Katakan Jangan Pada Muridmu

Sebuah Konsep Pendidikan yang cukup populer di masyarakat saat ini adalah “ Don’t say no to children.” Setiap orang yang sedang mendidik haram hukumnya mengatakan kata “jangan” pada anak, ataupun peserta didik karena kata jangan akan membelenggu perkembangan sang Anak. Baik ia seorang Guru, Ibu , Ulama, Masyarakat Umum, dan mereka semua yang terlibat dalam proses pendidikan anak dihimbau untuk menerapkanya. Ajaran ini menganjurkan para pendidik untuk mengganti kata “jangan” yang di stigma negatif menjadi kalimat – kalimat positif. Benarkah konsep ini akan meningkatkan pertumbuhan kreatifitas anak, atau justru akan membinasakan ?

Dewasa ini peran Ulama kerap kali dikesampingkan dalam dunia pendidikan, dan peranya dipersempit. Proses Pendidikan seolah – olah hanya menjadi wewenang Sekolah, Guru, Akademisi ,dst. Padahal maraknya korupsi, kejahatan, dan lain-lain  terjadi karena miskinya peran yang diberikan kepada ulama untuk mendidik Akhlak Masyarakat.

Dikisahkan oleh Irfan Hamka tentang nasihat Ayahnya (Buya Hamka) terhadap dirinya. Ketika sedang asyik membaca, tiba – tiba ada seseorang membuka pintu kamarku dari luar. Aku lupa menguncinya. Betapa terkejutnya aku, yang membuka pintu itu ternyata Ayah. Aku gugup melihat ayah muncul di pintu.

“Sudah Shalat Isyakau, Irfan?” tanya Ayah kepadaku.

“Alan, Ayah,” Jawabku dengan gugup.

Dalam bahasa Minang, Alah berarti sudah. Sedangkan alun berarti belum. Aku betul-betul kalut menjawabnya. Aku sebenarnya ingin berbohong, namun karena gugup untuk menjawab, dalam kegugupan lidahkan mengucap “alan”.

“Segerakanlah Shalat! Setelah selesai,temui Ayah di kamar!”

Kemudian Ayah meninggalkan kamarku.

Akhirnya Aku menemui Ayah dikamarnya.

“Kalau Ayah lihat, kau tidak berbakat untuk berbohong. Di awal saja kau ragu-ragu ingin berbohong kepada Ayah tadi. Jawaban alah atau alun, kau satukan menjadi alan. Tandanya , mentalmu tidak kuat untuk berbohong. Satu saja sayrat yang harus dimiliki oleh rang yang ingin berbohong tidak ada, pasti kebohonganya tidak sempurna. Bagaimana bila satu hari dia melakukan kebohongan lima macam? Berapa banyak kebohongan yang harus dipersiapkan untuk melindungi kebohonganya yang pertama, kedua , dan seterusnya sampai lima kali? Itu sebabnya Ayah ceritakan, kalau kau tidak bakat berbohong, jangan kau coba-coba untuk berbohong. Kau tidak berbakat. Dan ingat, bohong itu salah satu dosa yang harus kau pertanggunjawabkan kepada Allah.Faham kau, Irfan?”

Tentunya ada alasan tertentu mengapa Buya Hamka menggunakan kata “jangan”. Dan bisa kita lihat semua dari percakapan yang dituliskan Irfan Hamka dalam bukunya yang berjudul Ayah, Buya Hamka sama sekali tidak mengganti nasihatnya dengan kalimat-kalimat yang “katanya” memiliki aura positif seperti berbuat “jujurlah”, karena jujur itu.....

Justru Sang Ulama selalu menggunakan kata bohong hampir dalam setiap kalimat. Apakah Buya Hamka salah cara dalam mendidik anaknya?

Didalam Al Qur’an surat Luqman ayat 13 dikisahkan ketika Pria yang mulia Luqmanul Hakim mendidik anaknya :

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajara kepadanya : “ Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezailman yang besar.”

Allah pun mengajarkan kita melalui Al – Qur’an menggunakan kata jangan dalam kalimatnya. Dan ini tidak hanya satu, ada banyak Firman Allah yang menggunakan redaksi “jangan” pada ayat-ayat Al Qur’an.

Cara pandang yang memberikan kebebasan anak untuk memilih sesungguhnya adalah konsep menuju kebinasaan. Karena tidak semua pilihan yang dihadapi oleh anak itu adalah benar. Pasti ada pilihan- pilihan keliru yang dapat membinasakan dirinya.Sehingga setiap orang wajib menggunakan kata jangan untuk membatasi pilihan-pilihan keliru terhadap anak.

Ketika Luqman menggunakan redaksi “ janganlah mempersekutukan Allah”, ketimbang “Sembahlah Allah” bertujuan untuk meniadakan peluang pengakuan Ilah lainya yang patut disembah. Karena jika redaksi yang digunakan “Sembahlah Allah” berarti tidak menutup kemungkinan ada Tuhan-tuhan lain yang dapat disembah, namun dengan memilih “janganlah mempersekutukan Allah” Luqman telah menutup pilihan-pilihan keliru bagi anaknya.

Menurut Malik Badri dalam bukunya, Dilemma of Muslim Psychologist. Para Psikolog Muslim termakan dogma dari Psikolog Barat yang menyatakan, “orang tua selalu berada di pihak yang salah. Sebaliknya berkembang sikap atau pandangan yang menyatakan bahwa anak selalu benar.” Padahal menurut Malik Badri dogma inilah yang membuat anak menjadi tak bisa menghargai orangtuanya.

Malik Badri Mengingatkan kepada para orang tua muslim untuk berkaca kepada keruntuhan moral yang terjadi pada anak-anak Barat. Hilangnya Rasa Hormat anak terhadap orang tua diakibatkan melunaknya pemberian hukuman dari para orangtua.

Sebenarnya kesalahan yang kerap kali terjadi adalah pelarangan tanpa penjelasan yang terang dan jelas. Orang tua dan guru terkadang tidak mampu memberikan alasan pelarangan kepada sang anak. Berbeda dengan Hamka yang mengawali nasihatnya dengan penjelasan terlebih dahulu baru disimpulkan dengan pernyataan pelarangan.

Kita Juga Bisa Mengambil contoh dari Luqman yang yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Luqman mengawali nasihatnya dengan pelarangan kemudian ditambahkan penjelasan mengapa Menyekutukan Allah itu dilarang. Tentunya cara ini jauh lebih utama karena kisah didalam Al Qur’an adalah kisah-kisah terbaik dalam sejarah hidup manusia.

Konsep Pendidikan “ Don’t say no to children,” sesungguhanya adalah embrio dari pemikiran liberalisme. Setiap anak dididik berpikir sebebas mungkin sejak dini dengan dalih untuk tidak membunuh kreatifitas sang anak. Padahal jika kita mau mengkritisi, kreatif bukanlah identitas dari kebaikan. Penjahatpun mampu untuk berkreatifitas, Para Koruptor yang sangat licin untuk ditangkap oleh KPK adalah contoh nyata kreatifitas dari seorang penjahat.

Kebebasan tanpa larangan akan menghasilkan manusia-manusia kebingungan yang pada akhirnya akan berhujung pada sikap atheisme atau paling tidak iya akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Karena bagi orang yang bebas, peraturan adalah yang ia kehendaki. Layaknya para koruptor hari ini yang bebas memilih jalan mencari nafkah, kreatif dan lihai dalam mengakali birokrasi untuk korupsi. Jadi kenapa harus ragu untuk mengatakan, “jangan” pada muridmu?

Muhammad Ihsan , Pemred Penaaksi.com
Post ADS 1
Banner
Banner