Ibuku Sang Murabbi

Oleh: Muhammad Ihsan 
Pemred Penaaksi.com
Peneliti Forum Kajian Ilmu Pendidikan (FKIP)

DALAM sebuah pengajian di daerah Bekasi, seorang Ustadz (Sebut Saja, ustadz Ilham) menceritakan pengalamannya ketika melamar menjadi dosen di sebuah Perguruan Tinggi Islam. Ia Mendapatkan rekomendasi dari ketua yayasan PTI tersebut untuk mendaftarkan diri menjadi dosen. Ketua yayasan tersebut berjanji akan menerima beliau sebagai dosen. Akhirnya ustadz Ilham mencoba untuk mendaftarkan dirinya.

“Terima Kasih Pak Ilham, sudah melamar menjadi dosen di tempat kami,” tutur pak Hasan yang mewakili Pihak Kampus.

“Saya Juga berterima kasih telah disambut hangat oleh pihak kampus,” jawab ustadz Ilham tak kalah hangatnya.

“Kalo boleh tahu, pak Ilham punya Murabbi?” Pak Hasan mengajukan pertanyaan cukup serius.

“Alhamdulillah ada pak,” ustadz Ilham menjawab santai.

“Kalo boleh tahu siapa Murabbinya?” Rasa penasaran menyelimuti Pak Hasan.

“ Ibu Saya,” jawab Ustadz Ilham.

Pembicaraan terhenti beberapa saat. Mungkin pak Hasan terkejut atas jawaban ustadz Ilham. Pak Hasan mengira-ngira apakah jawaban sang ustadz hanya selorohan ringan atau jawaban sungguhan. Yang pasti seorang ibu menjadi murobbi, dalam pemahaman pak Hasan  adalah sesuatu hal yang jarang terjadi.

“Pak Ilham terima kasih sudah melamar di PTI Kami, Nanti akan kami kabari bapak diterima atau tidak,” pungkas pak Hasan mengakhiri pembicaraan.

Akhirnya ustadz Ilham pulang, dan tidak pernah kembali ke ruangan itu. Karena memang tidak pernah datang kabar ia diterima disana. Ia selalu berpikir, apakah salah jika dirinya menyatakan bahwa “Murabbinya adalah Ibunya sendiri?”

Kisah diatas adalah kisah nyata yang disampaikan sang ustadz dalam pengajian rutinnya.

Kisah ini sedikit banyaknya menggambarkan proses pendidikan Indonesia saat ini telah disempitkan artinya hanya berada di sekolah. Sehingga pemerintah belum memprioritaskan pendidikan keluarga bagi para calon ibu. Padahal pendidikan di sekolah hanyalah sementara, sedangkan pendidikan dari seorang ibu adalah selamanya. Sehingga banyak pemuda-pemudi muslim saat ini merasa tak dididik (tertarbiyah) oleh ibu atau kedua orangtuanya. Wajar jika ungkapan “Murabbiku adalah Ibu” menjadi hal yang sangat asing.

Padahal jika kita mau mengambil pelajaran dari proses pendidikan orang-orang besar. Kita akan tahu betapa besarnya tanggung jawab proses pendidikan dari  seorang ibu. Ulama Dari Kuwait , Dr. Tariq Suwaidan penulis Biografi 4 Imam Mazhab menuliskan kisah tentang besarnya peran seorang ibu bagi proses pendidikan Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad.

Ibu Imam Malik sang Pendidik.

Pada masa kecilnya, Imam Malik memiliki kecenderungan kepada lagu dan musik. Ibunyalah yang telah membuat Imam Malik meninggalkan dunia lagu dan musik beralih ke dunia ilmu hingga akhirnya menjadi Ulama Fiqih yang ilmunya terus bermanfaat hingga saat ini.

Imam Malik menuturkan:

Pada masa kecilku, aku sangat menyukai para penyanyi. Ibuku tahu aku sangat gandrung dengan nyanyian, tapi ia merasa bahwa teladan yang kuidamkan tidak tepat dan tidak benar. Ia pun memalingkan aku dari lagu-lagu itu. Ia berpesan, “Seorang penyanyi, jika ia buruk rupa, maka lagunya tidak akan dilihat dan didengarkan. Karena itu tinggalkanlah lagu dan tuntutlah ilmu fiqih!”

Imam melanjutkan:

Aku pun akhirnya meninggalkan para penyanyi itu dan mengikuti para fuqaha sehingga Allah mewujudkan cita-citaku seperti sekarang.

Pada suatu hari ibuku datang membawakan pakaian kebesaran para ulama. Ia mengenakannya untukku dan memasangkan kopiah di kepalaku. Ia memasangkan balutan di kopiah itu, lalu menarikku seraya berkata, “Sekarang, pergilah!” Ia menunjukkan kepadaku seorang ulama.

Ternyata pendidikan dari ibu sang imam tidak hanya sebatas memotivasi anaknya untuk menjadi ulama, bahkan sang ibu juga memberikan pengarahan dalam proses pendidikan sang Imam.

Sang Ibu berpesan kepada Imam Malik, “Pergilah ke tempat Rabi’ah, pelajari akhlaknya sebelum kau mempelajari ilmunya.” Sungguh pengarahan yang luar biasa dari seorang ibu yang mulia. Ia paham bahwa sang anak harus mengutamakan akhlak di atas ilmu.

Imam Syafii dan Ibu yang Cerdas.

Ibunda Imam Syafi’I adalah seorang ahli ibadah yang cerdas. Kecerdasan Beliau tampak ketika ia menjadi salah seorang saksi di pengadilan Makkah bersama seorang saksi perempuan lain dan seorang saksi laki-laki. Ketika hakim ingin memisahkan antara kesaksian dua orang perempuan tersebut, ibunda imam Syafi’i berseru, “Kau tidak layak melakukan hal itu karena Allah telah berfirman,

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki (diantara kalian). Jika tak ada dua orang lelaki maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkanya.” ( Al-Baqarah: 282)

Hingga akhirnya sang hakim menarik kembali pendapatnya.

Peran Ibunda Imam Syafi’I terhadap dirinya sangatlah besar. Seperti Imam Malik, Imam Syafi’I juga mendapat banyak pengarahan dari sang ibu dalam hal menuntut ilmu. Ibunya selalu membimbing Imam Syafi’I untuk terus meraih ilmu dengan mengirimnya dari Gahaza lalu ke Makkah. Sang ibu mengirim Syafi’I kecil agar dapat hidup tidak jauh dari pusat ilmu kala itu.

Ibunda Imam Syafi’I juga menyiapkan seluruh perbekalan perjalanan sang imam menuju Makkah. Dikisahkan oleh Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Syafi’I pernah berkata “Ibuku mempersiapkan segalanya untuk perjalananku ke Makkah. Aku pun berangkat kesana. Ketika itu aku masih berumur sekitar sepuluh tahun. Aku menetap di rumah salah seorang kerabatku dan mulai menuntut ilmu disana.”

Kondisi Imam Syafi’I yang tumbuh dalam keadaan yatim, menjadikan sang Ibu adalah Murabbi pertamanya.

Prioritas Ibu Imam Ahmad

Ibu Imam Ahmad bernama Shafiyyah. Shafiyyah sangat memperhatikan putra yatimnya, Ahmad. Shafiyyah memilih tetap menjanda pada usianya yang terbilang muda demi mengasuh Ahmad. Pada saat itu mayoritas perempuan Arab bila ditinggal mati suaminya, cenderung untuk menikah lagi demi menjaga kehormatan dan nama baiknya. Bahkan sudah menjadi tradisi wanita ditinggal mati suami atau dicerai, harus segera menikah lagi. Tetapi berbeda dengan mayoritas perempuan Arab. Shafiyyah bertekad untuk sepenuhnya mengasuh sang putra yang kelak akan menjadi Imam Besar Sepanjang Zaman. Padahal ketika ditinggal Suami, Shafiyyah masih berusia 30 Tahun.

Kasih sayang dan perhatian penuh yang diberikan oleh sang ibu, telah mendidik Ahmad tumbuh menjadi seorang Pemuda yang berbakti kepada orang tuanya. Pernah suatu ketika  Ahmad menolak menyeberangi sungai Tigris untuk sekedar menerima hadits bersama teman-temannya dari Jarir ibn Abdul Hamid, Ulama Ahli Ra’yu. Saat teman-temannya mengajaknya, Ahmad mengatakan “Ibuku tidak mengizinkanku melakukannya.” Padahal, ketika itu umur Ahmad sudah 22 tahun.

Dalam menuntut ilmu Ahmad selalu mengutamakan mendapat ridha dari sang ibu. Karena beliau tahu mendapatkan Ridha sang Ibu adalah sunnah Rasulnya.

“Dari Abdullah bin ‘Amr beliau berkata; Rasulullah Saw. bersabda; Ridha Allah pada ridha orangtua dan murka Allah pada murka orangtua.” (HR. Al-Baihaqy)

Kehebatan para Imam Madzhab ternyata tak lepas dari kehebatan Murabbi mereka yaitu, kontribusi para ibunda. Karena ibu adalah madrasah pertama pendidikan seorang anak. Kita dapat mengambil pelajaran dari ibu para imam bagaimana mendidik seorang anak. Seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i yang diberi arahan oleh sang ibu dalam menuntut ilmu. Mereka dipersiapkan perbekalannya dalam mengarungi samudera ilmu yang sangat luas. Seorang ibu juga harus memberikan prioritas hidupnya mendidik sang anak layaknya ibu Imam Ahmad. karena setiap ibu harus paham, mendidik anak bukanlah sambilan tetapi keutamaan.

Sudah sepantasnya seluruh umat Islam mulai memperhatikan peran ibu dalam mendidik sang anak. Pengadaan sekolah calon ibu, sekolah pra nikah yang mulai gencar saat ini adalah suatu kemajuan yang patut disyukuri dan ditindaklanjuti. Seperti apa yang penulis tuliskan di awal, “Pendidikan di sekolah hanyalah sementara, sedangkan pendidikan dari seorang ibu adalah selamanya.” []
Post ADS 1
Banner
Banner