Kalah, Tertantang, dan Kemudian Menang (bag.1)


Oleh: Alwi Alatas


KALAH dan menang merupakan hal yang biasa terjadi dalam perjalanan sebuah ummat. Tak selamanya suatu ummat mengalami kemenangan dalam perjalanan sejarahnya, dan tak selamanya juga ia mengalami kekalahan. Jika suatu bangsa atau ummat terus menerus menang, maka kita tidak akan pernah menyaksikan terjadinya pergantian kepemimpinan bangsa-bangsa di dalam sejarah. Dan kalau sebuah ummat atau bangsa terus menerus kalah, maka sudah tentu ia tidak akan mampu muncul sebagai sebuah ummat, karena ia telah kalah dan hancur sejak awal kelahirannya. Terjadinya pergantian menang dan kalah ini telah diisyaratkan di dalam al-Qur’an:

إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُ وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاء وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada' . Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. “ (QS ali Imron (3): 140)

Silih bergantinya menang dan kalah semestinya menjadi pelajaran berharga bagi suatu ummat atau bangsa. Kemenangan tidak semestinya menjadikan mereka sombong, lupa diri, dan hilang kewaspadaan. Walaupun kemenangan itu menggembirakan, tidak tertutup kemungkinan suatu saat ia akan berbalik menjadi kekalahan.

Demikian juga, kekalahan tidak semestinya menjadikan suatu ummat lemah atau kehilangan optimisme. Karena boleh jadi, kekalahan itu suatu saat akan berganti menjadi kemenangan. Yang penting adalah bagaimana menjadikan kekalahan itu sebagai tantangan untuk bangkit kembali dan akhirnya menang.

Andalusia: kemenangan yang berganti menjadi kekalahan


Kemenangan yang cepat dan spektakuler, ternyata bisa juga berubah menjadi kekalahan, walaupun kekalahan itu merayap secara perlahan-lahan sebelum akhirnya menjadikan si pemenang takluk sepenuhnya. Ini yang pernah terjadi pada peradaban Islam di Andalusia. Kita mengetahui bahwa kaum Muslimin menang dengan cepat dalam proses penaklukkan Spanyol. Tariq bin Ziyad menyeberang Selat Gibraltar pada tahun 92 H yang bertepatan dengan tahun 711 Masehi. Proses penaklukkannya berlangsung cepat, karena Kerajaan Visigoth di Spanyol pada masa itu sudah mengalami banyak kemunduran. Sebagian penduduk Spanyol justru melihat kedatangan pasukan Tariq sebagai pembebas, bukan sebagai penjajah. Hanya dalam waktu dua atau tiga tahun, hampir seluruh wilayah Spanyol jatuh ke tangan kaum Muslimin. Spanyol kemudian dikenal sebagai Andalusia oleh kaum Muslimin dan pada wilayah ini berkembang peradaban Islam yang cukup penting untuk waktu yang panjang, yaitu selama hampir delapan abad.

Kemenangan Tariq bin Ziyad, yang didukung juga oleh atasannya Musa bin Nusayr, merupakan sebuah kemenangan yang cepat dan gemilang. Walaupun pada awalnya keadaan tidak stabil, tetapi sekitar setengah abad kemudian berkembang peradaban Islam yang sangat penting di wilayah ini. Perkembangan pesat ini terutama berlaku setelah terbentuknya kerajaan Bani Umayyah dengan masuknya Abdurrahman al-Dakhil ke Andalusia, setelah Dinasti Umayyah di Damaskus runtuh dan digantikan oleh Dinasti Abbasiyah.

Saat melihat kemenangan dan kejayaan Andalusia, mungkin tidak ada yang pernah berpikir tentang kemungkinan terjadinya kekalahan. Karena peradaban Andalusia sangat kuat, maju, dan indah. Ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat pesat. Tetapi kenyataan menunjukkan hal yang berbeda. Mereka pada akhirnya berada di pihak yang kalah oleh kerajaan-kerajaan Kristen di Spanyol utara yang tumbuh membesar secara perlahan dan belakangan mampu menaklukkan wilayah Muslim sedikit demi sedikit hingga yang terakhir ini semakin terdesak ke selatan.

Bagaimana kaum Muslimin yang menang gemilang pada akhirnya justru mengalami kekalahan dan penaklukkan kembali (reconquista) oleh lawannya? Ternyata hal ini memiliki sejarah yang panjang, bahkan sejak awal kemenangan kaum Muslimin sendiri. Ketika kaum Muslimin menaklukkan Andalusia pada tahun 711-714 Masehi, ada sekelompok kecil sisa-sisa pasukan Visigoth yang melarikan diri ke sebuah dataran tinggi di bagian utara Andalusia, dipimpin oleh seorang bernama Pelayo. Mereka bersembunyi di dataran tinggi, sementara pasukan Muslim berjaga-jaga di bawah. Mereka bertahan tanpa makanan dan minuman, hanya sekedar dari apa yang bisa mereka dapatkan dari lingkungan di sekitar mereka. Mereka kelaparan dan jumlah yang mampu bertahan menjadi tinggal tiga puluh hingga empat puluh orang saja.

Pasukan Muslim yang berjaga di bawah akhirnya memutuskan untuk meninggalkan mereka, karena orang-orang ini dianggap sudah tidak lagi mempunyai kekuatan. Tetapi Pelayo dan pasukannya yang kecil dan lemah ini ternyata perlahan-lahan mampu bangkit dan nantinya mendirikan Kerajaan Asturias di utara Andalusia. Beberapa abad kemudian, orang-orang Kristen di Utara semakin kuat, dapat membentuk beberapa kerajaan, dan perlahan-lahan mulai merebut kembali wilayah-wilayah Muslim di Selatan. Pada tahun 1085, kerajaan Kristen di utara berhasil merebut kota Toledo. Pada tahun 1236, giliran kota Cordova yang jatuh ke tangan pasukan Kristen, padahal dulunya Cordova merupakan pusat pemerintahan Islam di Andalusia. Tentang jatuhnya wilayah-wilayah Muslim ini, al-Maqqari (1984), seorang sejarawan, mengutip perkataan seorang ulama Andalusia:

Situasi di mana kaum Muslimin pada hari itu mengepung gunung serta beberapa manusia terpojok yang melarikan diri ke atasnya, terbukti di belakang hari sebagai sebab utama dari sejumlah penaklukkan di mana generasi keturunan Pelayo berhasil melakukan penaklukkan atas wilayah-wilayah Muslim yang keadaannya semakin meningkat pada tahun-tahun belakangan ini, yaitu bahwa musuh Allah tersebut telah mereduksi banyak kota yang ramai penduduknya; dan, pada saat saya menulis sekarang ini, kota Cordova yang agung ... telah jatuh ke tangan orang-orang kafir itu. Semoga Allah menundukkan mereka!

Sebenarnya, Pelayo bukanlah satu-satunya faktor yang mengantarkan pada kekalahan Muslim di Andalusia. Masalahnya ada di kaum Muslimin sendiri yang belakangan mengalami perpecahan dan sibuk dengan kekayaan duniawi. Kalaupun Pelayo dan pasukannya ketika itu berhasil dikalahkan, mungkin akan tetap ada ’Pelayo-Pelayo’ lain yang mengancam keberadaan mereka.

Kekalahan kaum Muslimin masih belum berakhir sampai di situ. Wilayah mereka terus berjatuhan ke tangan lawan hingga Granada, kerajaan Muslim yang terakhir di Andalusia, jatuh pada tahun 1492. Bersama dengan dikuasainya negeri tempat keberadaan istana Alhambra itu, kemenangan dan kejayaan gemilang kaum Muslimin Andalusia menjadi hilang tak berbekas. Kemenangan berbalik menjadi kekalahan. Dan hal itu disebabkan karena mereka mengingkari nikmat-nikmat yang telah mereka terima sebelumnya. Hal ini seperti yang disebutkan al-Qur’an:

وَضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُّطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَداً مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللّهِ فَأَذَاقَهَا اللّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُواْ يَصْنَعُونَ

”Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari ni'mat-ni'mat Allah. karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS an Nahl (16): 112).*

Penulis adalah kandidat doktor bidang Sejarah di IIUM dan penulis buku-buku best seller

Hidayatullah.com
Post ADS 1
Banner
Banner