Prinsip - Prinsip Agar Organisasi Mecanpai Puncak Kejayaan

Oleh: Muhammad Ghufron Mustaqim
“Greatness is not a function of circumstance. Greatness, it turns out, is largely a matter of conscious choice, and discipline.” - Jim Collins
Salah satu buku terbaik dari koleksi buku pribadi saya adalah Good to Great karya Jim Collins. Buku ini saya beli beberapa tahun lalu ketika main ke AS dan menjadi teman dialektika intelektual yang setia ketika saya mengawali pendirian Forum for Indonesia. Buku ini merupakan hasil temuan lima tahun riset Collins tentang apa yang membedakan antara perusahaan-perusahaan yang luar biasa (great) vs perusahaan-perusahaan yang sekedarnya (good). Untuk menjawab kebutuhan relevansi buku tersebut dengan sektor sosial, Collins menulis buku pendampingnya yang berjudul Good to Great and the Social Sectors—yang intinya sebenarnya tidak banyak berbeda dari buku utamanya. Tulisan ini akan mereviu buku tersebut. Harapannya agar teman-teman sekalian juga dapat mengambil hikmah untuk kemudian mengaplikasikannya ke kehidupan berorganisasi.

Baik adalah musuh dari luar biasa, good is the enemy of great. Mengapa hanya sedikit organisasi atau perusahaan yang superior dan luar biasa adalah karena mereka mencukupkan diri untuk menjadi sekedarnya. Kita hanya punya sangat sedikit universitas yang luar biasa di Indonesia, karena kita terlalu banyak universitas yang ala kadarnya. Kita hanya punya sangat sedikit kementrian progresif, karena terlalu banyak kementrian yang biasa-biasa saja. Di bukunya, Collins ingin menerangkan mengapa sebagian organisasi dapat melakukan lompatan jauh menuju kehebatan dan mengapa sebagian organisasi lain mencukupkan diri dengan mediokritas. Collins memperkenalkan beberapa konsep yang sangat menarik antara lain: pelajaran dari sebutir telur (lesson on egg), filosofi gerakkan roda (flywheels), landak (hedgehogs), dan prinsip penumpang bus.

Setelah mereviu 1.435 perusahaan, Collins menemukan hanya 11 perusahaan yang dapat berubah dari perusahaan yang biasa-biasa saja menjadi perusahaan yang super (good-to-great company). Metedologi riset yang digunakan untuk mengkatagorikan good-to-great company ialah setiap perusahaan yang telah mengalami lompatan harus memiliki tingkat pengembalian saham kumulatif minimal tiga kali lebih besar dari performa pasar saham pada umumnya selama 15 tahun berturut-turut. Dan kejadian ini harus independen dari tren yang ada di industri perusahaan tersebut. Silahkan baca metedologi lebih lengkapnya disini.

Dari riset tersebut, Collins menemukan bahwa tidak ada keajaiban dan revolusi yang terjadi pada good-to-great companies. Mereka melakukan perubahan secara pragmatis, bertahap, dengan komitmen menjalani setiap proses sebaik mungkin dan penuh kedisiplinan. Mereka tidak berubah menjadi perusahaan yang superior dalam satu malam atau satu bulan, tidak juga dengan satu atau dua program unggulan atau mitos-mitos yang lain; mereka melalui proses yang panjang untuk bisa menjadi sedemikian sukses.

Bayangkan sebutir telur ayam yang diengkrami oleh induknya. Dilihat dari luar, selama berhari-hari sepertinya tidak ada perubahan, telur diam ditempat tidak bergerak, cangkang telur masih sempurna, dan warna kulit cangkangnya pun tidak perubah. Tetapi ketika hari ke-21, cangkang telur retak dan kemudian keluar anak ayam yang kecil. Seakan-akan terjadi keajaiban terjadi dalam waktu satu malam. Ini adalah sebuah analogi ketika kita melihat perusahaan yang sukses. Kita tidak memperhatikan proses internal panjang dan rumit yang dilalui oleh perusahaan tersebut sehingga akhirnya sukses. Kita tidak melihat proses menetasnya telur tersebut dari anak ayam yang keluar dari cangkang itu. Kita mengira bahwa perusahaan meroket karena perubahan revolusioner dengan satu atau dua strategi canggih yang terjadi dalam waktu singkat. Menurut Collins, tidak ada perubahan yang instan di good-to-great companies dan kita juga seharusnya tidak berpikir untuk membuat perubahan drastis dan revolusioner bagi organisasi kita dengan harapan organisasi kita tersebut sukses besar dalam waktu singkat.

Sekarang bayangkan sebuah roda raksasa, dengan diameter 80 meter, kerangka jeruji baja yang kokoh, ketebalan karet yang melingkari 10 meter, dan berat 25 ton. Roda tersebut berdiri di atas landasan pacu yang panjang di bandara dan kita ingin menggelindingkannya. Untuk menggerakkan satu putaran pertama kita perlu menguras banyak energi karena sangat berat. Dan putarannya pun sangat pelan, satu sentimeter demi satu sentimeter, sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama. Begitu juga untuk menggerakkan roda raksasa tersebut di putaran kedua, ketiga, kelima, kesepuluh, keduapuluh, kelimapuluh, dan keseratus. Namun semakin banyak roda itu berputar, semakin ringan rasanya kita dalam menggelindingkannya. Kemudian pada putaran ke seribu, karena momentum, roda tersebut menggelinding sendiri tanpa perlu kita dorong dan menggelinding dengan semakin cepat dan semakin cepat. Begitulah analogika dalam menggerakkan perubahan di organisasi kita. Perlu usaha yang besar, konsistensi dan kedisiplinan yang tinggi, dan proses yang panjang; hingga suatu saat organisasi kita karena momentum kemudian melesat dengan gesit, menjadi good-to-great organization.

Good-to-great organizations juga memiliki kedisiplinan berpikir. Kita memilih menjadi rubah (fox) atau landak (hedgehog)? Tamsil Yunani kuno mengatakan bahwa rubah mengetahui banyak hal-hal kecil sedangkan landak mengetahui hanya sedikit hal tetapi hal yang besar-besar. Riset Collins menunjukkan bahwa semua good-to-great-companies memiliki kedisiplinan berpikir layaknya landak: mereka memprioritaskan penyelesaian masalah-masalah yang besar. Hal itu biasanya dimulai dengan mempertanyakan secara brutal performa perusahaan, misalnya: “Mengapa performa kita sangat buruk dalam 25 tahun terakhir?” Dalam konteks organisasi sosial kita bisa bertanya misalnya, “Mengapa kita gagal mensejahterakan komunitas yang kita berdayakan selama puluhan tahun program berlangsung?” Pertanyaan-pertanyaan besar, brutal, dan jujur seperti itu penting agar transformasi organisasi bisa dimulai.

Kemudian untuk mendukung transformasi selanjutnya, ada tiga pertanyaan yang semua good-to-great companies pertanyakan: a) What can we be the best in the world at? (And equally important—what can we not be the best at?) b) What is the economic denominator that best drives our economic engine (profit or cash flow per “x”)? c) What are our core people deeply passionate about? Pertanyaan tentang hal terbaik apa yang bisa kita lakukan membantu memfokuskan kita untuk melakukan aktivitas hanya pada apa yang ada di dalam core competence kita. Melakukan hal-hal diluar kompetensi inti dan titik kekuatan kita hanya akan membuang energi dan sumber daya. Kemudian pertanyaan tentang sumber keuangan terbaik yang berkelanjutan sangat penting untuk menjaga survival perusahaan. Pada konteks organisasi sosial pertanyaan ini juga sangat relevan karena tanpa memperhatikan dari mana sumber keuangan terbaik kita, organisasi sosial kita terancam bubar sehingga malah tidak bisa menyampaikan manfaat-manfaat sosial lagi. Kemudian yang terakhir tentang aktivitas paling diminati oleh orang-orang di organisasi kita. Pertanyaan ini penting agar kita semua dapat berkontribusi sebaik mungkin bagi organisasi dan dengan kegembiraan hati.

Selanjutnya tentang konsep penumpang bus. Ibaratkan kita, pemimpin-pemimpin organisasi, adalah supir bus dan busnya adalah organisasi. Pertanyaan terpenting dan pertama bagi supir bus good-to-great companies bukan pada “kita mau kemana?” tetapi “bersama siapa saya di bus ini?.” Mereka mementingkan pertanyaan “who” lebih dari pertanyaan “where”. Di lingkungan yang begitu banyak perubahan yang sulit diantisipasi, mengendarai bus bersama dengan orang-orang yang tepat akan membantu perjalanan. Kalau kita menentukan tujuan dulu, ketika misalnya setelah 80 km kita berjalan ternyata tujuan kita sudah tidak relevan lagi, maka akan terjadi kekacauan apabila kita tidak bersama dengan orang-orang yang tepat. Good-to-great organization mengerti bagaimana memastikan orang yang tepat naik ke bus, orang yang salah turun, dan baru kemudian jalan. Selain itu apabila kita telah memastikan orang-orang tepat untuk menggerakkan organisasi kita, kita tidak perlu menghabiskan banyak energi untuk memotivasi mereka. Karena apabila kita bersama orang yang salah, selain menghabiskan energi untuk memotivasi mereka, apabila kita akhirnya sampai ke tempat tujuan, kita tetap tidak bisa mencapai keagungan prestasi (greatness).

Poin-poin di atas adalah hikmah yang saya dapatkan ketika membaca buku Good to Great dan Good to Great and Social Sectors. Banyak ilmu dan perspektif yang telah saya dapatkan, tetapi baru sedikit yang baru bisa saya implementasikan. Semoga teman-teman bisa memetik manfaat dari tulisan sederhana ini dan semoga kita bisa membangun organisasi kita menjadi lebih sukses, berprestasi, luar biasa, dan mencapai puncak kejayaan.




#FutureShaper adalah program dari Forum for Indonesia yang merupakan edisi tulisan-tulisan tentang kepemimpinan dan manajemen. Edisi ini ditulis untuk menjadi salah satu bahan inspirasi dan diskusi bagi teman-teman yang ingin mengawali petualangan menjadi pemimpin di lingkungan kita masing-masing.

@FutureShaperID | @forumforID | @GhufronMustaqim


Post ADS 1
Banner
Banner