Larilah Kau, Anakku!


Untuk pertama kali kumelihatnya menangis. Dan tangisan itu bukanlah tangisan cengeng yang dikeluarkan pemuda saat diputuskan pacarnya. Namun, tangisan tak ikhlas melepas seorang “senopati” perang yang selalu menemaninya melawan kerasnya batu hitam kehidupan –AYAH-. Matanya berkaca dan pipinya menganak sungai, deras sekali. Kubasuh dengan kain lengan panjang bajuku. Namun, itu tak berefek sedikitpun. Setiap orang yang menyatakan bela sungkawa kepadanya seakan menjadi bahan bakar untuknya menangis. Maka dari itu, sejak tadi aku tak mengucapkan kata apa pun padanya. Kubiarkan dia menangis sejadi-jadinya. Toh, walaupun dari tadi Kyai Narto sudah menasihati, dia tetap saja menjawab dengan deru kencang tangis. Apalagi kata-kataku. Pasti hanyalah sampah.


Pemandangan itu tetap saja menghiasi setiap kumelihatnya, sampai kami menunaikan hak jenazah terakhir, mengebumikannya. Dia tetap meratap di kayu nisan berlafal Oemar Zaini Bin Abdulah Iskandar dengan teriakan-teriakan histerisnya. Tak terbendung lagi puncak kesedihannya. Aku masih dibelakang beberapa hasta.

“Zul, aku pernah ikut ngaji sama Kyai Joko, beliau mengatakan bahwa Nabi melaknat orang yang suka meratapi secara berlebihan kepada mayit. “Tidak termasuk golongan kami orang yang menampar pipi, yang merobek-robek pakaian dan yang menyeru dengan seruan jahiliyah”. Jelasku. Tak ada reaksi. Aku menyesal, mengapa aku tadi ngomong. Percuma. Malah menambah dia menjadi-jadi. Aku beranjak cepat bertolak darinya.

Saat itu ayah Zul sedang ngarit di tegalan pinggiran jalan. Lalu mobil kijang innova menabraknya dari belakang. Ayah Zul tewas seketika di TKP. Sang pengemudi langsung diamankan polisi. Namun, belum genap satu jam ditahan, langsung dilepaskan begitu saja. Tak ada bukti nyata, katanya. Ternyata dia adalah pemilik perusahaan sandal ternama di Jakarta yang sedang berkunjung di cabangnya di kabupaten kami. Zul mundur. Secara terpaksa Zul harus mengikhlaskan. mustahil rakyat macam kami menang di meja hijau bermenu hukum. Bisa-bisa malah Zul yang diadili. Pencemaran nama baiklah, pelanggaran HAM. Seperti makanan busuk yang selalu tersaji di layar TV hitam-putih kelurahan.

Zul hanya diam mematung di pagar depan rumah. Sesekali menghela nafas dan memandang ladang langit yang dihiasi benih-benih bintang. Kulihat dia. aku yakin, para bintang itu tak akan bisa mencongkel sedikit pun bongkahan sesedihannya. Dia mengetahui keberadaanku.

“Duduk, Ris!”, ujarnya, menyilakan.

Aku hanya mampu menuruti permintaannya, tak lebih. Diam. Kampung ini seperti ditelan kehampaan. Hanya ada suara gesekan sayap jangkrik jantan, dan makhluk kecil malam lainnya.

“Aku mau cari kerja ke Jakarta, Ris!”, kata Zul, merobek kesunyian.
“Aku juga, Zul. Aku dah ndak sabar pengin cepet-cepet lulus.”, balasku. mencoba mengencerkan suasana.
“Besok aku berangkat!”
Aku tersentak. Sepersekian detik setelah ucapan itu aku menolehnya.
“Haa! Besok?”
“Iya besok. Kenapa? Salah?”
Edan kowe, Zul!”
“Lebih edan lagi, kalau aku melihat ibuku edan!”
“Mana mungkin ibu mampu membiaya hidup keluargaku sendirian!”, lanjutnya. Emosinya tak stabil.
“Kamu kan bisa nunggu sampai lulus dulu, Zul. Baru kita bareng-bareng ke Jakarta. kan kamu pernah janji sama aku?”, cobaku jelaskan.
“kamu mau kerja apa di sana. Kamu cuma lulusan SMP. Paling jadi buruh!”
Ra pa-pa. Yang penting adikku bisa nerusin sekolah, Ris! Kalau aku nunggu sampai lulus. Bisa-bisa ibu sudah…..”, katanya tak dilanjutkan. Ekspresi sedihnya tersirat jelas di lempengan wajahnya.
“Kamu mau ikut siapa di Jakarta?”
“Mungkin aku ikut mbok de ku jualan baju di Tanah Abang. Atau ikut Mas Agung di bengkel sepeda onthelnya di Kalimalang.”
Sejenak suasana hening kembali. Lagi-lagi gesekan sayap jangkring mendominasi. Aku masih tak percaya. Aku yakin semua itu hanya pikiran ruwet yang hanya sejenak. Logikanya terisolasi.
Yo wis. Kalau itu kemauanmu. Aku bisa apa!”
“Aku pulang dulu!”, lanjutku. Bagiku tak ada yang dibicarakan lagi. Tak ada persoalan yang lebih penting daripada keputusannya tadi.

Dadaku sesak. Penuh dengan jutaan bunga bangkai penyesalan. Aku hanya bisa menghisap nafas kedustaan lebih dalam. Semoga hisapan oksigen bisa bereaksi membakar amarahku. Aku tak bisa mencegahnya. Dan aku menyerah dengan menyilakannya.

Zul harus mengganti peran ayahnya. Tak ada pemain cadangan lain. Adiknya dua. Perempuan semua. yang satu menginjak bangku SMP kelas 3. Yang satu lagi baru masuk Sekolah dasar. Ibunya hanya penjual gorengan setiap sore. Mana cukup jika anggaran keluarga ditambah biaya, sekolah menengah atas kelas tiga, Zul.

Jaringan sel busuk kebencianku lahir. Aku muak dengan temanku sendiri. Dari mana dia dapatkan pemikiran segila itu. Menunggu delapan bulan seberapa lama.

Siang nanti dia akan berangkat. Aku tahu itu dari simbok yang sejak pagi membantu Bu Patmi, ibunya Zul, menyiapkan bekalnya. Aku tak sudi menengok. Dadaku masih sesak dan mungkin kebusukan kebencianku sekarang sudah menjadi sistem organ dalam tubuhku. Sakit. Sampai dia benar-benar pergi, aku masih menjaga dadaku. Kuberikan dia hukuman itu agar dia tak kerasan di Jakarta dan kembali bersamaku. Semoga.

Arif Setiyanto

Ikuti PenaAksi[dot]Com di twitter dan gabunglah bersama kami di facebook untuk mendukung gerakan "Saatnya Mahasiswa Menulis"
Post ADS 1
Banner
Banner