Tanggapan Terhadap Tulisan Prof. Lukito Mengenai Pendaftar LPDP

Karena ramai orang membincangkan tulisan dosen UGM interviewer LPDP (baca disini), gatal juga jadi ingin memberi tanggapan, baik positif maupun negatif.


Pertama, pak dosen menceritakan kisah beberapa pelamar yang memiliki self confidence ‘ketinggian’. Kemudian ia menambahkan, para pelamar memiliki mimpi yang selangit, namun kurang relevan dengan pilihan studi ke luar negerinya, dan kurang bisa direncanakan dengan matang pasca kelulusan. Salah satu ilustrasi yang digunakam oleh pak dosen adalah seorang pelamar yang bercita-cita untuk membuat gebrakan dalam bidang renewable energy (RE) hingga ke indonesia timur. Pak dosen mengungkapkan bahwa ada gap antara cita-cita tersebut, dengan perencanaan untuk mencapainya.

Opini saya : memang ada sebuah miskonsepsi yang sudah mendarah daging di Indonesia tentang S2-S3 dan kuliah di luar negeri. Entah mungkin karena posisi kita sebagai penduduk negara berkembang, ada sebuah konsepsi gebyah uyah yang mengidentikkan “kuliah S2-S3 ke luar negeri = sudah pasti mampu menyelesaikan masalah bangsa”. Saya kira jamak hal seperti ini dipersepsikan, padahal kalau dipikir masak-masak, apakah betul selalu berkorelasi positif?

Saya ingin memberikan sebuah contoh. Kebetulan saya belum punya contoh untuk RE. Namun sepengetahuan saya, banyak sekali di antara pelamar beasiswa LPDP yang bercita-cita untuk memajukan sektor agrikultur, memberdayakan petani dan lain sebagainya. Oke, to the point saja, apakah S2 ke Oxford belajar agronomi adalah solusi pasti terhadap cita-cita tersebut? Bisa iya, bisa tidak.

Saya punya seorang sahabat, namanya Taufik Hidayat. Dia membuat Pasar Sehat Genteng, sebuah upaya yang telah menolong petani di sana punya income dari $2 per hari pada 2010, menjadi $80 per hari pada 2015! 40 kali lipat! Ia menyediakan microfinance, mentoring bisnis, dan lain sebagainya kepada hanpir 400 petani miskin di desanya -sekarang tidak miskin lagi. The fact is, dia bukan seorang S2 lulusan luar, bahkan ‘hanya’ lulusan akuntansi sebuah kampus swasta di Kota Bandung. Pertanyaannya, kira-kira mana yang lebih berpeluang mensejahterakan petani : apakah Pasar Sehat Genteng yang dirintis dengan tekun selama 2-3 tahun, ataukah tesis seorang anak S2 lulusan Stanford yang membahas tentang “Analysis on Indonesia’s Traditional Market”? Tentu saja saya sedang tidak ingin membicarakan tentang sudut pandang “Ya pasti beda akademisi dengan praktisi”. No, please keep it general saja agar mudah. Mengenai Pasar Sehat Genteng, bisa di googling atau dibaca di link berikut 

Contoh lain di agrikultur, belum lama ini saya membaca profil kawan saya yang sangat menarik di http://petanimuda.org/azmy-basyarahil/ . Padahal menurut saya karakteristik seorang Azmi Basyarahil tidak ada kurangnya untuk bisa kuliah di ANU atau Cornell sekalipun. Namun ia memilih untuk melanjutkan passion nya memperjuangkan petani, dan mengambil S2 di UGM.

Contoh sangat konkrit lainnya di bidang pendidikan. Saya punya sahabat, Anggayudha Ananda Rasa yang tahun 2011 sudah ditawari beasiswa oleh seorang profesor di Nagoya University. Apa lacur, ia super galau. Kenapa? Di saat yang bersamaan, ia sedang merintis sebuah start-up bisnis bertemakan edukasi yang memang sudah jadi passion nya. Akhirnya berat hati, ia putuskan meninggalkan beasiswanya, dan fokus membesarkan bisnis. Hasilnya? Hari ini start-up nya mengguncang jagad bisnis sosial edukasi di Indonesia hingga diliput oleh media-media mainstream. Cita-citanya untuk memajukan pendidikan Indonesia dengan membuat belajar menjadi lebih mudah, agaknya lebih mudah ia raih hari ini. Bandingkan jika 2011 ia memutuskan untuk mengambil kesempatan beasiswa S2 nya dan melakukan penelitian “Innovative way to teach kindergarten students in Indonesia”, mana yang lebih impactful? Ini liputan mengenai Anggayudha di majalah bisnis nomor wahid, SWA : http://swa.co.id/startup/anggayudha-ananda-rasa-berbisnis-dengan-idealisme-ala-science-factory

Dalam hal ini, saya sepakat dengan pak dosen, ada sebuah pemahaman yang tidak pas “Saya punya kemampuan kok! Saya bisa kok kuliah ke luar negeri!” Oh ya, pertanyaannya : apakah itu relevan untuk mendukung anda menyelesaikan masalah bangsa? Kehadiran LPDP ditakutkan malah memicu kesalahan logika, “Wah mumpung nih bisa kuliah ke luar yuk lah kita berangkat!” Kenyataan ini sedikit diperparah ketika saya mendapat cerita dari seorang pengisi materi pada sebuah kegiatan seminar persiapan keberangkatan LPDP. Ia menceritakan bahwa hampir setengah peserta (penerima beasiswa) mendaftar LPDP simply karena tidak diterima ketika melamar pekerjaan.


Sayangnya lagi, saya punya sebuah pengalaman pahit. Tahun 2013 saya menjalani interview beasiswa LPDP untuk kuliah S3 di IPB. Saya berargumen bahwa, dengan mengambil kuliah bisnis di kampus Indonesia, saya akan lebih mendapat sense tentang aktivitas bisnis di dalam negeri, dibandingkan kalau saya mengambil di Harvard atau Cambridge sekalipun. Ternyata interviewer saya tidak terima! Dia bilang, “Ngapain di dalam negeri. Kamu mampu kok ke Harvard atau MIT” Di akhir 45 menit sesi interview, “Oke kalau kamu berubah pikiran mau daftar ke Harvard atau MIT saya lolosin.” Wow, bukan. Saya mengalami kasus yang sebaliknya yang dialami oleh pelamar yang diwawancara oleh pak dosen Lukito. Saya bersyukur, dalam hal ini, Pak dosen Lukito memiliki keluasan pemikiran yang tidak terkungkung “asal luar negeri”.

To conclude pada poin pertama, cerita-cerita di atas seyogyanya dipandang bukan sebagai justifikasi “oh S2 ga guna ya”, “Ah ini orang naif banget dia juga lulusan luar”, hehe, please pandang secara objektif ya. Yang ingin saya pesankan : stop gebyah uyah seakan-akan S2 ke luar negeri adalah suatu hal yang puasti banget membawa kebaikan (jika dibandingkan dgn pilihan lain). Bahkan dalam ekonomi kita mengenal konsep diminishing marginal productivity of labor, yang intinya, pada satu titik, menambah jumlah karyawan justru akan menurunkan produktivitas. Analogi tersebut agaknya berlaku dalam kasus kehidupan lain.

Maka, kembali ke kisah kritik pak dosen, saya kira alur berpikir kita semua yang harus dibenahi. Tentu saja kita ingin agar cita-cita “menyelesaikan sebuah masalah bangsa” lah yang diutamakan, bukan ‘sekedar’ kesempatan untuk menimba ilmu S2 ke luar negeri. Bagaimana menuju ke sana? Jika memang tidak relevan, saya rasa LPDP dan reviewer nya harusnya bisa cukup tegas menilainya. Jangan-jangan gara-gara seseorang mendapat beasiswa LPDP, dia justru makin menjauh dari cita-cita asalnya untuk menyelesaikan sebuah permasalahan bangsa.

Kedua, dari sudut pandang “seleksi beasiswa LPDP”, kritik sedikit saya tujukan kepada pak dosen, yang menurut saya membuat penilaian yang terlalu subjektif. Pak dosen terlalu cepat menarik kesimpulan, bahwa ketika ada seseorang yang memiliki misi atau mimpi tertentu, sementara belum nampak jelas tapak-tapaknya menuju ke sana, maka ia bukan seorang yang relevan untuk lolos menerima beasiswa LPDP. Saya agak kurang sepakat, walaupun tidak bisa disalahkan sepenuhnya.

Saya kira seorang Anies Baswedan pun seandainya ditanya, “Bagaimana cara anda memajukan pendidikan Indonesia?” SEBELUM kuliah ke Amerika, apakah akan dia jawab “Saya mau bikin Indonesia Mengajar pak!”?

Atau seorang Faldo Maldini II yang ditanyakan hal yang sama. Apakah ia akan jawab tahun 2012, “Saya mau bikin platform untuk kontribusi bagi warga minang namanya pulangkampuang.com!” Saya kira jalan ceritanya tidak akan seperti itu.

Menarik, sebuah quote yang ramai di-share di media sosial dari Jaime Casap, Google Education Evangelist : “Don’t ask kids what they want to be when they grow up but, what problems they want to solve.” Ini karakteristik gen Y banget.

Gen Y berbeda dengan gen X (generasi para orang tuanya gen Y), yang dibicarakan adalah : “Masalah apa yang mau kita selesaikan?”, “Dunia seperti apa yang ingin kita ciptakan?” Caranya bagaimana? Bisa jadi memang belum ditemukan saat ini. Karena sintesa antara ide, pengalaman, network, dan keberanian biasanya memang datang dar arah yang tak terduga, sehingga lahir inisiatif seperti start-up, atau social entrepreneurship, atau misalnya komunitas yang memberdayakan kaum-kaum marginal tertentu.

Ini senada dengan pengalaman saya berdiskusi mengenai penyelenggaraan simposium internasional PPI Dunia dengan Pak Muhammad Luthfi, mantan menteri perdagangan yang saat itu masih menjadi duta besar di Tokyo.
Saya : “Iya pak, sebenarnya sih simposium begini cost nya besar sekali, kadang hasil yang didapat juga tidak terlalu relevan.”
Pak Luthfi : “Eh jangan begitu bilangnya. Jangan remehkan power puluhan atau ratusan anak muda yang berkumpul dan mendiskusikan satu persoalan. Dari situ justru bisa lahir ide-ide gila untuk bangsa.”
Kurang lebih begitu ujarnya. Malu juga tuh, beliau kok mikirnya lebih gen Y dibandingkan saya? Hehe.

Jadi, pak dosen dan para interviewer yang kami hormati, alih-alih mengkerdilkan rencana hidup anak-anak muda gen Y dengan simplifikasi “Oh kenapa gak gabung LSM aja? Lebih jelas”, atau bahkan malah ‘menjatuhkan’ mimpi besar mereka (yang saya yakin dan semoga tidak ada reviewer yang sampai gini-gini amat…) ; saya kira biarkan saja mereka (kami) menjadi, istilahnya Peter Thiel, “indefinitive optimistic” : orang-orang yang optimis terhadap masa depan tapi belum tahu bagaimana mencapainya. Ini senada dengan kritik rekan Pak Arif Badrudin yang juga ikut tersebar di beberapa media sosial.
Ujung-ujungnya, pihak penyeleksi LPDP harus punya sebuah metrik khusus yang dapat menilai pelamar lebih dalam, jauh dari subjektivitas personal para dosen reviewer. Saya kira yang harus dinilai bukan seberapa ‘jelas’ planning yang dibuat oleh si pelamar untuk mencapai mimpinya, karena toh kebanyakan pelamar adalah fresh grad yang minim pengalaman; Namun, mungkin bisa dinilai dari personal atau track record di pelamar dalam melakukan hal-hal yang kreatif dan kontributif ketika masih sebagai mahasiswa, misalnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat, kita tahu bahwa 100% penyeleksi beasiswa LPDP adalah dosen, dan mungkin semuanya memiliki mindset standar gen X. Lulus doktor. Mengajar. Menulis paper. Sangat jauh dari exposure era kreatif yang disuguhkan oleh aktivis-aktivis gen Y. Bukan tidak mungkin, ke depan kita bisa menciptakan sebuah tren kontribusi yang unik, di mana manusia-manusia bergelar tinggi (magister dan doktor) bisa berkiprah tidak hanya di lingkungan akademis, namun di ‘kontestasi terbuka’ ala entrepreneurship, atau bahkan teknokrat-teknokrat yang membawa aura perubahan di public sector. Perbedaan konsepsi seperti ini baiknya juga diakomodir oleh panitia penyeleksi LPDP.

Hal ini sedang diakomodir oleh sebuah acara namanya “Welcoming Alumni” yang dikomandani sahabat terbaik saya, bung Ikhsan Abdusyakur. Menurut Syakur, lulusan S2 dan S3 terutama dari luar, biar bagaimanapun memiliki kultur analisa dan R&D yang mantab. Hal ini diharapkan berdampal positif : di manapun alumni luar berkiprah, mereka akan memiliki jiwa “intrapreneur” yang kuat, karena tajam di analisis dan pemikiran R&D. Saya mendoakan keberhasilan acaranya agar alumni LPDP semakin memberi kontribusi positif bagi bangsa.

Sebagai closing, please don’t get me wrong. Walaupun beberapa nada bicara di tulisan saya mengarah ke kritik, namun overall, saya sangat mengapresiasi keterbukaan Pak dosen Lukito yang bersedia mengekspresikan tulisannya dengan lugas dan artikulatif. Justru karena beasiswa LPDP ini adalah expense negara, maka biarkan diskusi mengenai beasiswa ini bukan menjadi sesuatu yang elitis dan ekslusif. Biarkan saja ia bergulir secara organik. Dan semoga bisa menjadi feedback agar organisasi LPDP bisa menjadi lebih baik lagi. Untuk bangsa.

Radyum Ikono | @radyum
Mahasiswa IPB

tulisan ini diterbitkan ulang dari blog pribadi penulis radyumikono.com
Post ADS 1
Banner
Banner