Antara “Sekolah Hati” dan “Sekolah Bergengsi”


oleh: Adi Nurcahyo

ALHAMDULILLAH, awal Mei ini anak-anak sudah melewati Ujian Nasional (UNAS/UN), yang diakhiri untuk tingkat Sekolah Dasar. Pada saat yang sama, orangtua bergeliat mencari sekolah bagi putra-putrinya. Bahkan beberapa sekolah menyatakan telah menutup pendaftaran, karena kapasitas ruang sudah terpenuhi, tanpa menyediakan tempat untuk cadangan.

Upaya memburu sekolah pilihan, bukan suatu tindakan reflek tanpa adanya kesadaran. Ada harapan besar dalam hati setiap orangtua agar putra-putrinya dapat meraih sukses di masa depan, dan sekolah dianggap sebagai gerbang awal menuju kesuksesan tersebut.

Pada tataran ini, memilih sekolah ibarat memilih investasi, sekolah adalah masa depan.
Sayangnya, persepsi orangtua terhadap kesuksesan sering dibatasi pada prestasi-prestasi yang sifatnya duniawi materialistik. Nilai tertinggi, juara olimpiade, seragam yang mewah, hingga kelengkapan belajar yang serba canggih.

Karenanya, keselarasan terhadap suatu sekolah, biasanya terlahir bersamaan dengan kemegahan fasilitas sekolah, atau deretan piala yang tampak indah.

Lantas, kewaspadaan seperti apa yang harus kita persiapkan dalam memilih sekolah terbaik bagi anak kita? Jika fasilitas lengkap dan prestasi tidak selalu pantas menjadi pilihan, bagaimana lagi dengan kondisi kebalikannya, yang seringkali ditolak akal pikiran yang memang menyukai kemapanan?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu kita pahami, bahwa anak-anak kita yang akan sekolah, sekarang berada pada masa remaja. Pada usia ini, hasrat seksual mulai tumbuh, seiring perubahan pada fisik dan mental. Masa remaja adalah masa yang penuh dengan keinginan akan kebebasan diri, pandangan akan masa depan, masa pembentukan diri, masa yang dipenuhi dengan semangat, cinta, harapan, aktivitas, imajinasi, usaha dan rasa ingin tahu.

Dalam periode yang menentukan dan penuh tantangan ini, remaja sangat membutuhkan seorang pembimbing yang tulus dan penuh kasih, yang dapat memahami dengan baik segala perasaan dan keinginannya. Kemudian bersedia menceritakan berbagai hasil pengalamannya, yang menjadi tempat konsultasi baginya. Di waktu yang lain, bersedia menolong berbagai kesulitan yang dihadapinya, serta menjauhkannya dari berbagai penyimpangan.

Karenanya, lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang benar-benar penting bagi anak. Dengan memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru dan menyaksikan perilaku anggota masyarakat barunya, ia mulai mengkaji ulang semua pelajarannya dan perilaku yang diperolehnya di lingkungan sekolah, untuk kemudian memilih bentuk yang tepat bagi dirinya.

Nah, jika tempat remaja menyemai kedewasaannya telah roboh dari sendi-sendi agama, disebabkan dominasi ilmu pengetahuan dengan corak sekuler, menjadikan pengaruh agama lemah bahkan hilang dalam kehidupan remaja. Kemudian tergantikan dengan ilmu pengetahuan, sehingga dalam hati remaja, keselamatan, kesuksesan, kemajuan dan peradaban manusia takkan sempurna kecuali dengannya.

Adanya pensakralan ilmu pengetahuan, akan terus berlanjut dalam masalah-masalah perasaan dan kepribadian, yaitu ketika ilmu pengetahuan telah menguasai pikiran dan tindakan.

Dari sinilah mulai tumbuh sebuah generasi yang banyak kehilangan sisi-sisi ruhani dan kemanusiaannya. Egoisme dan materialistik Barat telah menggerus sisi-sisi ruhani dan kemanusiaan. Hingga seorang anak mulai enggan untuk patuh kepada orangtuanya, berbuat menurut keinginan nafsu semata.

Maka jangan heran, kita sering melihat pemandangan yang menyayat hati. Orangtua yang mengasihi anaknya sepanjang masa dan telah banyak berkorban, namun dibalas dengan perilaku durhaka dari anaknya, bahkan berharap agar orangtuanya sering sakit-sakitan yang berujung tutup usia, karena merasa jantungan atau terepotkan olehnya.

Siapa mau memiliki anak seperti ini?  Tentunya bukan seperti itu tujuan anak disekolahkan.

Bahkan berbagai ketaatan, adanya pengertian dan perhatian, ditambah rasa cinta dan kasih sayang, merupakan bentuk prestasi tersendiri, selain raihan-raihan materi. Sebab, dalam menjalani dinamika kehidupan, hal-hal seperti inilah yang menjadikan hati kita terasa nyaman.

Layaknya membeli suatu barang, tentunya bukan hadiahnya yang menjadi fokus perhatian kita, tetapi kualitas barang yang hendak kita beli yang menjadi perhatian. Maka, prestasi materi adalah sejumput bonus yang Allah titipkan kepada anak-anak kita, dan Allah berhak mengambilnya kapan saja.

Sedangkan akhlak mulia adalah barang yang sejatinya harus kita bawa. Maka membiarkannya begitu saja, bahkan sampai lupa tak terbawa, merupakan bentuk ketidak pekaan orangtua terhadap penjagaan putra putrinya. Pertanda orangtua telah terbuai oleh angan-angan kosong tentang arti kesuksesan.

Padahal Rasulullah telah bersabda, “Cukuplah seseorang disebut ‘berdosa’ jika dia  menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Hibban)

Inilah kewaspadaan yang harus dimiliki oleh orangtua. Kewaspadaan yang dibangun dari kesadaran, bahwa anak kita tidak sekedar punya pikiran, tapi juga perasaan.

Tentunya harus dimulai dari diri kita sendiri, dengan meluruskan niat saat menyekolahkan sang buah hati. Kita menyekolahkan anak bukan sekedar ada tawaran beasiswa atau keringanan biaya, atau kebetulan rumah dekat dengan sekolah. Bukan pula karena panggilan rasa gengsi. Tetapi kita memang menyengaja membawanya ke sekolah itu dengan harapan agar dia bisa menjadi anak yang sholih/sholihah.

Langkah selanjutnya adalah, kepedulian terhadap perkembangan jiwa dan kecerdasan. Jangan biarkan mereka tumbuh dalam pengarahan yang salah sehingga mereka mengalami kebingungan identitas. Caranya, dengan memilihkan sekolah yang memberikan penjagaan terhadap akidah dan ke-Islaman, agar ilmu dan keyakinannnya tetap bersih dan murni.

Orangtua seperti ini, tidak merasa cukup hanya melihat kemegahan gedung dan fasilitas sekolah. Dia tidak gampang mengekor dengan kebiasaan orang memilih sekolah, tidak pula latah terhadap trend dan budaya yang tengah berkembang.

Dalam jangka panjang, inilah harga mahal sebuah proses pembelajaran yang mendewasakan. Namun ia akan memberikan hasil yang sebanding bernama anak shalih.

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya : “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab : “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS: Al Baqarah : 133)

Selamat ujian dan selamat menemukan sekolah yang mendidik hati dan melahirkan orang-orang yang shalih.*

Penulis adalah Guru SMP dan SMK Al Furqan Jember

hidayatullah.com

Artikel yang sedang Anda baca saat ini merupakan salah satu kontribusi karya tulis yang dikirimkan ke redaksi Pena Aksi. Ingin berpartisipasi? Ikuti petunjuknya di sini.
Post ADS 1
Banner
Banner