Tarbiyah Nabi Terhadap Generasi Islam Yang Pertama ( 2 )

Membatasi Pembinaan Hanya dengan Manhaj Rabbani Saja

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali ‘Imran : 164)

Adapun yang dimaksud dengan Al Kitab dalam tersebut adalah Al Qur’an, sedangkan Al Hikmah adalah AS Sunnah. Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam membatasi tarbiyah para sahabatnya dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Beliau marah ketika melihat lembaran kitab Taurat ada di tangan ‘Umar. Beliau berkata :

“Demi Allah, sekiranya Musa hidup ditengah-tengah kalian, maka tidak halal baginya (mengikuti Taurat), melainkan ia harus mengikutiku”.

Dalam riwayat Imam Ahmad dikatakan :

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditangan-Nya. Seandainya Musa berada diantara kalian, kemudian kamu mengikutinya, pasti kalian akan sesat. Ketahuilah sesungguhnya kamu adalah bagianku diantara umat-umat yang lain. Dan aku adalah bagian kalian diantara nabi-nabi yang lain”.[i]

Oleh sebab itu, Dienul Islam sangat antusias dalam mewujudkan manhaj Rabbani itu di muka bumi, supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Demikian juga Islam sangat antusias dalam mewujudkan keadilan diantara manusia dan menanamkan nilai Ilahiyah itu dalam kehidupan insan.

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. (QS. Al Hadid : 25)

Jadi tujuan dari nubuwah (diutusnya nabi-nabi) ialah mewujudkan kebenaran diantara manusia dan menyebarkan keadilan itu diantara mereka. Oleh karena itu, dalam pandangan agama Allah, mengkritik seeseorang dan menerangkan kesalahan serta kekeliruan mereka itu jauh lebih ringan dibandingkan meluruskan seseorang yang mengabaikan manhaj tersebut dan menyimpang dari jalannya.

Rabbul ‘Izzati tidak membiarkan kemasaman muka Rasulullah SHALLALLAHU ALAYHI WA SALLAM terhadap ‘Abdullah bin Ummi Maktum, orang yang buta, ketika beliau tengah sibuk mendakwahi golongan elite dari pemimpin Quraisy.

Saya katakan : “Rabbul ‘Izzati tidak membiarkan keadaan berjalan demikian, maka Dia mencela kekasihnya-Nya Nabi Muhammad SHALLALLAHU ALAYHI WA SALLAM[ii] dengan celaan yang keras dengan menurunkan surat yang memuat nama ‘Abasa (ia bermuka masam). Celaan itu mencapai puncaknya pada kata “Kalla” (sekali-kali jangan demikian), sedangkan ia adalah kata pelanggaran dan cegahan”.

Allah Rabbul ‘Izzati telah menurunkan sepuluh ayat yang jelas dalam surat An-Nisaa’ mengenai bebasnya seorang Yahudi dari tuduhan yang didakwakan kepadanya, dan menetapkan dakwaan tersebut kepada salah seorang penduduk Madinah yang memeluk agama Islam. Dia adalah, Tha’mah bin Ubairiq. Yang demikian itu karena kekekalan manhaj tersebut lebih baik daripada eksistensi seribu orang yang berjalan di atas manhaj yang menyimpang dan bengkok.

Oleh sebab itu kepemimpinan dalam agama (dien) ini bersifat Rabbani yang tercermin dalam pribadi Rasulullah SHALLALLAHU ALAYHI WA SALLAM, manhajnya Rabbani, tercermin dalam Al-Qur’an dan As-sunnah, wasilahnya Rabbani. Rasulullah SHALLALLAHU ALAYHI WA SALLAM tidak mau menerima, sesudah perjanjian Hudaibiyah, penggabungan diri Abu Jandal bin Suhail bin ‘Amru maupun Abu Bashir[iii] setelah mereka berhasil lolos dari Mekkah, melarikan diri dari penindasan dan penyiksaan kaum Quraisy. Beliau mengembalikan dua orang tersebut kepada Quraisy, karena tidak ingin melanggar jaminan yang telah diucapkannya maupun membatalkan perjanjian yang telah dijalinnya dengan kaum Quraisy, yakni beliau dalam perjanjian tersebut diminta untuk mengembalikan orang yang datang kepadanya dari fihak mereka.

Untuk itu, maka hendaknya para da’i Islam betul-betul memperhatikan tentang masalah (Rabbaniyah atau wasilah-wasilah berdasarkan cara syar’i). Banyak diantara mereka yang menempuh cara yang menyimpang serta sarana-sarana yang tidak lempang demi mencapai tujuan yang mereka sebut dengan nama mashlahat da’wah. Sehingga terkadang seorang da’i berbohong dengan alasan kepentingan da’wahnya. Terkadang mengzhalimi manusia jika mereka berselisih dengan pengikut-pengikutnya. Itu semua berbahaya dan salah, karena hal itu merupakan penyimpangan dari manhaj dalam soal keadilan bahkan akan membawa akibat lenyapnya harakah itu sendiri.

Sesungguhnya maslahat da’wah Islamiyah adalah seorang da’i menyembah Allah dengan pedoman dien yang telah diturunkanNya, seorang da’i menyembah Allah berdasarkan syari’at-Nya, dan seorang da’i berpegang pada prinsip-prinsip keadilan dan menyebarkannya di permukaan bumi.

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. An Nisaa’ : 135)

Apabila engkau ditanya tentang seorang pengikut da’wahmu yang telah makan riba. Kemudian engkau telah pasti akan kebenaran berita tersebut, maka janganlah kamu menyibukkan dirimu untuk mencari-cari alasan atau menta’wilkan nash-nash Al-Qur’an untuk mencairkan masalah keharaman tiba yang telah qath’i demi membela pengikut da’wahmu itu.

oleh : Syaikh Abdullah Azzam (Kitab Tarbiyyah Jihadiyyah)

[i] Sebagian dari hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya, seperti yang ditulis dalam Tafsir Ibnu Katsir

[ii] HR Abu Ya’la dan At Tirmidzi (lihat : Tafsir Ibnu Katsir IV)

[iii] Shahih Bukhari

Post ADS 1
Banner
Banner