Indahnya Hidup Denganmu

Dalam kehidupanku, aku ingin menjadi sesuatu yang selalu kau puji dan kau harapkan. Selalu kau sebut setiap saat. Selalu kau pikirkan setiap aliran detik. Aku ingin menjadi sesuatu yang selalu kau ingat, sesuatu yang selalu kau inginkan. Saat kau bersedih kau akan lari mendekat kepadaku. Aku mencintaimu sepertiku mencintai diriku sendiri. Aku menyayangimu seperti kumenyayangi kelima inderaku. 

Aku tahu, tak seharusnya aku berharap seperti ini. Namun, izinkan aku memilikimu dalam mimpiku. Yaa, hanya sebatas mimpi saja. Aku harap kau mendengarkan isi hatiku, walaupun aku sendiri bingung dari mana kau akan tahu isi hatiku. Adakah lapisan hatimu yang belum terisi olehnya. Izinkan aku menjadi penghuni dan memenuhinya, karena seluruh luas permukaan hatiku sudah penuh, tertanam oleh harumnya tumbuhan namamu.
*******
Dia tetap saja terfokus pada buku bacaannya, terkadang menulis sesuatu di buku catatan. Aku tak tahu, dia benar-benar tak tahu, atau dia tak mau tahu akan keberadaanku yang memperhatikan sejak tadi, mematung tegak di salah satu barisan rak buku perpus. Cantiknya! Ruangan ini seakan mengiyakan pengagumanku pada sosok gadis cantik ini. Gadis yang setiap kumenatapnya, selalu kumengaguminya, dan itu terjadi sejak pertamaku mendaftar di sekolahan ini hingga sekarang.

Handphone-nya bergetar, terdengar jelas di telingaku. Bergegas dia ambil disaku celana sebelah kanan. Ditekannya salah satu tombol. 

“hallo Yang……. Aduh, jangan telpon sekarang ya, aku lagi di perpus nih. Sms aja, atau nanti telpon lagi. OK!”, suaranya lirih.

“iya, soalnya aku da di perpus nih!”, ucapnya manja

“oke deh, Yang. I miss you too!”, sambungnya masih di percakapan telponnya.

Aku pun beranjak. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Aku tak terima dengan ini. akuu melangkah bertolak darinya. Aku kesal. Aku muak dengan pertunjukaan tadi. Aku masih bingung mengartikan bahasa tubuhku. Tapi, “memangnya kamu ini siapanya Indri?” hati kecilku seakan protes dengan perilakuku. “iya, ya. Aku ini memang siapanya dia!”. Ah, aku tak perduli. Pokoknya, Aku cemburu dengan semua ini. Tidak! Aku tidak boleh cemburu, memang aku ini siapanya. Aku kenal dia, tapi dia tidak kenal kau. Yaa, walaupun kami sekelas, dia tak pernah mengajakku mengobrol sekalipun. Dia seakan mahal untuk berbicara dengan siswa jenis aku. Bel masuk, terdengar tak merdu. Memaksa semua siswa masuk kelasnya masing-masing, tak terkecuali aku. Aku pun berjalan lemas ke tempat pintu bertulis XII IPA 7.
*******
Bel pulang berdering. Kali ini Suara itu terdengar sangat merdu ditelingaku yang sejak tadi merah memanas. Semua siswa seakan berebut untuk keluar pintu gerbang sekolah lebih dulu. Tak terkecuali Indri. Dia keluar menuju pria yang berdiri di dekat motor besar-merah. Aku tetap melihatnya di balik tembok gerbang masuk sekolah. Tembok yang selalu melindungiku setiap kumelihat Indri dijemput kekasihnya. Yaa, tembok ini adalah saksi bisu akan sisi gelapku. Sisi dimana aku memendam sendiri rasa suka dan cinta padanya. Sisi dimana aku menganggap dirikulah satu-satunya yang memiliki dia seutuhnya. Sisi dimana tempat aku terluka, dan selalu kuobati dengan luka-luka berikutnya.

Lelaki itu terlihat gagah. Kali ini dia memakai jaket kulit hitam. Kacamata putih benih melekat erat di matanya. Seakan menambah kesempurnaannya dimata anak-anak putri. Kudengar-dengar dia sekolah di SMA 2, tak begitu jauh dari sekolah ini. 

Indri mendekat. Bisa kutebak dia akan langsung menbonceng di belakangnya. Namun, tidak! Indri malah menampar lelaki itu, tak terdengar jelas percakapannya. Aku seakan melihat perdebatan sengit diantara mereka. Indri mengacungan jari sambil berbicara, dan sebentar terlihat dia melelehkan tangisan. Aku tundukkan kepala. Yaa, sejak kecil aku tak tega melihat perempuan menangis. Entah kenapa. Kata ibu, aku mewarisi sifat ayah yang penyayang dan sangat menghargai perempuan.

Lelaki itu pun pergi meninggalkan Indri berdiri sendiri. Suasana makin sedih karena keheningan sekolah terasa kental terdengar, memang hamper seluruh siswa sudah pulang. Lagi-lagi aku tak tega melihatnya sendiri dan menangis. Aku pun beranjak ke parkiran mengambil sepeda bututku. Kulihat dari kejauhan Eka, teman sekelasku. 

“Ek, Eka! punya Tissu?”, terikku, mendekatinya.

“Ih, buat apaan. Cowok-cowok kok pakai tissue!”, protes Eka sambil mengambilkan tissue dari tas pink-nya. Eka memang cewek paling cerewet se-kelas versiku. Tapi tak pernah kugubris kelebihannya itu. Kelebihan ngomong.

Kulihat Indri masing setia mematung tegak di sana. Kutuntun sepedaku mendekatinya. Yaa, kuharap tissue ini dapat sedikit menghapus kesedihannya. Kesedihan yang tak kutahu apa sebabnya.

“udah. Jangan menangis. Nih…”, ujarku, menyodorkan tissue dari Eka.

Kutinggalkan dia yang masih khusuk menangis. Sebelum kukayuh sepeda, aku ingin menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya. Yaa, untuk sekadar menengok keadaannya. Belum sempurna ku mengayuh.

“Rifki!”, dia memanggilku. Tak kusangka dia tahu namaku.

“Aku boleh bonceng sampai depan, gak?” , pintanya.

Aku tak tahu aku harus berkata apa pada Indri. Tawaran itu hanya kubalas dengan senyuman ringan khasku.

Wonogiri, 13 RAMADHAN1431 H
Arif Setiyanto |  Kontributor Kolom Cembung PenaAksi[dot]com
Post ADS 1
Banner
Banner