Menjadi Pemimpin yang Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu

Oleh: Muhammad Ghufron Mustaqim

Untuk menyelesaikan permasalahan bangsa dan mengembalikan kejayaan Nusantara, kita harus memiliki pemimpin yang “Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu." - Ghufron Mustaqim

Ketika saya mempublikasikan artikel Future Shapers sebelumnya tentang Tri-sector athlete: syarat pemimpin baru di era baru penuh tantangan, beberapa teman mengatakan bahwa hanya dengan kualitas tersebut, seseorang belum tentu bisa menjadi pemimpin yang berhasil. Saya setuju dengan pernyataan itu dan memang kualitas tri-sector athlete hanyalah satu dari banyak syarat untuk menjadi pemimpin yang baik. Di artikel ini saya ingin membahas salah satu syarat lain tersebut, untuk memperluas khasanah dan perbendaharaaan pengetahuan kita tentang kepemimpinan untuk membantu menyiapkan diri menjadi pemimpin terbaik yang kita mampu.

TIga hari lalu saya membaca  buku yang ditulis Emha Ainun Nadjib tentang Jejak Tinju Pak Kiai. Beberapa bulan terakhir memang saya sangat intensif menyelami pemikiran Cak Nun (panggilan Emha) dengan membaca puluhan buku, tulisan, dan puisi serta menyimak ceramah-ceramahnya. Saya menemukan keluasan pikir dan kedalaman hikmah dari dalam diri Cak Nun. Dan jujur, karena hal inilah saya kemudian menjadi sangat menggandrungi berbagai perspektifnya. Di dalam salah satu bab buku tersebut, saya berkenalan dengan konsep kepemimpinan “Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu.” (Baca Juga : H.Agus Salim)

Sebenarnya saya telah membaca konsep kepemimpinan itu di buku Cak Nun tentang Demokrasi La Roiba Fih tiga bulan lalu ketika saya mengisi waktu dengan membaca buku dalam perjalanan kereta dari Jogja ke Bandung. Tetapi wawasan saya tentang konsep ini baru lebih komplet ketika membaca Jejak Tinju Pak Kiai ini. Dan sebenarnya konsep “Satrio Pinandito  Sinisihan Wahyu” bukan dari Cak Nun sendiri, tetapi diperkenalkan oleh Ronggowarsito 200 tahun lalu. Cak Nun hanya mengemukakannya kembali untuk menganalisis kondisi Indonesia pada era kontemporer ini.

Ronggowarsito (1802-1873) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Konsep kepemimpinan tersebut diperkenalkan oleh Ronggowarsito, menyempurnakan ramalan Joyoboyo (1135-1157) tentang sosok ratu adil yang akan menyelamatkan dan mengembalikan kejayaan wilayah Nusantara. Sungguhpun konsep ini tidak memiliki pondasi akademik, namun konsep ini memiliki kandungan nilai dan kebijaksanaan yang selayaknya kita pelajari dan ambil manfaatnya. Terutama ketika saat ini sebagian dari kita memprihatinkan kondisi kepemimpinan di Indonesia—yang nihil karakter, kejujuran, semangat pengabdian, miskin kompetensi, dan berjalan tanpa kearifan. Dan memang sudah selayaknya, sebagai pewaris budaya, kita perlu juga mereferensikan arah navigasi kapal Indonesia pada nenek-moyang kita sendiri—selain juga tentu memperkayanya dengan sumber-sumber lain. 

Berikut saya kutipkan penjelasan Cak Nun tentang konsep “Satrio Pinandito  Sinisihan Wahyu” di bukunya:

“Untuk kebangkitan yang sesungguhnya, diperlukan seorang pemimpin yang ksatria, menguasai peta masalah, jantan tegas, professional, cakap manajemen. Satrio. Juga harus pinandito: memiliki kapasitas spiritual, aura, awu, wibawa, berani menindas dunia di dalam dirinya, ringan menepis nafsu keduniaan. Bahkan sinisihan wahyu: setiap langkah dan perilakunya relevan dan terbimbing oleh “al-yad al-khair”, tangan bajiknya Tuhan.”

Apabila kita membaca koran atau menonton televisi, seberapa banyak halaman dan seberapa lama waktu nonton yang kita habiskan, rasanya sulit untuk menemukan sosok pemimpin kita yang memenuhi syarat sebagai pemimpin yang “Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu”. Banyak pejabat kita lulusan dari UGM, ITB, UI bahkan universitas-universitas ternama di luar negeri, cakap dalam analisis, manajemen, dan merumuskan kebijakan, namun korupsi dan bertindak menyengsarakan rakyat. Kita punya banyak ustadz, kyai, pendeta, atau pemimpin-pemimpin agama yang lain yang alim, soleh, dan anggun, namun tidak bisa memberikan solusi riil kemasyarakatan karena tidak memiliki kompetensi keduniaan yang mantap. Kita punya banyak aktivis, pejuang keadilan, dan pejuang HAM, tetapi mereka meniadakan Tuhan dan agama padahal Tuhan dan agama adalah sumber inspirasi segala kebaikan yang mereka perjuangkan. Sangat sulit kita menemukan sosok lengkap “Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu” pada diri seseorang; atau mungkin saat ini sudah tidak ada lagi orang yang demikian?

Dari konsep kepemimpinan “Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu” ini kita bisa menurunkan tiga proposisi yang wajib diusahakan oleh para calon pemimpin, seperti kita sebagai generasi muda:

Pertama, untuk menjadi satrio atau ksatria kita dituntun untuk memiliki professionalisme dan merit sebagai pemimpin—disesuaikan dengan bidang/organisasi/institusi yang kita pimpin. Disinilah letak tri-sector athlete yang telah saya tulis sebelumnya, bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas dan pengalaman lintas sektoral untuk bisa menjadi pemimpin yang satrio. Sebelum berkarir, calon pemimpin yang satrio haruslah mengusahakan pendidikan yang terbaik, misalnya dengan kuliah lanjutan di universitas seperti Harvard, Stanford, Yale, Oxford, Cambridge, UPenn dsb sehingga memiliki hard-skills yang berkualitas dunia. Dan dalam berkarir pun, sebagai persiapan kita menjadi pemimpin, kita seharusnya mencoba berbagai bidang/organisasi/institusi yang memiliki tantangan dan karakteristik berbeda sehingga kita memiliki soft-skills lebih komplet.

Kedua, untuk menjadi pinandito, seseorang haruslah memiliki moral compass yang bisa diambil dan disarikan dari nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan. Oleh karena itu menurut saya, seorang pemimpin yang baik adalah seorang agamawan dan budayawan yang baik. Kalau Islam ya menjadi muslim yang kaaffah, kalau Kristen ya menjadi seorang Kristen yang menyeluruh, kalau Budha ya menjadi seorang Budha yang tuntas. Kalau Jawa ya internalisasi nilai-nilai kebudayaan dan pahami sejarah Jawa, begitu juga apabila kita Sunda, Bugis, Dayak, Minang dsb. Dan pemimpin di Indonesia hanya akan efektif apabila mereka bersifat demikian, karena di bangsa ini agama dan budaya merupakan alat penggerak paling ampuh untuk mentransformasi masyarakat. Hanya dengan menjadi professional, tanpa menambatkan nilai dan moral kepada agama dan budaya, seseorang akan menjadi pemimpin yang hampa, teknokratik, dan gagal menginspirasi serta menggerakkan masyarakat.

Ketiga, untuk menjadi pemimpin kuat dan mampu melalui adversity, ia harus sinisihan wahyu—yakni percaya bahwa ada suatu Dzat (atau Tuhan) diluar dirinya yang Maha Mengatur dan Maha Kuasa atas segalanya dan sesuatu yang terjadi atau dialaminya adalah merupakan skenario Dzat tersebut. Dengan keimanan ini, ia akan selalu berusaha sebaik mungkin untuk dekat dengan Tuhan dengan mengamalkan nilai-nilai kebaikan dan meninggalkan hal-hal buruk karena ia berharap dalam setiap keputusan Tuhan membimbingnya. Dan keyakinan ini pula yang membuat seorang pemimpin akan lebih sabar, bijak, dan decisive dalam melalui naik-turunnya gelombang tantangan yang dihadapi. Dan dengan kepercayaan ini, seorang pemimpin akan merasa memiliki tanggung jawab untuk menjadi wakil-Nya dalam melayani masyarakat sehingga sebaik mungkin ia menjadi pemimpin yang adil, jujur, dan amanah.

Bagi sebagian orang memang agak absurd ketika kita melibatkan Tuhan atau agama dalam kepemimpinan. Menurut saya hal ini karena tradisi berpikir kita, tentang banyak hal termasuk tentang konsep kepemimpinan, mengambil mentah-mentah dari tradisi Barat yang human-centris, individualistis, dan cenderung meniadakan Tuhan. Mungkin itu yang efektif di dunia Barat, saya tidak tahu, karena mungkin lebih cocok dengan konteks sosio-kultural-nya. Dan mungkin konsep “Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu” tidak relevan diterapkan di sana.

Saya kira, karena kita memiliki kekhasan nilai, budaya, dan sejarah, kita harus menggali kearifan lokal kita sendiri untuk merumuskan konsep-konsep tentang berbagai hal, salah satunya mengenai kepemimpinan untuk, diaplikasikan di dalam kehidupan bermasyarakat, berorganisasi dan berbangsa. Tidak bisa serta merta kita impor konsep baik dari Barat, Timur Tengah bahkan Asia Timur sekalipun. Oleh karena itu konsep “Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu” layak, bahkan harus, kita terapkan dalam level praksis untuk mengupayakan lahirnya generasi baru ratu adil yang mampu memperbaiki permasalahan bangsa dan mengembalikan kejayaan Nusantara.

Pemimpin Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu
Sulit bagi saya untuk menemukan contoh pemimpin yang memenuhi syarat sebagai pemimpin yang “Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu.” Tetapi menurut saya kualitas Mohammad Hatta dekat dengan syarat-syarat di atas. Saya kira, Mohammad Amien Rais juga cukup pantas untuk diklasifikasikan sebagai pemimpin yang memenuhi syarat tersebut. Untuk golongan generasi muda, Leonardo Kamilius, eks konsultan McKinsey yang mendirikan Koperasi Kasih Indonesia memiliki indikasi jelas dan potensi besar untuk masuk dalam katagori ratu adil ini. Saya harap lima atau sepuluh tahun lagi, saya bisa memberi contoh pemimpin “Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu” yang lebih banyak seiring dengan semakin banyaknya kita yang berusaha menjadi demikian. InsyaAllah, dengan usaha kita bersama, ramalan Joyoboyo dan Ronggowarsito bahwa Nusantara akan kembali jaya berbuah nyata.

#FutureShaper adalah program dari Forum for Indonesia yang merupakan edisi tulisan-tulisan tentang kepemimpinan dan manajemen. Edisi ini ditulis untuk menjadi salah satu bahan inspirasi dan diskusi bagi teman-teman yang ingin mengawali petualangan menjadi pemimpin di lingkungan kita masing-masing.

@FutureShaperID | @forumforID | @GhufronMustaqim


Post ADS 1
Banner
Banner