Malapetaka Memporak-Porandakan Masyarakat (4)

Larangan Saling Memanggil Dengan Gelaran Buruk.

“Dan janganlah kalian mencela diri (saudara) kalian sendiri dan janganlah kalian panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk”. (QS. Al Hujurat: 11)

Ayat ini turun kepada Bani Salamah. Ketika Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam tiba di Madinah Munawwarah, beliau mendapati para sahabat Anshar mempunyai sejumlah nama. Suatu saat beliau memanggil salah seorang sahabat Anshar dengan namanya. Lantas para sahabat yang lain berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya gelaran itu tidak disukai saudara ini”. Maka turunlah ayat yang melarang mereka memanggil dengan gelaran-gelaran yang dibenci.

Apa kerugianmu jika engkau bicara dengan kata-kata yang baik? Hatimu –na’udzu billahi minhu– penuh dengan perasaan hasad, dengki, kebencian dan dendam terhadap kaum muslimin. Lidahmu, tidak engkau gunakan berbicara yang baik. Wajahmu, senantiasa cemberut, tertutup sama sekali dari kebaikan. Apa sih yang memberatimu sekiranya engkau memanggil saudaramu dengan nama yang paling disukainya? Untuk memasukkan rasa gembira ke dalam hatinya yang mungkin luka, lalu engkau menawarkannya dengan kata-kata yang baik itu. Apa yang memberatimu? Sehingga engkau sangat bakhil. Sampai bakhil berbicara baik, sampai bakhil mengucapkan salam !!!

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian kerjakan, maka kalian akan saling cinta mencintai. Yakni sebarkanlah salam diantara kalian. Berilah makan mereka yang menghajatkan, sambunglah tali persaudaraan dan shalatlah kalian di waktu malam, ketika manusia tengah nyenyak tidurnya, niscaya kalian akan masuk Surga”. (Al Hadits)

Tidak ada yang menambah umur kalian kecuali kebajikan, kecuali perbuatan baik. Untuk itu, penuhilah katimu dengan mahabbah, sesungguhnya dengan mahabbah ini engkau dapat membantu dirimu untuk memperoleh sumber kebaikan yang sangat jernih dan tidak akan pernah keruh. Kebaikan itu akan senantiasa mengalir kepada dirimu, meski engkau ada di rumah, tidak bergerak dan tidak beramal, lantaran kecintaan (mahabbah)mu kepada seorang mu’min.

Dalam hadits shahih diserbutkan :

“Tidaklah kecintaan seorang hamba kepada saudaranya, melainkan yang paling dicintai Allah dari kedua hamba tersebut adalah yang paling besar kecintaannya terhadap saudaranya”.

“Hiduplah kamu sesuka hatimu, sesungguhnya engkau akan mati jua. Dan beramallah sesuka hatimu, sesungguhnya amalanmu akan mendapat balasan”.

“Jauhilah perkara-perkara yang haram, niscaya engkau akan menjadi manusia yang paling berbakti. Dan ridlalah engkau terhadap apa yang Allah telah bagikan kepadamu, niscaya engkau jadi manusia yang paling kaya. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi seorang mukmin. Dan cintailah untuk manusia apa-apa yang engkau mencintai untuk dirimu sendiri, niscaya engkau menjadi seorang muslim. Dan janganlah banyak tertawa, karena banyak tertawa itu akan mematikan hati”.[i]

Tiga perkara yang semuanya haram: as sukhriyah (menghina), al lamzu (mencela) dan at tanaabazu bil alqab (panggil memanggil dengan gelaran yang buruk). Dan sebagai akibat dari melanggar salah satu dari ketiga perkara itu adalah balasan dari sisi Allah dengan dua gelar yang buruk. Engkau menerima dari Allah dua nama buruk dan kehilangan sebuah gelar yang agung. Sebelum itu namamu di sisi Allah adalah mu’min, lalu Allah memberikan padamu gantinya dengan nama fasid dan fusuq. Dan jika engkau tidak cepat-cepat bertaubat, maka Allah akan menambah dengan gelar lain, yakni fasiq dan zhalim.

“Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itu orang-orang yang zhalim”. (QS. Al Hujurat : 12)

Adakah engkau suka menukar nama mu’minmu di sisi Allah dengan nama fasik ?!! Engkau jual nama mu’minmu dan kemudian engkau beli sebagai gantinya nama fasik dan zhalim. Dengan apa? Dengan umpatan lesan atau engkau gunakan kedua bibirmu untuk mencela saudaramu atau gerakan hati yang serupa itu. Celaka dan celakalah orang yang menukar nama mu’min dari Rabbul ‘Izzati dengan dua nama: fasik dan zhalim. Sungguh jelek sekali jual beli tersebut.



KHOTBAH KEDUA.

Segala puji bagi Allah, dan semoga kesejahteraan dan kesentausaan senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Muhammad Shallallahu Alayhi Wa Sallam, dan kepada seluruh keluarganya, para sahabatnya serta siapa saja yang mengikutinya.

“Semoga Allah merahmati seseorang yang mengerti batas/ketentuan Allah serta berhenti pada batas-batas tersebut”. (Al Hadits)

“Cukuplah seseorang telah berbuat kejahatan, kalau ia menghina saudaranya sesama muslim”. (Al Hadits)

“Wailun (kecelakaan ) bagi setiap pengumpat lagi pencela”. (QS. Al Humazah : 1).

“Wailun” adalah kata yang berisikan ancaman dan siksa.

Sebagian mufassirin mengartikannya sebagai : “lembah di neraka jahanam”

Wahai saudara-saudara yang mulia!

Kita saling bersaudara. Dan seluruh muslim di berbagai penjuru bumi adalah saudara-saudara kita yang dipersatukan oleh satu ikatan, yakni ikatan Islam. Dan janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa puasa, shalat dan zakat itu lebih besar nilainya di sisi Allah daripada menjaga kehormatan seorang muslim, membelanya dan memberi pertolongan kepadanya. Dan janganlah sekali-kali kamu menganggap bahwa zina dan riba itu lebih besar keharamannya daripada keharaman menginjak-injak harga diri dan kehormatan seorang muslim.

Dalam sebuah hadits shahih dinyatakan :

“Riba itu ada tujuh puluh dua cabang. Yang paling rendah tingkatannya ialah seperti seorang laki-laki yang menikahi ibunya sendiri. Sedangkan yang paling tinggi tingkatannya ialah seorang muslim yang mencemarkan harga diri saudaranya”.[ii]

Mencemarkan harga diri seorang muslim itu dosanya lebih besar daripada dosa seseorang yang menikahi ibunya di bawah naungan Ka’bah. Demi Allah, dahulu saya mengira bahwa hadits itu dlaif. Sampai saya melihatnya dalam silsilah hadits shahih atau dalam Al Jami’ Ash Shaghir oleh Albani. Sesungguhnya riba yang paling tinggi tingkatannya adalah seorang muslim yang mencemarkan harga diri saudaranya muslim.

Sepotong kecil daging yang tidak lebih dari beberapa sentimeter saja, namun mampu menyeretmu ke dalam neraka. Hanya sepotong daging yang Allah jadikan ia diantara dua penjara besar: dua rahang dan dua bibir, sehingga engkau benar-benar memperhatikan ciptaan Allah. Maka janganlah kamu melepaskan tali kekangnya. Rabbmu telah menciptakan bagimu dua telinga, dan satu lidah sehingga kamu dapat mendengar lebih banyak dari apa yang kamu ucapkan.

“Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta, kalau ia mengatakan setiap apa yang didengarnya”. (Al Hadits).

Barangsiapa mengatakan setiap apa yang didengarnya, maka ia adalah seorang pendusta.

Wahai saudaraku yang tercinta!

Apa yang membuat kita terpecah belah? Apa yang mengoyak-koyak keberadaan kita? Apa yang telah mencerai-beraikan jama’ah kita? Apa yang membuat hancur masyarakat kita? Apa yang mengancam kita dan menggoyang kemapanan kita kalau bukan lidah? Sekerat daging yang tak peduli dan tidak mengindahkan hubungan kekerabatan orang muslim.

Wahai saudaraku! Jika hatimu membisikkan sesuatu pada dirimu untuk mencela saudaramu, maka lihatkan aib-aibmu! Seperti yang pernah diucapkan ‘Isa bin Maryam Alayhis Salaam ketika didatangkan padanya seorang wanita yang telah berzina, saat itu seluruh kaum berpaling, mengucapkan istirja’ (ucapan Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun) dan menolak perbuatannya. Berkatalah ‘Isa Alayhis Salaam kepada kaumnya : “Barangsiapa diantara kamu yang tidak pernah punya salah, maka silakan dia merajamnya”.

Alhamdulillah, bahwa kita tidak dapat mencium bau dosa. Telah disebutkan dalam sebuah atsar yang saya baca dalam Fatawa Ibnu Taimiyah (Majmu’ul Fatawa) bahwa apabila seorang hamba melakukan suatu perbuatan dosa, maka malaikat menjauhi dirinya sejauh satu mil karena ia mencium bau dosa.

Alhamdulillah, kita tidak bisa mencium bau dosa kita. Jika tidak demikian, maka bau dosa kita akan menyebabkan hidung menjadi selesma. Kadar dosa kita akan membuat bumi ini rata dengan bau busuk. Apakah ucapan kita (mencela sesama muslim itu) lebih ringan dibandingkan dengan kata-kata ‘Aisyah ra kepada Shafiyah ra. : “Cukuplah bagimu tentang Shafiyah itu begini dan begini”. (maksudnya Shafiyah itu badannya pendek). Maka Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam bersabda :

“Sungguh engkau telah mengucapkan suatu perkataan, yang sekiranya dicampur dengan air laut, maka perkataan itu dapat mencampurinya”.

Maksudnya, sekiranya perkataan itu bercampur dengan air laut, niscaya air laut tersebut berbau busuk semua. Padahal air laut itu tidak akan busuk lantaran kadar garamnya banyak.

Wahai saudaraku, berhati-hatilah kamu terhadap lidahmu. Jangan engkau melihat aib saudaramu, tetapi lihatlah lebih dulu aibmu.

Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam bersabda dalah hadits shahih :

“Seseorang diantara kalian dapat melihat kotoran halus yang ada di mata saudaranya, namum ia tak melihat batang pohon yang berada di depan matanya”.

Yakni: sesungguhnya dosa-dosamu, aib-aibmu dan kekuranganmu lebih besar dan lebih banyak daripada kesalahan-kesalahan yang kamu lihat ada pada saudaramu. Dan seorang muslim itu tidak akan mencari-cari kekurangan/kesalahan, sebab al muru’ah (sikap perwira) itu dituntut untuk mampu memaafkan kesalahan (orang lain), sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alayhi Wa Sallam yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

“Maafkanlah kesalahan orang-orang yang mempunyai kedudukan, sesungguhnya salah seorang diantara mereka telah berbuat kesalahan, sedang tangannya berada di tangan Ar Rahman”. (Lihat Shahih Al Jami’ Ash Shaghir hal. 1185).

Berdasarkan dalil ini pengikut Madzhab Malikiyah menetapkan bahwa dakwaan yang berasal dari pendusta dan orang-orang fasiq terhadap orang-orang yang dikenal kebaikannya tidak diterima. Dan apabila ada seorang fasiq yang menuntut –di Pengadilan Islam— atas seseorang yang dikenal kebaikan dan taqwanya, maka yang mendakwa tersebut dihukum penjara supaya orang-orang yang jahat tidak (mudah-mudah) merusak kehormatan orang-orang yang baik dan agar supaya lesan-lesan orang-orang fasiq tidak memfitnah kehormatan orang-orang pilihan, yakni orang-orang yang telah dikenal kebaikan dan taqwanya.

Jagalah lesan-lesan kalian dan mulailah dengan lembaran baru bersama Rabbmu sehingga sirna semua ghibah dan akibat yang ditimbulkannya, tajassus (memata-matai) dan musibah yang diakibatkannya atas masyarakat kaum muslimin, serta prasangka buruk dan akibat yang akan mencerai-beraikan ikatan keluarga, masyarakat dan Harakah…sehingga semua terbebas dari hal tersebut…Berjanjilah lepada Rabbmu untuk memulai lembaran baru dan untuk menjaga lesan secara terkendali.

Sebagaimana sebagian sahabat dalam rangka menjaga lesan, pada saat-saat tertentu ada yang memasang penutup pada mulutnya sehingga mereka tidak bisa berbicara, sebagian ada yang tidak mau bicara seraya berkata :
“Inilah yang akan membawaku kepada kebinasaan”

Dan sesungguhnya kamu akan binasa, jika dirimu memperturutkan hawa nafsu dan melepaskan kekang yang mengikat lisanmu.

Mu’adz Radhiyallahu Anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alayhi Wa Sallam : “Apakah kami akan dituntut dari apa yang kami ucapkan?”

Beliau bersabda : “Celakalah ibumu wahai Muadz!? Apakah ada yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka, kalau bukan hasil dari lesan-lesan mereka?”[iii]

Apabila fitnah telah merajalela, maka tangisilah kesalahanmu dan jagalah lesanmu supaya tidak menjerumuskanmu ke dalam neraka.

[i] Hadits shahih Tirmidzi (Shahih Al Jami’ Ash Shaghir 100)

[ii] Shahih Al Jami’ Ash Shaghir 3357

[iii] HR Tirmidzi, hasan shahih

Dr. Abdullah Yusuf Azzam
Post ADS 1
Banner
Banner