#FutureShaper 11 : We Have Too Few Young Leaders : How To Cultivate Them/


There is no dream we cannot achieve. There is no problem we cannot solve. (Ghufron Mustaqim)

Di televisi, koran, social media, atau dari percakapan langsung saya dengan teman-teman ketika di kantin kampus atau di kontrakkan, saya sering mendengar opini bahwa Indonesia ini terlalu banyak masalah, neoliberalisme menyebabkan kemiskinan dimana-mana, pendidikan mahal dan tidak berkualitas, kekerasan dan ketidaktoleransian terjadi dimana-mana, korupsi bukannya tambah sedikit tapi semakin banyak, dan akhirnya menyimpulkan bahwa Indonesia tidak punya masa depan yang cerah. Menurut mereka, terlalu naïf untuk membayangkan Indonesia lebih baik dengan memperhitungkan permasalahan-permasalahan kita saat ini. Mungkin sebagian dari teman-teman sekalian sering mendengar berbagai keluhan di atas di lingkungannya, atau mungkin juga turut berpendapat demikian. Sangat normal, wajar, dan sah-sah saja.

Tetapi menurut saya ketika kita diberi pilihan untuk pesimis atau optimis, optimis adalah pilihan yang paling bijak—terutama bagi kita sebagai generasi muda yang akan berkesempatan memimpin Indonesia (di berbagai sektor) suatu saat nanti. Karena kita tidak bisa membangun Indonesia menjadi lebih baik apabila kita selalu murung, khawatir akan permasalahan yang begitu besar disekitar kita, dan selalu menyalahkan pihak-pihak lain seperti pemerintah, perusahaan asing, para kapitalis, negara-negara barat ataupun pihak lain.

Kita tidak bisa berpikir jernih memandang kesempatan masa depan dan tidak bisa efektif menyelesaikan permasalahan saat ini apabila kita takut, tidak percaya diri, dan berpikiran sempit-tertutup. Dan menurut saya sudah terlalu banyak anak muda Indonesia yang seperti demikian. Kita membutuhkan banyak anak muda yang lebih optimis, percaya diri, berani, dan berpikiran terbuka. Indonesia membutuhkan sekelompok anak muda yang seperti ini untuk menjawab tantangan kompleks sekaligus memanfaatkan kesempatan emas di abad 21 ini.

Tugas utama kita sebagai pemimpin adalah menawarkan harapan kepada orang-orang disekitar kita. Yakni menyadarkan masyarakat tentang potensi terbaik mereka dan Indonesia sehingga mereka memiliki visi dan cita-cita lebih besar untuk diri mereka dan untuk Indonesia. Dan peran penting kita sebagai pemimpin adalah memberikan keteladan kepada teman-teman kita bahwa ditengah berbagai masalah yang menghadang republik ini kita tetap tenang, tegar, jernih, dan yakin bahwa masa depan terbaik ada di depan mata.

Saya bersyukur saat ini di sekitar saya banyak teman-teman muda yang melahirkan insiatif-inisiatif untuk turut membantu menyelesaikan masalah di lingkungan mereka. Inisiatif-inisiatif tersebut terwadahi dalam berbagai organisasi kepemudaan, komunitas tematik atau event dengan bermacam-macam tema. Mulai dari pendidikan, lingkungan, anti korupsi, kewirausahaan, budaya, pariwisata dsb. Saya sangat mengapresiasi ijtihad perjuangan dan kontribusi mereka, sekecil apapun impact yang sudah berhasil diciptakan.

Mereka tidak berhenti pada level wacana, mereka berkarya nyata—menawarkan harapan bahwa setiap permasalahan memiliki solusi, memberikan keteladanan bagi orang-orang disekitar mereka untuk menyingsingkan lengan baju dan turun tangan menciptakan perubahan, dan menyadarkan masyarakat akan kekuatan kebersamaan dalam menghadapi tantangan-tantangan yang kita hadapi. Dan inilah yang saya maksud dengan generasi muda yang dibutuhkan pada Abad-21—yang mampu menjawab tantangan dan memanfaatkan kesempatan sehingga bisa mewujudkan potensi terbaik Indonesia.

Jangan salah dengan menganggap saya tidak peka dan tidak mengakui akan banyaknya permasalahan di Indonesia! Saya bisa membantu mengumpulkan daftar panjang masalah di Indonesia yang mungkin jumlahnya tidak terhitung. Saya sangat paham bahwa Indonesia sangat jauh dari kondisi ideal, permasalahan bisa kita temukan dimana-mana pada berbagai level. Optimisme dan kepercayaan diri yang saya maksud adalah seperti yang ada di “Pandangan Forum for Indonesia,” berikut kutipannya:

Bayangkan apa yang terjadi jika 60 tahun lalu, Bung Karno sepenuhnya jujur tentang Indonesia. Bayangkan ia berdiri di sebuah podium; ribuan telinga menanti penuh harap di hadapannya. Kemudian dia berkata, “Indonesia adalah bangsa yang buta huruf, 95% penduduk kita tidak dapat membaca. Kurang dari 2% rakyat kita mengenyam pendidikan. Tidak ada yang bisa kita harapkan dari bangsa bodoh ini”. Bayangkan betapa hal itu akan jadi pukulan keras bagi semangat kemerdekaan. Tapi Bung Karno tidak pernah mengatakan itu semua. Ia berdiri dengan bangga lalu berkata, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit; dengan begitu jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang”. Bung Karno bukannya lari dari atau menyembunyikan kenyataan. Dia tahu itu adalah masalah nyata yang pada akhirnya harus mereka hadapi. Namun ia juga tahu, dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan, optimisme harus dibangun.

Saya berasal dari keluarga yang sangat sederhana dan dibesarkan di sebuah desa di polosok barat Sleman, Yogyakarta.  Ketika saya berusia lima tahun, seperti layaknya anak-anak, saya ingin membeli sebuah truk mainan. Orang tua saya tidak memiliki cukup uang untuk membelikan saya mainan seperti itu karena setiap harinya sudah beruntung apabila kami makan dengan lauk telur dadar. Kami sekeluarga biasa makan dengan nasi hasil panen, sayur yang dipetik di pekarangan rumah, dan lauk tempe. Namun, keinginan saya untuk memiliki mainan sangat besar, oleh karena itu saya berpikir bagaimana agar saya bisa punya uang sendiri.

Setiap habis subuh, di pagi-pagi yang dingin dan suasana masih gelap, bersama dengan seorang teman, saya keliling desa untuk mengumpulkan buah melinjo (bahan baku pembuat emping) dari pohon-pohon yang banyak di desa. Satu jam keliling desa saya bisa mengumpulkan satu plastik tanggung melinjo. Kemudian saya balik ke rumah untuk siap-siap sekolah TK. Biasanya setelah satu minggu, saya titipkan melinjo yang telah saya kumpulkan kepada nenek agar bisa dijual di pasar.

Waktu itu rata-rata satu minggu dari hasil penjualan melinjo saya dapat Rp 500. Butuh waktu berminggu-minggu untuk mendapatkan uang yang cukup untuk membeli truk mainan yang harganya lebih dari Rp 10.000 ketika itu, dan saya tidak tidak putus asa-pantang menyerah. Ibu-ayah mendidik saya untuk mengandalkan diri sendiri ketika kita memiliki keinginan  atau cita-cita. Orang tua saya melarang saya untuk merengek dan rewel ketika mereka tidak bisa memenuhi permintaan saya. Orang tua saya mengajarkan bahwa tidak bijak apabila saya menyalahkan orang lain ketika saya memiliki masalah karena Tuhan telah memberikan perangkat terbaik bagi setiap diri kita untuk mampu menyelesaikan masalah kita dan masalah-masalah di lingkungan kita. Terima kasih ibu dan ayah untuk berbagai hikmah yang saya pelajari.

Dalam budaya seperti itulah saya dibesarkan. Itu alasan mengapa saya memiliki prinsip: “There is no dream we cannot achieve. There is no problem we cannot solve!” Prinsip kepercayaan diri dan optimisme inilah yang mengantarkan saya menjadi seperti sekarang—dapat berkuliah di salah satu universitas terbaik di Indonesia dan dapat meraih beberapa prestasi sederhana. Dan saya yakin, prinsip inilah yang juga dipegang oleh teman-teman di sekitar saya yang mencoba menggerakkan perubahan dengan cara mereka masing-masing seperti yang saya ceritakan di atas. Dan saya yakin prinsip ini relevan untuk kepentingan menyelesaikan permasalahan dan mengusahakan masa depan yang lebih baik untuk Indonesia.  Dan karena itulah, kita butuh jauh lebih banyak anak muda yang berprinsip demikian.

Teman-temanku, pada saat-saat seperti ini, pemerintah bukanlah solusi untuk masalah-masalah kita, pemerintah merupakan bagian dari masalah. Namun menyalahkan pemerintah juga bukan merupakan bagian dari solusi. Oleh karena itu, berhentilah menyalahkan pemerintah dan mulailah membantu pemerintah untuk bisa keluar dari permasalahan. Kita semua, yang di dalam maupun yang di luar pemerintah, harus menerima beban tanggung jawab yang sama dalam proses perbaikan negara ini. Mari bersama kita remajakan semangat patriotisme kita, yakni semangat untuk memberikan pengabdian dan menerima tanggung jawab, karena di negara ini kita jatuh dan bangun sebagai satu bangsa, sebagai suatu kesatuan. Dengan harapan, kepercayaan diri, keyakinan, dan karya nyata bersama, kita akan mampu menyelesaikan masalah apapun di depan kita dan mewujudkan cita-cita terbaik Indonesia!ron Mustaqim


#FutureShaper adalah program dari Forum for Indonesia yang merupakan edisi tulisan-tulisan tentang kepemimpinan dan manajemen. Edisi ini ditulis untuk menjadi salah satu bahan inspirasi dan diskusi bagi teman-teman yang ingin mengawali petualangan menjadi pemimpin di lingkungan kita masing-masing.

@FutureShaperID | @forumforID | @GhufronMustaqim

Post ADS 1
Banner
Banner