Karena Guru Aku Sampai di NTU


Alkisah saat kelas 3 SMA, mengingat kondisi saya yang waktu itu sudah yatim piatu, tujuan jangka pendek saya hanya satu: Lanjut kuliah (dimana saja) dengan gratis! Berbagai macam usaha saya lakukan dulu, mulai dari mampir ke banyak yayasan-yayasan yang sekiranya bisa memberi beasiswa sampai jalan kaki sepanjang daerah Kuningan menyambangi banyak Kedutaan Besar disana sekedar untuk tanya ke satpam yang berjaga di depannya: “Disini ada informasi beasiswa ga Pak?” Yang lebih banyak dijawab dengan: “Wah ga tau dek.. Coba tanya sebelah..” (Note: bersyukurlah jaman sekarang jaman kemudahan informasi, sambil nonton Dahsyat pun masih bisa google informasi beasiswa dari HP) Sulit memang, tapi itulah proses yang harus saya alami dulu.

Ndelalahnya, awal 2005 saya dapat rejeki nomplok, diterima untuk lanjut S1 di Nanyang Technological University (NTU), Singapura. Wow! Jujur saat itu perasaan saya antara senang sekaligus takut. Jelas senang karena NTU termasuk universitas top dunia, tapi jelas takut karena buat apa diterima kalau tidak dapat beasiswa? Sekedar informasi uang SPP NTU dengan kurs saat itu bisa mencapai Rp.150 juta per tahun. Belum biaya hidup dan lain-lainnya. Ga mungkin sanggup..

Beruntungnya, bersamaan dengan pengumuman diterima, pihak NTU juga memberikan kesempatan seleksi buat setiap calon mahasiswa untuk bisa mendapat beasiswa penuh: SPP plus biaya hidup. Sayangnya kuota beasiswa ini pun terbatas. Bentuk seleksinya? Hanya wawancara dengan representatif NTU sekitar 15 menit. Mudah lah ya, yang penting percaya diri dan jadi diri sendiri. Sayangnya kadang hidup ga seideal yang kita mau. Wawancara dilakukan dengan bahasa Inggris!!! Nah lho!! Mati lah gua..

Disinilah mungkin banyak dari teman-teman yang tidak tahu (dan mungkin ga percaya), saya ini dulu benar-benar ga bisa bahasa Inggris. Nol besar! Hubungan saya dengan bahasa Inggris dulu bagai air dan minyak, ga pernah akur. Jangankan berbicara bahasa Inggris, membaca teks saja saya kelabakan (misal melafalkan tough though thought), apalagi wawancara? Pertanyaannya bebas, kuping harus tanggap penanya berkata apa, harus berpikir jawabannya dengan cepat dan yang terakhir tentu saja harus diucapkan lantang di mulut. Mikirinnya saja sudah bikin menggigil.

Kabar baiknya, ada jeda antara pengumuman dengan tes wawancara. Kalau tidak salah ingat sekitar 1-2 minggu (atau lebih saya benar-benar lupa). Mau ga mau saya harus cari cara secepat-cepatnya bagaimana menguasai wawancara dalam waktu singkat itu. Jujur, dalam masa-masa desperate itu yang ada di pikiran saya hanya satu: minta tolong guru bahasa Inggris saya selama 3 tahun di SMA, Miss Nanie Khaerani

Agak-agak takut juga dulu minta ke Miss Nanie. Selain takut dijudge: “Lho selama ini pelajaran ga ada yang masuk emangnya? Kemana aja?” saya juga takut dikonfrontasi: “Ga bisa bahasa Inggris? Tapi kok selama ini ga pernah remedial?”. Untuk pertanyaan yang terakhir ga mungkin dong saya jawab (Jangan ditiru ya, ini bagian dari romantika masa SMA dulu kok). Tapi yasudah lah, saya dulu punya keyakinan kalau semua guru pasti mau membantu muridnya. Saya pun ke tempat Miss Nanie di jam istirahat terus langsung mengutarakan niat saya. Saya ingin belajar wawancara, mohon bimbingannya, demi masa depan, kesempatan (mungkin) sekali seumur hidup. Ternyata tanggapannya? Ga ada keraguan sama sekali, Miss Nanie langsung bilang: “Oke, kalau gitu kita mulai secepatnya, kalau kamu ada waktu kosong langsung aja datang setiap jam istirahat atau jam pulang sekolah, kita latihan”. Wow, saya sempat kaget juga karena semua ketakutan saya ga terbukti. Saya langsung bilang, “Siap Miss, makasih Miss!”

Mulailah sejak itu secara sporadis setiap saya (dan Miss Nanie) ada waktu kami latihan wawancara. Jelas tidak ada waktu lagi untuk belajar bahasa Inggris dari nol, jadi kami langsung saja gladi resik wawancara. Miss Nanie pura-pura jadi pewawancara saya langsung coba jawab. Dari jawaban-jawaban saya, Miss Nanie akan memberi masukan sebaiknya bagaimana, membenarkan grammar dan juga pronounciation dan sebagainya. Satu hal yang paling saya ingat yaitu komentar Miss Nanie “Ferry, bahasa Inggrisnya SPP itu bukan school pay tapi tuition fee”. Oke siap Miss!!!

Akhirnya waktunya tiba, sesi tes wawancara di Hotel Gran Melia Kuningan. Wawancara 15 menit berlalu. Walaupun jelas tidak bagus tapi tetap jauh lebih bagus dibanding andai wawancara dilakukan beberapa minggu sebelumnya. Alhamdulillah.

Waktu pengumuman pun tiba, takdir Allah, saya dapat beasiswa penuh. Jelas saya waktu itu terharu sekali, seorang yang tidak bisa bahasa Inggris bisa lolos tes wawancara beasiswa, berkat bantuan seorang guru. Alhamdulillah saya pun bisa melanjutkan pendidikan tinggi sesuai doa-doa saya.

Refleksi ke belakang, keadaan saya sekarang dimulai pada saat-saat itu. Saat saya melanjutkan pendidikan di NTU, saat saya mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di NTU, saat saya “sukses” menjalani tes wawancara untuk mendapat beasiswa, saat saya diajari tips-tips untuk bisa sukses menjalani tes wawancara. Sekarang, sudah 10 tahun lebih saya tinggal di negara yang aktif berbahasa Inggris. Setiap hari saya berbahasa Inggris, baik untuk sekolah, bekerja maupun kegiatan sehari-hari (mimpi pun sering dalam bahasa Inggris!). Bisa dibayangkan, betapa besarnya sebuah bantuan yang terkadang sederhana menjadi sangat berpengaruh pada kehidupan seseorang.

Secara spesifik, cerita ini hanya secuil tentang bagaimana peran guru di kehidupan saya. Tentu saja semua guru, tanpa kecuali, dari TK sampai SMA, membentuk kehidupan saya sekarang. Terkadang, kita hanya berpikir sosok guru hanyalah sosok di depan kelas, ada untuk kita selama jam pelajaran mereka. Jarang sekali dari kita meminta bantuan kepada guru ketika ada kesulitan. Saya percaya mereka siap membantu untuk semua kesulitan kita. Untuk mereka mungkin terima kasih tidak akan pernah cukup. Saya berdoa semoga semua waktu yang mengajarkan, membantu, menginspirasi kita dicatat sebagai amal jariyah oleh Allah.

Terimakasih guru-guru ku, semoga saya (kami) bisa meneruskan kebaikan ini. :)

Foto: Bersama keluarga Miss Nanie, September 2015
sumber: Ferry Anggoro Ardy Nugroho
Post ADS 1
Banner
Banner