Evaluasi Pendidikan Gaya Buya Hamka



Sebuah peradaban maju harus dibangun dengan budaya ilmu. Sedangkan, Budaya ilmu dapat lahir dari sistem pendidikan yang baik mulai dari kegiatan belajar mengajar hingga evaluasi peserta didik. Sayangnya pola berpikir pendidikan hari ini lebih mengedepankan standarisasi layaknya pabrik-pabrik produksi. Menyeragamkan semua hasil produksi, padahal yang harus dipahami adalah pendidikan itu tak seperti pabrik. Pabrik biasanya memiliki bahan baku yang sama, sedangkan setiap pribadi peserta didik itu tidak sama. Masihkan kita harus menghasilkan manusia yang karakteristiknya sama layaknya pabrik ?

Buya Hamka adalah Pahlawan Nasional kelahiran Maninjau Sumatra Barat. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau orang biasa menyingkatnya menjadi HAMKA. Beliau merupakan putra dari Ulama Besar di masa Pra Kemerdekaan, yaitu KH.Dr.Abdul Karim Amrullah. Ulama yang pernah mendapatkan gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo , Mesir merupakan ketua MUI ketika pertama kali dibentuk. Selama di MUI beliau terkenal dengan Fatwanya yang melarang umat Islam merayakan Natal Bersama.Seorang Ulama sudah pasti seorang pendidik pula.

Dalam Buku Tasawuf Modern, Buya Hamka menuturkan kisah yang sangat bagus untuk menjadikan landasan berpikir bagi seorang pendidik. Beliau pernah didatangi seseorang yang bertanya kepadanya. Orang itu punya dua tetangga yang keduanya Muslim, namun perilakunya sangat bertolak belakang.

Orang pertama adalah seorang haji yang rajin shalat berjamaah di masid, tetapi sikapnya sangat keras kepada tetangganya. Satu lagi adalah seorang dokter yang tidak pernah shalat, namun sikapnya lembut dan ramah kepada tetangga. Dokter itu punya anjing. Suatu saat anjingnya masuk pekarangan Pak Haji, sehingga dilempar dengan batu olehnya. Anjing itu lari kesakitan, pulang ke rumahnya, lalu dipeluk sang dokter.

Orang itu bertanya ke Hamka, “Mana yang lebih baik dari kedua orang itu?” (Haji yang rajin shalat berjama’ah tetapi hatinya kasar, atau dokter yang tidak shalat tetapi hatinya lembut?).

Hamka menjawab dengan bijak: “Haji itu kalau tidak shalat, mungkin dia akan jauh lebih kasar lagi. Sementara dokter itu sudah baik, tetapi dia akan lebih lembut lagi kalau mau shalat.”

Dialog ini memang tidak terjadi dalam suasa belajar mengajar, tapi kisah ini menjelaskan kita bahwa dalam memberikan penilaian, kita harus melihat seperti apa ia sebelumnya. Kita harus menghargai proses perbaikan yang terjadi pada Pak Haji tersebut. Dari mana ia memulai, dan saat ini sudah mencapai titik yang mana.

Pendidikan Proses kerap kali luput dalam dunia pendidikan nasional kita. “Kamu Bodoh, Contoh si A, ia Juara Kelas. dia bisa, kok kamu gak bisa.” Berbagai penghakiman dan pelabelan yang meniadakan proses sang anak, telah memutuskan harapan mereka tentang indahnya merancang masa depan.

Sekolah-Sekolah unggulan adalah bukti nyata pendidikan indonesia hanya mementingkan hasil produksi dan meniadakan proses. Jika boleh diartikan, sekolah unggulan saat ini adalah sekolah yang menerima anak-anak sudah pintar untuk dididik menjadi pintar. Apanya yang unggul jika ia tidak merubah sesuatu? Seharusnya sekolah unggulan adalah sekolah yang mampu mendidik anak yang belum pintar menjadi pintar.

Sayangnya Mental Industri ini justru dimiliki mayoritas pelakuka pendidikan di Indonesia. Mulai dari pejabat hingga guru-gurunya.kita bersyukur ada beberapa pejuang pendidikan yang mencoba melawan arus ini seperti Munif Chatib dengan Sekolah Manusianya.

Sekolah Manusia Munif Chatib setiap tahun ajaran baru selalu menerima 100 anak pendaftar pertama. Bukan 100 anak paling pintar yang mendaftarkan diri. Karena sekolahnya manusia mengedepankan proses yang dijalani sang anak, baik dari titik manapun mereka memulai kemampuanya.

Sebenarnya pesan buya Hamka dalam memberikan penilaian seseorang sudah lama sekali dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. Rasul mendidik para sahabat menjadi pribadi-pribadi yang memiliki keunggulan yang berbeda antara satu dengan lainya. Ada yang unggul dalam sedekah, unggul dalam puasa , ilmu pengetahuan , Ilmu Qur’an, diplomat , dll.

Bayangkan jika dahulu Rasulullah mengharuskan seluruh sahabat menjadi seperti Abu Bakar RA? apakah semuanya akan menjadi Abu Bakar RA? Sudah pasti tidak, bahkan banyak yang gugur karena tidak mampu menjadi seorang Abu Bakar RA. Kejernihan Hamka dalam menilai bisa menjadi pelajaran bagi kita yang telah atau kelak akan menjadi Ulama, Orang Tua, dan Guru. Satu kalimat dari Prof Laode M. Kamaluddin akan menutup tulisan ini, “Jadilah Pribadi yang Istimewa, tapi tetap Menghargai Keistimewaan Orang Lain.”

Muhammad Ihsan , Pemred Penaaksi.com
Post ADS 1
Banner
Banner