Cara Terbaik Mempertahankan Idealisme, Dimanapun Sampai Kapanpun

Oleh: Muhammad Ghufron Mustaqim  

"The safest road to Hell is the gradual one—the gentle slope, soft underfoot, without sudden turnings, without milestones, without signposts." - C. S. Lewis


Pagi tadi redaksi dari salah satu media cetak nasional melakukan korespondensi dengan saya tentang idealisme mahasiswa. Salah satu pertanyaan dalam wawancara tersebut ialah apa ujian terberat dalam memegang teguh idealisme dan bagaimana kita bisa meghadapinya? Jawaban dari pertanyaan itu akan saya kembangkan di dalam artikel ini dan sangat kebetulan ia cocok dengan keinginan saya untuk melanjutkan reviu “How will you measure your life” karya Clayton Christensen. Bagi yang belum membaca reviu bagian awal buku tersebut, silahkan baca Teori Motivasi, Strategi Berkarir, dan Kebahagiaan di entry sebelumnya.

Beberapa kalangan sanksi bahwa mahasiswa ketika telah lulus dan masuk ke dunia yang sesungguhnya: bekerja di korporat, pemerintahan, menjadi politisi, dan wartawan misalnya; kita akan tetap bisa mempertahankan idealisme. Mereka memberi contoh bahwa orang-orang sekarang di pemerintahan atau parlemen dulunya adalah para aktivis yang menumbangkan orde baru. Tetapi ketika mereka memiliki kekuasaan, sebagian dari mereka korupsi, tidak jujur, melupakan rakyat, dan bekerja tidak seprofesional seperti yang ada di dalam idealisme para aktivitis tersebut dulu. Oleh karena itu sebagian kalangan menghakimi bahwa idealisme mahasiswa hanya seumur jagung, akan luntur bahkan mati seiring dengan bertambahnya umur. Coba teman-teman google tentang hal ini, akan mudah menemukan ribuan opini masyarakat yang berkata demikian.

Christensen memperkenalkan konsep “The Trap of Marginal Thinking” sebagai solusi tentang bagaimana kita bisa mempertahankan prinsip kita, termasuk idealisme. Dia berkata, “The only way to avoid the consequences of uncomfortable moral concessions in your life is to never start making them in the first place.” Pada hal-hal yang sangat prinsipil, apabila kita tidak ingin ia kemudian luntur pada suatu hari nanti, maka kita seharusnya tidak mencoba untuk sekali-kali berkompromi—bahkan dalam kondisi seremeh apapun.

Ketika Christensen muda, ia sangat menyukai bermain basket. Ketika kuliah di Inggris, ia mengikuti tim basket universitasnya. Suatu ketika, ia dan teman-teman timnya mengikuti salah satu kompetisi basket antar universitas yang bergengsi disana. Ia dan timnya latihan rutin dengan maksimal untuk menyambut turnamen tersebut. Ketika turnamen berlangsung, timnya menunjukkan performa yang sangat baik yang akhirnya setelah melalui beberapa tahap timnya menuju babak final nasional kompetisi basket tersebut. Namun Christensen memiliki masalah dengan final turnamen itu karena akan diselenggarakan pada hari Minggu.

Christensen sebagai seorang yang sangat religius pernah membuat komitmen dengan Tuhannya untuk tidak pernah bermain basket di hari Minggu karena itu adalah hari Sabbath. Teman-temannya membujuknya agar ia mau satu kali saja, pada momen yang sangat krusial ini, untuk mengkompromikan janjinya tersebut. Ia memiliki peran yang sangat penting di tim dan lagi pula tidak ada salahnya untuk sekali-kali berkompromi. Ini adalah keputusan yang sangat sulit bagi Christensen, ia sangat dinanti-nantikan oleh teman-teman baiknya tersebut dan karena ia memang punya cita-cita sejak kecil untuk bisa juara turnamen basket—ini adalah kesempatan emas. Namun ia akhirnya memutuskan untuk tidak ikut bermain. Pada kompetisi tersebut, timnya tetap bisa bermain baik tanpa kehadiran Christensen, semuanya baik-baik saja, dan akhirnya timnya bisa menjadi juara.

Poin penting dari kisah di atas adalah bahwa mempertahankan komitmen 100 persen jauh lebih mudah daripada mempertahankannya 97 persen. Andai kata Christensen ketika itu berkompromi untuk meninggalkan komitmen Sabbath-nya, saya yakin ia akan lebih sering mengkompromikan hari Minggunya untuk bermain basket atau melakukan kegiatan lain yang mengurangi fadhilah Sabbath. Cara berpikir “hanya satu kali ini saja” sering menjebak kita untuk melenturkan idealisme dan prinsip kita, sehingga pada akhirnya kita tidak memegang idealisme dan prinsip seteguh sebelumnya. Menurut saya, kompromi kecil inilah yang dilakukan oleh para pensiunan aktivis mahasiswa yang saat ini memiliki otoritas dan akses kekuasaan tetapi seakan-akan mereka lupa idealismenya dulu. Kompromi-kompromi yang dianggap kecil, dilakukan berkali-kali, yang akhirnya membuat idealisme itu ditinggalkan dan mati.

Tahun lalu saya pernah berencana untuk maju sebagai kandidat presiden BEM di universitas saya berkat dorongan teman-teman sekitar. Saya memiliki tim sukses ketika itu yang menyiapkan dari persiapan-persiapan administratif, teknis kampanye, sampai strategi mobilisasi masa. Karena saya akan maju sebagai kandidat independen, tim sukses meminta saya untuk menggunakan Forum for Indonesia sebagai kendaraan politik. Organisasi ini di universitas saya sudah cukup eksis dan punya basis masa yang kuat. Namun saya ingat akan komitmen saya bersama teman-teman di organisasi bahwa Forum for Indonesia tidak akan pernah terlibat dan ikut urusan politik, apakah itu politik di level nasional, lokal, bahkan hanya universitas. Saya dengan tegas mengatakan bahwa walaupun saya sebagai co-founder di organisasi ini, saya tidak bisa menggunakannya seusai keinginan dan kepentingan saya.

Tim sukses saya sempat frustasi karena sikap keras kepala yang saya tunjukkan. Tetapi menurut saya, karena ini sudah merupakan komitmen saya dengan Forum for Indonesia, saya tidak akan pernah sekali-kali melanggarnya. Saya memegang teguh prinsip itu sampai pada akhirnya pemilu dilaksanakan. (Karena kalkulasi politik dan profesionalitas, saya akhirnya tidak jadi mengajukan diri sebagai kandidat presiden BEM. Pada pemilu itu Forum for Indonesia tidak memberikan keberpihakan dengan salah satu kandidat peserta pemilu).

Mungkin pada masa-masa krusial tersebut saya bisa menggunakan otoritas saya untuk memanfaatkan Forum for Indonesia demi kepentingan politik saya di kampus yang mengubah kalkulasi politik sehingga akhirnya saya memutuskan untuk maju. Namun saya berpandangan bahwa mempertahankan komitmen ini jauh lebih penting dan mulia dari pada memenuhi ambisi politik saya. Saya yakin Forum for Indonesia akan terus tumbuh lebih besar dan kontributif dengan terus mempertahankan komitmen ini, 100 persen. Dan mungkin apabila akhirnya saya memaksakan diri untuk melonggarkan komitmen saya tersebut, kepercayaan teman-teman bahwa Forum for Indonesia bebas dari kepentingan politik akan luntur. Saya bersyukur, bisa menghindari jebakan berpikir marginal kala itu.

Situasi seperti yang saya dan Christensen hadapi di atas sangat memberi kesempatan untuk berkompromi atas idealisme dan prinsip. Itu adalah jebakan nyata yang oleh Christensen disebut the trap of marginal thinking. Dampak dari melanggar komitmen mungkin memang tidak serta merta muncul. Namun apabila kita terlena, dan semakin mengendorkan komitmen, suatu hari nanti baru kita akan sadar bahwa ternyata biaya yang harus dibayar dari pelanggaran komitmen tersebut sangat besar.

Kemampuan menghindari cara berpikir marginal “satu kali ini saja” adalah apa yang membedakan antara orang-orang yang tetap memegang teguh idealisme dengan mereka yang melunturkannya. Hal ini pulalah yang membedakan antara mereka, mantan aktivis, yang saat ini karyanya besar dan bermanfaat bagi masyarakat dengan mereka yang saat ini mendekam di bui, dipenjara karena hati nurani yang mati dan integritas yang terkompromi. Semoga kita tidak pernah terjebak dengan cara berpikir marginal sehingga kita bisa mempertahankan komitmen, prinsip, dan idealisme terpenting kita dimanapun dan sampai kapanpun.



#FutureShaper adalah program dari Forum for Indonesia yang merupakan edisi tulisan-tulisan tentang kepemimpinan dan manajemen. Edisi ini ditulis untuk menjadi salah satu bahan inspirasi dan diskusi bagi teman-teman yang ingin mengawali petualangan menjadi pemimpin di lingkungan kita masing-masing.

@FutureShaperID | @forumforID | @GhufronMustaqim


Post ADS 1
Banner
Banner