Mengembalikan Tradisi Belajar

Bismillahirrohmanirrohim 


Sungguh ironi, fenomena tawuran di kalangan pelajar menjadi pandangan yang sering kita lihat saat ini. Juga sering kita lihat pula banyak pelajar, bahkan anak-anak yang umurnya di bawah 6 tahun banyak menghabiskan hari mereka dengan bermain games atau chatting di warnet. Kita pun sulit menemukan pelajar yang ditangannya selalu memegang buku bacaan. Justru kita sering melihat pelajar yang tangan mereka hampir tidak bisa lepas dari sebuah alat komunikasi yang bernama handphone. Ditambah lagi dengan tayangan televisi yang telah berhasil mendoktrin para generasi muda yang semakin menjauhkan mereka dari minat membaca buku. 

Kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan generasi pendahulu yang memiliki tradisi belajar yang tinggi. Kita dapat belajar banyak dari Yahya bin Yahya yang sangat semangat dan gigih dalam menuntut ilmu. Semasa kecilnya, ia mendatangi Imam Malik untuk mempelajari suatu ilmu. Suatuketika Imam Malik sedang berkumpul dengan beberapa muridnyanya. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah teriakan “Ada gajah ! Ada gajah !”. Beberapa orang yang sedang berkumpul itu secara kontan berhamburan ke luar untuk melihat gajah. Semua keluar kecuali Yahya bin Yahya. Ia tetap dalam posisinya. Merasa heran dengan Yahya bin Yahya, Imam Malik bertanya, “Kenapa kamu tidak keluar untuk melihat gajah bersama yang lain? Bukankah binatang ini termasuk binatang yang langka di Andalusia?” 

Dengan tenangnya, Yahya bin Yahya menjawab, “Syeikh, saya datang jauh-jauh ke sini dari negeri saya untuk bertemu, belajar, dan meminta bimbingan Anda. Bukan untuk melihat seekor gajah?!” Mendengar jawaban itu, Imam Malik merasa kagum dan memberikan gelar Manusia Cerdas dari Andalusia untuk Yahya bin Yahya. 

Tokoh lain yang juga memiliki tradisi ilmu yang tinggi yaitu Imam Nawawi. Al-Badar bin Jamaah menceritakan tentang kisah Imam Nawawi sendiri. ‘’Setiap kali aku mengunjungi an-Nawawi, ia harus menumpuk-numpuk kitab-kitabnya supaya ada sedikit ruang untuk ku.’’ 

Dari Indonesia sendiri juga terdapat tokoh yang luar biasa yang memilih semangat yang luar biasa pula daalam menuntut ilmu. Tokoh tersebut adalah Mohammad Natsir. 

Ajip Rosidi bercerita tentang Natsir bahwa ia merupakan seorang yang haus ilmu. Setiap hari iia pergi ke rumah Tuan Hassan di Gang Belakang Pakgade dengan sepeda untuk mengurus penerbitan majalah Pembela Islam dan pada malam hari ditelaahnya Tafsir Al Qur’an dan kitab-kitab lainnya yang dianggap perlu, termasuk yang ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya. Dibacanya majalah-majalah tentang Islam dalam berbagai bahasa, seperti Islamic Review dalam bahasa Inggris, Moslemische Revue dalam bahasa Jerman, dan juga majalah al Manar dalam bahasa Arab yang terbit di Kairo. Hingga menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang biasa dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran karya Sayyid Quthb, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hassan 

Tokoh-tokoh tersebut menginspirasi kita bahwa tidak pernah ada kata berhenti untuk belajar. Niat yang lurus, tekad yang kuat, serta kesabaran merupakan bekal yang perlu diperhatikan dalam belajar. Ketiga faktor tersebut bila dilakukan secara terus menerus akan membawa kita ke zaman dimana tradisi belajar menjadi sebuah kebiasaan. 

Seorang penuntut ilmu yang ingin memperbanyak ilmunya, ia wajib mengerahkan segenap kekuatannya, sabar menghadapi segala kesulitan yang menghadang, ikhlas karena Alloh dalam mencari ilmu-Nya dan selalu meminta pertolongan-Nya. 

Semoga Alloh memudahkan kita dalam memahami sebuah ilmu, menjamkan pikiran kita, sekaligus menjernihkan hati kita untuk menerima cahaya ilmu. 

Gita Wulandari (Ketua Forum Perempuan UNJ)

Artikel yang sedang Anda baca saat ini merupakan salah satu kontribusi karya tulis yang dikirimkan ke redaksi Pena Aksi. Ingin berpartisipasi? Ikuti petunjuknya di sini.
Post ADS 1
Banner
Banner