Raport Merah Mendikbud



Penaaksi.com - Dalam kurun waktu 10 tahun ini, rezim yang kini berkuasa tidak juga meninggalkan warisan (legacy) yang berharga di sektor pendidikan. Dua periode kepemimpinan presiden SBY hanya mampu memberikan kita 2 menteri pendidikan dan 2 kali pergantian kurikulum serta segudang kebijakan pendidikan yang berorientasi proyek. Terkait dengan prestasi, secara personal dan kelompok memang pelajar kita selalu berjaya di ajang internasional. Seperti pada Mei lalu, Tim Olimpiade Fisika Indonesia mampu menjadi absolute winner pada ajang  Asian Physics Olympiad yang digelar di Bogor. Pelajar kita juga pernah berjaya dengan menyabet medali dalam International Mathematical Olympiad di Kolombia pada Juli 2013.

Inilah Ironisnya Realita Pendidikan Indonesia...
Sayangnya, prestasi tersebut tidak mampu menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Karena dalam beberapa penilaian yang memotret kualitas pendidikan dalam skala nasional, Indonesia selalu berada diposisi buncit. Seperti rilis Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 yang menempatkan kita pada peringkat 64 dari 65 negara yang disurvei. Bandingkan dengan Malaysia yang ada di ranking 52 dan Singapura diurutan kedua. Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah, lebih dari 1,5 juta anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan sekolah. Sementara dari sisi kualitas guru dan komitmen mengajar terdapat lebih dari 54% guru memiliki standar kualifikasi yang perlu ditingkatkan dan 13,19% bangunan sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki. Menurut Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69 Berdasarkan data, perkembangan pendidikan Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Menurut Education For All Global Monitoring Report 2011 yang dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahun dan berisi hasil pemantauan pendidikan dunia, dari 127 negara, Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69, dibandingkan Malaysia (65) dan Brunei (34)

Ujian Nasional = Ujian Rasional ???
Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia yang semakin memprihatinkan dari tahun ke tahun justru di jawab dengan berbagai kebijakan yang tidak mendukung peningkatan mutu. Pendidikan cenderung dikelola dengan orientasi proyek dan nyaris tak peduli pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Pendidikan yang semula diharapkan menjadi bekal buat membangun masyarakat Indonesia baru yang tercerahkan justru sebaliknya menjadi cobaan yang justru membuat bangsa ini kian terpuruk. Sejalan dengan kenyataan itu, keberhasilan pembangunan nasional akan ditentukan oleh keberhasilan kita dalam mengelola pendidikan. Begitu juga dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang pada dasarnya bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan.

Namun, apakah Ujian nasional (UN) yang dilaksanakan selama ini sudah memenuhi standar yang ada sesuai Prosedur Operasi Standar (POS) yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) ? Sementara kita membaca dan melihat di media massa maupun media elektronik ketika UN dilaksanakan begitu banyak beredar kunci jawaban melalui SMS yang notabene tidak jelas darimana sumber kunci jawaban tersebut. Apakah pelaksanaan UN yang demikian mampu mengukur pencapaian kompetensi peserta didik yang sebenarnya ?

Adanya perbedaan yang tinggi tentang mutu sekolah baik dalam satu daerah maupun antar daerah. Realitas di lapangan menunjukan mutu sekolah berbeda-beda, baik dari aspek siswa, guru, fasilitas, sumber dana, maupun manajemen. Dengan perbedaan ini tentu kurang bijaksana kalau diterapkan standar yang sama untuk persyaratan kelulusan. Seharusnya Kemendikbud menetapkan standar kelulusan yang berbeda dengan memperhatikan kondisi riil daerah dan sekolah. Fakta kedua menunjukkan hasil ujian nasional yang hanya menguji beberapa mata pelajaran dan hanya bersifat kognitif tidak serta merta dapat dijadikan indikator tentang mutu pendidikan. Sejatinya untuk mengukur standar mutu pendidikan harus dilihat struktur pendidikan secara menyeluruh termasuk non-akademis, proses dan input pendidikan. Meningkatkan standar mutu pendidikan tentu tidak sesederhana hanya dengan meningkatkan angka standar kelulusan. Penyelenggaraan Ujian Nasional memang sudah salah dari semua sisi termasuk konstitusi. Secara konstitusi menyatakan Ujian Nasional yang diselenggarakan pemerintah sejak tahun 2008 adalah ilegal. Alasannya, Mahkamah Agung (MA) sudah menghukum pemerintah dalam putusan kasasi atas gugatan terhadap UN yang diajukan LBH Jakarta sejak 2006. Belum lagi terkait Undang-undang Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20/2003 menyatakan bahwa UN hanya untuk pemetaan, bukan penentu kelulusan.

Kurikulum Instan, Kurikulum 2013.
Lebih ironisnya lagi, pemerintah melalui Kemendikbud justru tidak pernah menggunakan hasil – hasil penelitian terkait bobroknya realita pendidikan itu untuk mengevaluasi berbagai kebijakannya, salah satu indikasinya tampak pada kebijakan perubahan Kurikulum 2013 yang terkesan merupakan obat bagi segala penyakit pendidikan Indonesia. Belum genap 10 tahun Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/2004) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/2006) diterapkan, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuat kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum 2013. Sejak 29 November 2012 lalu Kemendikbud telah mengumumkan draft resmi Kurikulum 2013. 
  Kemendikbud menjelaskan bahwa kurikulum 2013 ini menjawab permasalahan atas KTSP, namun problem sebenarnya ada pada Kemenduikbud itu sendiri yang tidak berpihak pada semangat perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada keunggulan proses. Itulah yang kemudian merusak idealisme pelaksanaan kurikulum. Ada tiga hal yang merusak idealisme kurikulum di Indonesia. Pertama, Kemendikbud tidak melakukan riset evaluasi komprehensif atas pelaksanaan kurikulum sebelumnya. Kedua, Kemendikbud tidak menyiapkan guru terlebih dahulu secara sungguh-sungguh untuk mampu menterjemahkan kurikulum baru secara benar. Ketiga, Kemendikbud merusak seluruh semangat kreativitas guru untuk mengembangkan proses pembelajaran karena di kejar target Ujian Nasional yang cenderung cognitive oriented. Karena itu, perubahan kurikulum 2013 dirasa telah dilakukan tanpa melalui suatu proses riset yang komprehensif terkait kondisi di lapangan. Kalau ketiga akar masalah tersebut belum terjawab dengan baik, apapun kurikulumnya, tidak akan ada perubahan yang signifikan pada kualitas pendidikan kita. 

UU PT = Liberalisasi dan Diskriminasi Pendidikan.
Pasca disahkannya UU Pendidikan Tinggi pada 13 Juli 2012 lalu, setidaknya ada dua poin utama yang perlu digarisbawahi, yakni otomisasi keuangan dan internasionalisasi. Dimana dua garis besar penolakan tersebut dikhawatirkan dapat menyebabkan beberapa hal. Pertama, melambungnya biaya pendidikan tinggi yang harus ditanggung masyarakat karena otonomi yang kebablasan dan lepasnya tanggung jawab pemerintah. Kedua, Perguruan tinggi tidak hanya berfokus mencerdaskan anak bangsa, tetapi juga mencari uang untuk memenuhi kebutuhan biaya operasionalnya. Ketiga, pendidikan hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar akan kuli terdidik. Keempat, perguruan Tinggi Asing akan berdiri di Indonesia dan mengancam nilai-nilai ke-Indonesiaan

Kami menilai bahwa berbagai hasil asesmen dan penelitian serta berbagai kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan melalui Kemendikbud mulai dari kebijakan Ujian Nasional (UN), Perubahan Kurikulum 2013, Undang- Undang Pendidikan Tinggi (UU PT), Pendidikan Profesi Guru (PPG), Uji Kompetensi Guru (UKG), Buku BSE, serta berbagai macam kebijakan yang berorientasi proyek lainnya telah menunjukkan bahwa pemerintah tidak berupaya menyelengaarakan pendidikan nasional sesuai amanah UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas maupun PP No. 17/2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.
Sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi kita semua guna kembali mengulas apakah sistem yang hari ini ada, baik peraturan perundang-undangan maupun kurikulum sudah sejalan dengan spirit Ki Hajar Dewantara yang memerdekakan fisik, jiwa, dan ruhani manusia dalam konsep pendidikannya, atau justru sebaliknya, dimana kita beramai-ramai memperingati hardiknas secara seremonial  namun menginjak-nginjak nilai yang seharusnya kita junjung bersama. Pendidikan hanya bisa diakses oleh golongan menengah keatas dan siswa hanya diperlakukan untuk menjadi kuli terdidik, tentu hal tersebut sama-sama tidak kita inginkan, karena sesungguhnya pendidikan adalah hak segala bangsa dan merupakan upaya sadar untuk memanusiakan manusia.

Raport Merah Mendikbud
Evaluasi Akhir Kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2009 – 2014

Ferly FerdyantKepala Departemen Pendidikan BEM UNJ 2014


Artikel yang sedang Anda baca saat ini merupakan salah satu kontribusi karya tulis yang dikirimkan ke redaksi Pena Aksi. Ingin berpartisipasi? Ikuti petunjuknya di sini.
Post ADS 1
Banner
Banner