersebut telah terakreditasi di negaranya. Pertanyaannya apakah tujuan perguruan tinggi asing di Indonesia benar-benar untuk membantu Indonesia meningkatkan kualitas SDM-nya? Sungguh mulia jika tujuan itu dilaksanakan, namun yang terjadi di lapangan justru bertujuan untuk mencari keuntungan.

Sektor jasa pendidikan telah menjadi sumber pemasukan yang sangat menguntungkan bagi negara-negara penyedia jasa. Tiga negara yang paling mendapaatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai Rp 126 triliun. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Pada tahun 1994 sektor jasa telah menyumbangkan 70 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total negara Kangguru tersebut. Sebuah survey yang diadakan pada 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Ekpor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sector jasa pendidikan melalui WTO.

Dapat dipastikan, Perguruan Tinggi asing di Indonesia tentu saja akan memasang tarif yang besar untuk biaya pendidikan. Akibatnya biaya pendidikan secara umum akan semakin mahal dan terciptanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Padahal pendidikan bukan sekedar masalah transfer pengetahuan akan tetapi juga berkepentingan dalam membangun karakter sebagai Indonesia dan menjaga budaya bangsa.

Menengok Anggaran dan Pendanaan Pendidikan Tinggi

Tahun 2011 ini alokasi APBN untuk pendidikan mencapai lebih dari 20% yaitu sebesar Rp 248,978 triliun. Sedangkan dari anggaran tersebut Pendidikan Tinggi mendapat alokasi Rp 28,8 triliun. Namun hanya Rp 5 triliun anggaran yang digunakan untuk pengembangan perguruan tinggi. Itupun harus dibagi untuk sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Perlu diingat bahwa 20% anggaran pendidikan termasuk gaji guru di dalamnya.

Minimnya anggaran tentu saja menjadikan perguruan tinggi di Indonesia sulit untuk berkembang. Terlebih dengan rumitnya urusan pengelolaan anggaran karena harus melalui pemerintah. Oleh karena itu pemberian otonomi merupakan salah satu upaya yang dilakukan agar perguruan tinggi mampu secara mandiri mencari dan mengelola dana. Kampus-kampus BHMN memang merasakan kebebasan dalam mengelola keuangan universitas. Jika sebelumnya proses pencairan dana terbelit masalah birokrasi kini menjadi lebih leluasa. Namun sayangnya otonomi dijadikan alasan untuk menaikkan uang kuliah mahasiswa dan membuka jalur-jalur penerimaan mandiri yang mengeruk dana besar dari mahasiswa.

Di dalam Bab Pendanaan RUU PT disebutkan bahwa dana berupa sumbangan pendidikan dapat diperoleh Perguruan Tinggi dari mahasiswa, orangtua mahasiswa, dan donator. Ketentuan ini terasa janggal karena mahasiswa masih terikat dengan orangtua yang berarti biaya kuliah mahasiswa masih ditanggung orangtuanya masing-masing. Sehingga ketentuan tersebut berarti biaya kuliah dibebankan secara ganda kepada orangtua mahasiswa.

Majelis Pemangku

Jika di BHMN terdapat Majelis Wali Amanat maka di RUU PT terdapat Majelis Pemangku. Anggota Majelis Pemangku terdiri dari:
Menteri atau yang mewakili;
Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan atau yang mewakili;
Menteri lain atau pemimpin lembaga negara nonkementerian atau yang mewakili;
Wakil dari Senat Akademik;
Pemimpin perguruan tinggi;
Gubernur;
Wakil dari Sivitas Akademika; dan
Wakil dari masyarakat.

Unsur-unsur tersebut diangkat dan diberhentikan oleh menteri. Dikhawatirkan besarnya peran pemerintah akan menumpulkan peran mahasiswa untuk mengkritisi setiap kebijakan yang merugikan. Terlebih lagi di bagian usulan perubahan terhadap draft RUU PT unsur wakil dari sivitas akademika dihapus sehingga tidak ada perwakilan mahasiswa di Majelis Pemangku.

Penutup

Pada akhirnya semua akan kembali pada satu permasalahan inti dari berbagai permasalahan pendidikan di Indonesia yaitu kemauan politik pemerintah untuk membangun negara melalui pendidikan. Selama dana yang dianggarkan minim, kebijakan tambal sulam, dan permainan bisnis serta politik dalam pendidikan, keinginan untuk bersaing dengan negara lain hanya akan menjadi mimpi yang semakin tak terlampaui.

Post ADS 1
Banner
Banner