Mengapa Tidak Puasa?

Oleh : Alwi Alatas*


Kemarin petang, sekitar pukul 18.00, cuaca di daerah Wangsa Maju, Kuala Lumpur, sangat cerah (waktu Maghrib di KL sekitar pukul 19.30). Saya memarkir kendaraan di tepi jalan, kemudian menyeberang dan menghampiri kios (kedai) kecil tempat penjual burger. Saya memang bermaksud membeli dua potong burger untuk berbuka puasa hari itu.

Saat tiba di depan kios burger dan menyebutkan pesanan, saya dapati kedua anak muda yang berjualan burger itu tengah makan es krim. Yang satu segera meletakkan es krim yang ada di tangannya dan menyiapkan pesanan saya, sementara kawannya tetap duduk di tempatnya dan menghabiskan es krim yang ada di tangannya.

Tiba-tiba saya jadi merasa sangat kesal. Mengapa kedua ana muda ini tidak berpuasa? Padahal waktu berbuka tidak lama lagi. Saya perhatikan wajah mereka. Mereka memang orang-orang Melayu, bukan orang Cina atau India. Mereka tentu Muslim. Tapi kenapa tidak puasa?

Saya perhatikan pedagang burger yang sedang duduk dan menjilat es krimnya itu. Dia cuek saja, tak perduli dengan pandangan sebal saya. Sudah diperhatikan seperti itu, masih saja tetap makan, tidak merasa malu sama sekali. Saya jadi kehilangan selera dan hampir-hampir membatalkan pesanan. Tapi daging burger sudah mulai dipanaskan. Jadi saya terpaksa diam saja.

Tak jauh dari tempat itu, ada laki-laki lain, Melayu juga, sedang duduk dan makan sesuatu. Dia juga makan! Mengapa dia juga tidak berpuasa. Dan bukan dia saja. Seorang ibu pedagang di sebelah sana juga tidak berpuasa. Ia makan sepotong kue sambil merapikan tempat perniagaannya. Ibu itu mengenakan kerudung, tapi tak berpuasa. Hmm, mungkin saja dia memang sedang tak boleh berpuasa, karena ada halangan. Tapi anak-anak muda ini?

Beberapa kali saya melirik pemuda yang duduk agak jauh tadi dengan wajah sebal. Ia masih asyik menghabiskan makanannya. Beberapa kali pemuda itu juga melihat saya dengan tatapan aneh dan kurang suka, mungkin karena saya memperhatikan dia dengan wajah yang kurang menyenangkan. Selesai makan, pemuda itu pergi ke sepeda motornya yang terletak di dekat kios burger, lalu memeriksa giginya di kaca spion (cermin) motor itu, mungkin takut ada sisa makanan yang tersangkut di sela-sela gigi. Subhanallah, saya tambah geleng-geleng kepala. Sudah makan, sekarang tanpa malu periksa gigi segala. Hampir-hampir saya tidak sabar dan ingin menegur. Tapi saya tahan.

Setelah burger selesai dibuat, saya tanya harganya dan membayar sesuai harga yang disebutkan. Tanpa berucap apa-apa lagi … dan tanpa senyum …, saya kembali ke mobil. Setelah masuk ke dalam kendaraan, saya letakkan burger yang terbungkus rapi itu di bangku belakang. Burger yang sebelumnya begitu mengundang selera kini jadi tak menarik lagi.

Kendaraan tak langsung saya jalankan, karena masih menunggu misscall dari istri yang sedang bersilaturahim ke rumah kawannya dan akan saya jemput tak lama lagi. Sambil duduk di kursi kendaraan, saya merenungkan apa yang baru saja lihat. Saya benar-benar-benar tak habis pikir, mengapa di Malaysia, di negeri yang katanya menganut nilai-nilai Islam, ada begitu banyak orang Melayu yang tak berpuasa dan berani-beraninya makan di depan umum? Apakah kesibukan berdagang yang menjadi alasan mereka? Tapi saya tidak melihat pedagang-pedagang lain, yang ada di dekat kendaraan saya, makan.

Saya masih merasa sebal dan agak marah, karena merasa ajaran dan nilai-nilai Islam telah diabaikan oleh kaum Muslimin sendiri. Lama juga saya berada dalam keadaan seperti itu. Mengapa mereka tidak puasa? Mengapa tidak mau bersabar sedikit saja menahan diri dari makan dan minum? Apakah mereka tidak dididik agama oleh orang tua mereka? Mengapa ...?

Lalu tiba-tiba saja saya tersenyum sendiri. Saya seperti orang yang baru saja terjaga dari mimpi. Rasanya tak percaya dengan apa yang telah terlintas di dalam pikiran sejak tadi. Keterlaluan betul saya ini! Tentu saja mereka tidak berpuasa. Sekarang kan masih bulan Sya'ban, belum masuk bulan Ramadhan!

Rupanya sejak tadi tanpa sadar saya merasa kalau bulan Ramadhan sudah bermula dan semua kaum Muslimin tengah berpuasa. Allahu Akbar. Untung saja saya tidak sampai menegur para pedagang itu. Kalau saya lakukan, tentu saya sendiri yang bakal malu.

Tak lama setelah itu, saya menjalankan kendaraan untuk menjemput istri dan pulang ke rumah. Selama beberapa menit setelah itu saya masih senyum-senyum sendiri. Ah, rupanya Ramadhan sudah hampir tiba. Suasananya sudah betul-betul terasa. Ahlan wasahlan ya Ramadhan. Semoga umur kami sampai ke Ramadhan tahun ini dan dapat merasakan manisnya bulan yang penuh berkah.

Allahumma barik lana fi Sya’ban, wa balighna Ramadhan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Seorang Penulis lebih dari 20 buku diantaranya adalah serial pahlawan "Al Fatih","Tariq bin Ziyad","Nurudin Zanki". | saat ini sedang studi doktoral di IIUM.


Post ADS 1
Banner
Banner