Pahala Terakhir

Oleh : Arif Setiyanto |  Kontributor Kolom Cembung PenaAksi[dot]com
 
Izinkan aku bercerita tentang sahabatku yang sangat luar biasa, seseorang yang bisa merubah pandangan hidupku hanya dalam waktu singkat, satu setengah bulan. Dia seumuran denganku. Namun, dulu ketika kelas dua SD, dia tidak naik kelas. Jadi aku lebih dulu lulus daripada dia.

Sebenarnya aku kuliah di Jakarta, masih mahasiswa tingkat pertama. untuk saat ini aku memilih libur kuliah. aku belum ingin mengambil semester pendek, karena aku masih ingin menikmati masa kuliahku. aku ingin menghabiskan liburku disini. Kampung Tegalombo. Tempat ‘pembuangan’ku dulu.

Orang tuaku merantau di Jakarta, waktu kecil aku ikut dengan beliau. Kala itu krisis moneter menyuruh ayahku menelan pil pahit bermerk PHK, yang menyeretnya menjadi pengangguran. Ayah terpaksa banting setir, menjadi tukang ojek diprapatan Pasar Kranji. belum genap dua bulan mengojek, ayahku ditipu. Ayah dihipnotis, hingga akhirnya sepeda motor kreditannya raib. Yaa, untuk meringankan beban, aku terpaksa dimutasi di rumah kakek dan nenek di kampung. Kala itu usiaku delapan tahun. Aku belum tahu apa-apa. Aku pindah sekolah dasar di bangku kelas dua, catur wulan 2. Disitulah Tuhan menuliskan garis takdir-Nya. aku bertemu dengan Ilham. Namun, dia terjegal dengan Mata pelajaran yang dia tidak memahaminya, hingga akhirnya dia harus mengulang setahun.

Dia mengajariku nakal yang berakal. Dia sudah lulus SMK, tapi dia tak pernah membantu pekerjaan orang tuanya sebagai petani. Menurut tradisi di kampung ini, anak tersebut sudah terbilang nakal. Seharusnya, menginjak diusianya yang segitu, dia sudah harus bisa membantu orang tua, entah mencari rumput, menggembala kambing, atau mungkin ikut andil dalam mengelola lahan persawahan. Namun dia tidak. Sama seperti aku dulu. Jadi ada kesamaan aku dengan dia. Sama-sama memiliki waktu yang tak memiliki arti. Pengangguran Tingkat Tinggi.

Namun, Dia memilih untuk bekerja lain. Jualan pulsa panggilan. Dia mempunyai koneksi yang terbilang sangat luas. Caranya bergaul membuat dia dikenal semua kalangan. Kalangan muda, maupun tua. Dia juga pernah menjabat sebagai ketua karang taruna. Jadi, tak khawatir lagi melebarkan sayap dengan pekerjaan itu. Aku salut dengannya. Caranya berfikir praktis dan cerdas mengalahkan mahasiswa macam aku. “ora obah, ora mamah. Ora ubet, ora ngiwet”, katanya. Pepatah kuno yang mulai dilupakan kaum muda sekarang. Seharusnya aku malu.

Ada kalanya kita menghitung, dan ada waktunya menikmati hidup. Itulah katanya yang membuat suatu loncatan api diotakku. Kita boleh hemat, tapi jangan sampai tak menikmati nikmat. Yaa, kali ini aku harus mengakui lagi kecerdasannya. Dia termasuk golongan orang-orang yang irit. Namun, suatu ketika dia pernah mentraktirku mie ayam bakso spesial dan es Jeruk termewah. Tepatnya, sehari sebelum puasa. “Mumpung belum puasa, Rid. Nanti sebulan yang datang gak bisa kayak gini.”, katanya.

Dia selalu membawaku pada kebahagiaan yang sederhana di tengah kesederhanaan. Dia selalu membuatku berfikir ulang jika ada dalam benakku tak mensyukuri nikmat-Nya. Dia tak jelas arah masa depannya. Katanya dia akan bekerja ikut Mbaknya di Surabaya. Namun, mbaknya di sana ikut mertua. Tak enak, tapi mau gimana lagi. dia berencana bekerja menjadi karyawan di salah satu perusahaan mobil ternama, tapi uang masuknya minimal tiga juta. Ah, makan uang sendiri! Tapi dia tak ambil pusing dengan semua. Menurutnya, hal yang belum pasti, yaitu masa depan, mengapa harus dikhawatirkan. Kemarin telah berlalu, Besok belumlah datang! Yang terpenting, hari ini kita harus melakukan yang terbaik. Filosofi yang harus ditanamkan pada para kaum pemuda di zaman sekarang.

Yaa, hari ini adalah hari ke-27 berpuasa. Muatan jamaah Masjid mulai menyusut. Mungkin warga lebih berminat menghabiskan waktu dengan anaknya yang baru pulang dari Jakarta, daripada shalat tarawih seperti biasanya. Lebih suka thawaf di pasar, dan menyiapkan menu idul fitri daripada zikir dan iktikaf. Aku yakin fenomena Ramadhan akhir bulan ini sudah fenomenal di seluruh penjuru tanah air, yang puncaknya adalah kevakuman kembali Masjid tepat saat akan bubar shalat Id. Ha…ha, aku yakin semua itu juga terjadi persis-sama di daerah pelosok sekalipun.

Sebulan yang lalu Ilham pernah bernazar, dia akan mengadakan buka bersama sebulan penuh dengan seluruh santri Pengajian TPA. Bagaimanapun caranya. Dari manapun dananya. Mulai dari minta sumbangan warga, Infaq masjid, sampai bekerja sama dengan ibu-ibu PKK. Menurutnya, ini adalah pahala terakhir sebelum dia merantau. Sebelum dia meninggalkan Pengajian TPA, dan kampung tercinta ini. dia ingin memberikan sesuatu yang tidak akan pernah dilupakan para santri. Hal inilah yang membuatku tercengang. Azzamnya tak perlu diuji lagi. Anak-anak Pengajian TPA yang hari biasa hanya berjumlah 30 santri. Sekarang hampir 75 santri. Itu pun belum dihitung gurunya. Angka yang fantastic untuk Pengajian TPA kampung macam kami.

Dihari itulah puncak dari kekagumanku padanya. Dihari itu dia tak terlihat jamaah shalat asyar. Kemana dia, pikirku. Padahal hari itu jatah buka bersama kosong. Biasanya kalau kosong seperti ini, sejak pagi dia kerumahku. Merembug menu apa untuk buka nanti. Namun, kali ini tidak. Ku sms dia, tak segera dibalas. Ku coba miscall tak diangkat. Padahal berbuka kurang setengah jam lagi. di luar sana hujan seharian masih berlangsung ramai.

Dia sms, bahwa dia ketiduran seharian. Parah. Dasar Pengangguran Kelas Berat. Bagaimana ini. Masa’ misimu gagal malah di penghujung bulan. Hampir selesai. Sebagai teman, aku tak kan bisa memaafkan diriku sendiri jika ini terjadi. Aku berinisiatif mengajaknya membeli buah melon di kecamatan, lumayan jauh dari sini untuk hujan seperti ini.

Ditarik kencang gas motornya. Tanpa perlengkapan apapun kami melawan hujan yang masih asyik berzikir dengan rintikannya yang deras. Tanpa mantol, dan helm. Pergi-pulang kami dikeroyok air langit habis-habisan. Pertengkaranku dengan hujan berjalan alot. Hingga akhirnya, dingin yang bersangat menyengat sekujur luas penampang badanku. Aku yakin dia lebih dingin, karena dia yang di depan.

“Ilham, jangan-jangan anak-anak hari ini gak ada yang berangkat ngaji”, kataku. Dia masih serius dengan yang ada didepannya, dia harus lebih waspada. “Biarin! Tugas kita hanya beli buah! masalah buat buka atau tidak itu dah jadi perkara Yang menurunkan hujan dan Menciptakan buah”, jawabnya, yang setiap kali meludah, menghindari bonusan air yang masuk kemulut. Yaa, Allah menilai proses amal yang dilakukan, bukan hasil yang ditimbulkan. ujian Allah bukanlah seperti ujian nasional. Allah menilai dari niat, dan proses yang optimal. Tidak seperti Ujian nasional yang menghalalkan segala yang terpenting untuk hasil yang maksimal.

Kami pun sampai di masjid dengan tiga buah melon yang kami bawa. Diparkirkan motornya di sembarang. Farid, ayo! Dia mengajakku ke samping masjid. lalu dia menimba air di sumur dan mengguyurnya di kepala dan sekujur badannya. Aku pun ingin mencoba. Ini bukannya malah menambah dingin suhu tubuhku, pikirku. Ternyata tidak, teoriku salah. Air sumur ini membuat badanku lebih hangat. Kami pun menikmati tingkah laku anak SD ini. Tak kami hiraukan anak-anak TPA yang menonton kami dari balik jendela masjid. Ha….ha….. dasar!

Lebaran telah usai. Aku harus balik ke Jakarta. Hari senin aku sudah aktif kuliah. Terima kasih atas pelajarannya teman, semoga kau sukses di perantauan. Pahala terakhirmu, sudah kau tunaikan. Semoga Allah membalas amalan baikmu dengan yang lebih baik.

Wonogiri, 28 Ramadhan 1431 H
Post ADS 1
Banner
Banner