Prihatin

Kawan. Ini adalah cerita yang kuramu dengan berbagai jenis tamanan kesedihan, tumbuhan memilukan, dan pohon penderitaan. Yang kucabut secara paksa dari akar kemiskinan, dengan dahan ketidakberdayaan, dan daun ketidakmampuan. Tak ada kesemuan dari semua ini. Adalah kisah nyata, dari kegagalan system pemerintahan. Yang kata orang pintar disebut neoliberal, atau pun kapitalisme. Entah apa, aku tak tahu. yang kutahu secara praktis adalah akibat dari mereka semua, kita miskin di negeri yang kaya. kita impotensi di negera yang super-potensi. Kita tak bangga ditanah air mahadaya. 

Prihatin. Perihnya di batin. Pelajaran itu yang kudapat hari ini. Jadi begini kawan, tadi aku selepas berkunjung di tempat temanku. Teman sekampung yang kini merantau di Jakarta. Namanya Anto, Awan, dan Heri. kehidupannya memelas. Mereka kerja di bengkel pencucian mobil-motor. Mereka berkawan dengan air dari jam tiga sore sampai jam sebelas malam. Gajinya, sangat susah untuk dikatakan cukup. Tiga ratus lima puluh ribu rupiah per bulan, sepuluh ribu uang makan tiap hari, ditambah uang tip dari pelanggan. tapi, uang tip ini tak tentu, harus beradu otot dulu dengan karyawan lain dalam masalah pembagian. Yang jika ditotal secara kasar, mencapai tujuh ratus ribu rupiah. Besar yaa kawan, tapi tunggu dulu. 

Mereka semua mengontrak dengan karyawan lain yang sama-sama sebagai perantau. Biaya kontrakan, sudah ditanggung pihak bengkel. Namun, yang membuat aku menahan tangis adalah, tak ada perabotan makan pun di sini. Tak ada piring. Gelas hanya dua, itupun satunya gelas plastic. Sendok, sepertinya hanya ada satu, bentuknya pun tak karuan. Kompor, nihil. Ketika kutanya bagaimana makannya, mereka menjawab kompak. makannya diluar, biasanya di warteg langganan depan jalan. jika pagi hari, menunya khas orang Jakarta, nasi uduk. Tapi, Anto menyangkal, kalau dia gak doyan nasi uduk. Katanya, baunya gak enak dan gak bikin kenyang. Dasar perut kampung. Lalu mereka malah membalikkan bola pertanyaan, aku disuruh memikirkan, mana cukup sepuluh ribu untuk makan sehari di kota Jakarta ini. Terpaksa mereka terkadang sering menyeduh mie instan. 

Kawan, mau tahu bagaimana mereka menyeduh mie. Aku jelaskan, di kontrakan hanya ada peralatan, tivi, kasur dan dispenser saja. Tivi untuk hiburan. Kasur untuk tidur massal. Yaa, dispenser ini untuk menghangatkan air gallon yang selanjutkan untuk menyeduh mie. Caranya, mereka buka bungkus mie, lalu dihancurkan mie jadi beberapa bagian, dan langsung ditumpahkan saja air hangat ke dalam bungkus itu. Ditunggu beberapa saat, langsung masukkan bumbu, dan siap untuk disantap. Tanpa piring! 

Ada gemuruh keras di dadaku. Dan gemuruh itu berhasil membuatku sesak. Dan segera kuhapus aliran kecil yang tumpah di mata. Ternyata, tak hanya mie saja, kawan. Mereka juga gemar menyeduh kopi instant bungkusan, ditambah beberapa batang rokok. Yaa, itulah teman sejati mereka. Yang menemani di setiap pelepasan malam yang dingin. Melepas lilitan-lilitan kelelahan mencuci kendaraan orang. 

Kemelasan itu belum sampai di situ saja, kawan. Aku lihat sendiri, kaki mereka kutu air dalam taraf mengkhawatirkan. Terkadang, jika kami bersendau gurau, menceritakan kabar di kampong dengan gelak tawa, mereka mengukur-ukur telapak kaki hingga semakin memerah. Yaa, air tak bersahabat dengan mereka, padahal setiap hari mereka harus berhadapan dengan fluida yang satu ini, jika ingin tetap bertahan di kota metropolitan. Terdengar kejam, tapi inilah fakta. Tak pernah membela siapapun. 

Sebenarnya, belum genap sebulan mereka kerja. Kira-kira baru tiga minggu. Namun, gaji awal seratus lima puluh ribu sudah dibayar di depan, katanya uang planjeran, DP. Kawan pasti bisa membayangkan. Bagaimana reaksi mereka yang baru saja menerima uang. Jangankan hitungan hari, dalam semalam mereka menghabiskan uang itu dengan alasan berbagai jenis kebutuhan. Dari celana panjang, makan mie ayam grobak, sampai sepatu futsal. Katanya, setiap sabtu ada bonus liburan main futsal di dekat bengkel. Maklum, itulah potret kami yang tak bisa kami bohongi. Bertahan atau tersingkir. Kenyang atau lapar. Kokoh atau tumbang. Adalah opsi-opsi yang menyertai bayangan tubuh mereka. Seleksi alam. Pemilihan yang akan hidup atau tidak yang dilakukan oleh lingkungan yang terjadi secara alamiah. Teori biologi ini berlaku untuk mereka.

Arif Setiyanto

Ikuti PenaAksi[dot]Com di twitter dan gabunglah bersama kami di facebook untuk mendukung gerakan "Saatnya Mahasiswa Menulis"
Post ADS 1
Banner
Banner