Pengelolaan Migas Merah Putih?


ditulis oleh : Marwan Batubara (Dirut IRESS)

Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menggugat pengelolaan migas nasional yang saat ini didominasi asing. Megawati menyampaikan hal tersebut dalam keynote speech pada seminar "Migas untuk Kemandirian Energi" di Gedung DPR/MPR, Rabu (27/2/2013). Mega menyatakan pengelolaan migas tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, sekaligus mempertanyakan komitmen negara untuk memakmurkan rakyat, karena semakin berkibarnya bendera asing di blok-blok migas Indonesia. "Kalau saya diberi oleh staf saya melihat blok-blok yg ada di seluruh Indonesia, di mana merah putih kita? Bendera negara (lain) semua itu," ucap Mega. 

Setelah menggugat pemerintah, Mega berharap RUU Migas yang sedang dibahas akan menjadi landasan hukum pemanfaatan kekayaan alam bagi kebutuhan bangsa. Megawati juga berharap UU Migas baru kelak mengutamakan kepentingan nasional sehingga disebut UU Migas Merah Putih. Mega menganggap UU dan peraturan migas yang ada tidak berjalan maksimal sesuai konstitusi. Apakah pernyataan-pernyataan tersebut memang diucapkan secara sadar dan disadari juga penyebabnya? Lantas, bagaimana pula prilaku pemerintah yang digugat? Mari kita telusuri.

Pengelolaan migas nasional memang harus merujuk kepada amanat Pasal 33 UUD 1945. Dari sini perlu dibuat UU dan berbagai peraturan terkait yang konsisten. Sejak kita merdeka, hanya setelah tahun 1960-lah kita berhasil memiliki UU Migas yang diinginkan tersebut melalui ditetapkannya UU Prp. No.44 Tahun 1960. Lalu secara lebih spesifik, UU ini diperkuat lagi dengan UU No.8 Tahun 1971 yang menugaskan kepada Pertamina untuk menguasai dan mengelola seluruh cadangan migas yang ada di wilayah negara Indoensia.

Pada prakteknya, meskipun telah memiliki landasan hukum yang kuat berupa UU No.44/1960, baru pada awal tahun 1970-an lah kita bisa “menasionalisasi” lapangan-lapangan migas yang dikuasai asing sejak sebelum merdeka. Artinya, hanya sesudah 25 tahun merdekalah kita bisa menegakkan kedaulatan migas nasional sesuai konstitusi. Kedaulatan ini pun ternyata tidak utuh karena pada saat itu masih ada blok migas di Riau yang “tidak sanggup dinasionalisasi” mengingat pengelolanya adalah Caltex (sekarang Chevron) dari Amerika.

Namun setelah kriris 1997/1998, terutama sejak lahirnya UU Migas No.22/2001, kedaulatan migas yang telah sangat susah payah diperjuangkan, kembali sebagian besar dikuasai asing. Kembalinya dominasi asing karena mereka berhasil mempengaruhi pemerintah dan DPR untuk merubah UU Migas yang tadinya konstitusional menjadi sangat liberal. UU Migas No.22/2001 telah berhasil merampas kembali kedaulatan migas yang kita miliki sejak pemberlakuan UU No.44 Prp./1960 dan UU No.8/1971.

Mega tidak salah menampilkan gambar pancangan bendera-bendera asing di hampir seluruh wilayah migas kita, yang menunjukkan betapa dominannya mereka. Tapi Mega mungkin tidak sadar atau lupa bahwa kondisi tersebut terjadi justru akibat sikap pemerintahannya yang mendukung lahirnya UU No.22/2001. Bahkan beberapa minggu sebelum lengser, Mega masih menyempatkan diri menandatangani PP No.35 Tahun 2004, pada Oktober 2004. Jadi bukannnya menggugat, tetapi seharusnya justru Mega harus melakukan introspeksi dan meminta maaf kepada rakyat, karena beliaulah yang menjadi penaggungjawab utama lahirnya UU No.22/2001.

Disamping menjadikan asing dominan, UU Migas No.22/2001 pun telah membuat cadangan migas terus menurun. Pada saat negara-negara secara global mendukung BUMN mendominasi migas di negara masing-masing, sehingga membuat 77% cadangan migas dunia ada di tangan BUMN (Shaffer, 2011), Pertamina justru diperlakukan sama seperti perusahaan asing oleh pemerintahnya, sehingga hanya menguasi sekitar 17% cadangan nasional. Tak jarang Pertamina pun “dipinggirkan” seperti saat ingin menguasai blok Cepu atau Blok Semai V. Bahkan dalam menjual gas milik negara sekalipun, UU Migas memberi kesempatan kepada asing berperan, seperti skandal gas Tangguh yang dijual oleh BP ke China hanya US$ 3,35/MMBtu, sehingga negara dirugikan triliunan Rp setiap tahun!

Mega perlu menyadari bahwa UU Migas No.22/2001 memang melanggar konstitusi dan merugikan merah putih karena terbukti telah dua kali ditolak Mahkamah Konstitusi. Pada Desember 2004, MK antara lain menyatakan UU Migas inskonstitusional karena tidak menyerahkan pengelolaan migas kepada BUMN. Hal yang sama juga diputuskan MK pada November 2012, bahwa penyerahan sebagian besar blok-blok migas kepada asing melalui BP Migas, telah menghilangkan kedaulatan migas yang seharusnya dijalankan oleh BUMN.

Kesamaan Sikap
Setelah disadarinya penyebab terpinggirnya merah putih melalui semakin dominannya penguasaan asing dan dua keputusan MK di atas, ternyata pemerintahan SBY bersikap tidak jauh berbeda dengan pemerintahan Megawati. Selama hampir 2 periode memerintah, SBY tidak kunjung melakukan perbaikan. Pasal-pasal krusial dalam UU Migas No.22/2001 yang menyangkut kedaulatan migas yang telah ditolak MK pada 2004, tidak segera direvisi. Begitu pula dengan peraturan tentang larangan penjualan BBM sesuai harga pasar yang jelas melanggar konstitusi.

Harga obral gas Tangguh yang diwariskan Mega pun ternyata tak kunjung direnegosiasi oleh SBY, meskipun prosesnya telah dimulai oleh Wapres JK pada 2009. Malah Blok Cepu yang mempunyai cadangan benilai lebih dari Rp 1500 tiriliun diserahkan pengelolaannya oleh SBY kepada Exxon pada 2006, meskipun Pertamina telah menyatakan keinginan dan kesanggupannya. Untuk memuluskan penyerahan tersebut, SBY pun tega memecat Dirut Petrtamina, Widya Purnama.

Sambil menunggu ditetapkannya UU Migas baru yang konstitusional, dominasi merah putih diharapkan bisa meningkat jika Pertamina diserahi pengelolaan blok-blok yang habis masa kontrak. Salah satu yang bernilai strategis dan besar adalah blok Mahakam, disamping blok-blok lain, seperti Siak, Tuban, Sanga-sanga, Ogan Komering, dsb. Pada saat kontraknya berakhir 2017, blok Mahakam masih menyisakan cadangan bernilai sekitar Rp 1000 triliun. Pertamina pun telah menyatakan kesanggupan mengelola Mahakam sejak 2008 dan terus diulang setiap tahun hingga saat ini.

Ternyata pemerintahan SBY bergeming. Pertamina dinyatakan dan dipaksa untuk menyatakan tidak mau dan tidak mampu, baik secara teknis maupun secara keuangan. Jero Wacik dan Profesor Rudi Rubiandini cenderung memperpanjang kontrak pada Total dengan mengungkap berbagai alasan, termasuk merendahkan kemampuan SDM dan BUMN bangsa sendiri. Yang mengagetkan, Dewi Ariani, anak buah Megawati di PDIP, ternyata bersikap hampir sama, meskipun diungkap secara halus dengan menyatakan perlunya membiarkan Total menjadi opertor selama 5-10 tahun sejak 2017, sebelum diserahkan kepada Pertamina.

Sikap kedua pemerintahan tampaknya sama saja karena lebih banyak berretorika. Mereka abai mengutamakan konstitutsi dan kepentingan rakyat, serta tidak mampu independen atas pengaruh dan tekanan asing. Mereka terkesan cenderung berkolaborasi guna mendapat dukungan politik dan rente. Sikap asing yang ingin dominan dan cenderung menghalalkan segala cara merupakan hal yang lumrah. Namun sulit difahami jika ada oknum pemerintah yang tidak sadar sudah mengikuti agenda asing atau malah lebih memihak asing dibanding memihak konstitusi, rakyat dan negara sendiri.

Ke depan pemerintahan SBY, partai oposan yang dipimpin Meda dan seluruh komponen bangsa harus mendukung agar merah putih dominan di sektor migas. Hal ini perlu dibuktikan dengan sikap apakah blok-blok migas habis masa kontrak, terutama Blok Mahakam, diserahkan kepada BUMN. Selain itu, UU Migas yang baru kelak harus memuat ketentuan bahwa kedaulatan migas ada di tangan negara dan pelaksanannya dijalankan melalui BUMN. Rakyat tidak butuh retorika, dan sangat anti kepada antek asing. Buktikan merah putih bisa dan dominan![]
Post ADS 1
Banner
Banner