Kekejaman Densus Bukan Desas-desus
Mustofa B. Nahrawardaya
Pegiat ICAF (Indonesian Crime Analyst Forum)
Sebuah tim telah dikirim ke Poso untuk memverifikasi isi video yang beredar. Kesimpulannya, video itu benar adanya.
VIDEO berisi kekejian aparat berbaju Polisi terhadap orang yang sudah menyerah, tampaknya menjadi titik awal dari hembusan besar pembubaran Densus 88 Anti Teror. Video yang pernah ditayangkan oleh Forum SOLI (Silaturohmi Organisasi dan Lembaga Islam) Tingkat Pusat Pimpinan Din Syamsuddin di depan Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo itu, tampaknya bukan video kejutan bagi Korp Baju Coklat. Pasalnya, di YouTubevideo yang serupa sudah diunggah oleh beberapa nickname bahkan beberapa tahun sebelum Din Syamsuddin menunjukkan video tersebut kepada Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo belum lama ini. Pantesan saja, ketika video tersebut diputar di hadapan Timur, beberapa pejabat teras Mabes Polri yang ikut dalam audidensi, terdengar bisik-bisik. Intinya, pejabat teras Mabes Polri sudah mengetahui isi video bedurasi 13:54 menit ini.
Fakta lainnya, meski Din Syamsuddin baru sekarang mendatangi Kapolri, tetapi kasus yang terekam di Video, ternyata pernah dilaporkan oleh Komnas HAM tahun 2007 silam. Wakil Ketua Komnas 2002-2007 HAM Zoemrotin K Susilo, yang saat itu menjadi Ketua Tim Pemantau Poso, usai persitiwa sadis tersebut dengan sangat keras memperingatkan Polisi agar tidak serampangan menembak orang yang belum tentu bersalah. Tidak hanya kejadian pada 22 Januari 2007 seperti yang ada di video yang beredar, namun Komnas HAM waktu itu juga menyoroti 3 kasus kekerasan lainnya yaitu kasus Tanah Runtuh (22 Oktober 2006), serta penyergapan buronan konflik Poso (1 Januari 2007). Dari seluruh peristiwa ini, dicatat ada 15 orang yang dinyatakan tewas.
Apakah video itu yang kemudian menjadi latar belakang Din Syamsuddin dan kawan-kawan menuntut pembubaran Densus 88? Tampaknya bukan.
Jika hanya video tersebut yang menyebabkan Din Syamsuddin Cs tergerak hatinya menemui Kapolri, sangatlah keliru. Video ini, sebenarnya hanya sebagai pembuka pintu dari sekian banyak bentuk kekerasan HAM oleh Densus 88. Sebelumnya, sudahlah banyak laporan yang masuk, terkait kekejaman Densus 88. Banyak korban salahtangkap yang menemui banyak ormas Islam, maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menceritakan banyak pengalaman keji yang diterima saat ditangkapi Densus 88 meski tidak bersalah. Dalam kondisi cacat seumur hidup, para korban salahtangkap itu bersaksi dan tidak ada yang bisa menutupi fakta ini. Tidak hanya korban salahtangkap. Tidak sedikit operasi Densus 88 yang berlangsung penuh dengan kejanggalan dan sarat dugaan rekayasa.
Jika awalnya hanya menembak teroris, dan meringkus terduganya, namun belakangan lebih ganas. Terduga pun, sudah ditembak mati. Jika semula yang ditembak adalah teroris yang beridentitas pasti, namun kini Densus mulai menembaki orang yang diduga teroris tanpa identitas yang jelas. Anehnya, meski sudah ditembak mati, ternyata Densus sendiri tidak mengenal yang ditembaknya. Akibatnya, jenasah terduga teroris diinapkan berminggu-minggu di Rumah Sakit hanya untuk menunggu kepastian identitas dari keluarga yang mungkin menjenguknya. Jika tidak ada yang menjenguknya, jenasah-jenasah tersebut dikubur begitu saja di pemakaman.
Jika semula Densus hanya menembak terduga teroris di tempat yang dianggap pantas untuk dilakukan penembakan, tapi kini sudah mulai tidak ada tempat yang dihormati lagi. Di Masjid, Densus pun tidak sungkan menembak, menyeret, dan mengeksekusinya tanpa mempertimbangkan dimana aksi brutal itu dilakukan. Belakangan, orang yang telah ditembak mati ternyata hanya pembezuk pasien Rumah Sakit.
Jika semula barang bukti terorisme hanya benda-benda terkait teror, namun kini mulai sadis dan bernuansa SARA. Al Qur’an, Kitab Tafsir Qur’an, CD Dakwah, sudah dijadikan barangbukti terorisme. Jangan-jangan nanti Masjid dan mimbar Masjid juga diangkut dan dilabeli dengan “Barang Bukti” terorisme. Jangan lagi bertanya, kira-kira bagaimana cara aparat memperlakukan barangbukti-barangbukti tersebut.
Sebuah foto yang tertera tahun 2009 di Surabaya, aparat gabungan TNI dan Polri, bahkan tak segan melakukan simulasi penangkapan teroris di dalam Masjid, di atas sajadah di depan Mihrab. Yang menyedihkan, aparat-aparat ini tidak satupun melepas sepatu lars-nya. Di Surabaya juga, tidak lama kemudian, kembali diadakan simulasi penangkapan teroris di atas kereta yang berjalan. Selain dipenuhi teriakan takbir oleh ‘teroris’, juga diletakkan sebuah kotak bertuliskan “Jihad Fi Sabilillah” yang disimulasikan berisi bom untuk dijinakkan. Miris.
Intinya, saat ini Densus hanyalah bekerja sebagai penjinak tanpa mau tahu akar persoalannya. Lebih mengerikan, tiba-tiba saja banyak buron yang didaftar dan dirilis di seluruh pelosok tanah air. Sebagian buron itu, sudah ditangkap, dibunuh dan sebagian lagi ditangkap dan konon menyebut nama-nama baru yang otomatis menimbulkan daftar buron panjang tak habis-habisnya. Apakah proses menangkap, menyidik, dan mengantarkan para terduga teroris ini transparan? Tentu tidak. Masyarakat hanya bisa memantau prosesnya melalui media massa. Tragisnya, seluruh media massa hanya bisa mengorek informasi dari satu sumber: Kepolisian. Jika sudah demikian, informasi media sangat kecil kemungkinan akurat. Keterangan-keterangan keluarga korban yang mestinya menjadi penyeimbang informasi polisi, ternyata tidak menjadi faktor dominan pendukung berita terorisme.
Sebagai catatan, istilah buron memang misterius. Tidak ada yang bisa memastikan, kapan munculnya istilah buron ini berawal. Jika yang dimaksud buron adalah berawal dari Kasus Konflik Poso, maka tidak mungkin kemudian seluruh daftar buron saat ini tiba-tiba beragama Islam. Kenapa? Karena Konflik Poso bukanlah konflik Islam-Islam. Namun, konflik tersebut terjadi karena terlibatnya para militan dua pemeluk agama berbeda. Jika kemudian berakhir dengan munculnya banyak buron yang beragama Islam saat ini, tentulah fenomena sadis ini patut dipertanyakan lebih lanjut. Sayangnya, kepada pihak-pihak yang mengkritisi fenomena ini, akan dicap sebagai pendukung teroris.
Apabila buron ini terkait DI/TII atau NII KW 9, jelaslah salah alamat. Pondok Pesantren yang terus menerus dituduh menjadi sarang NII KW 9, sampai sekarang masih berdiri megah di Indramayu. Tak sekalipun disambangi Densus 88. Sayangnya, media tiba-tiba menjadi tumpul untuk melihat kenyataan itu.
Jika para buron ini benar ada dan murni buron karena kejahatan terorisme global, maka sekarang ini terduga teroris kebanyakan usia muda dan memiliki ciri wajah yang khas: kampungan, tidak berpendidikan cukup, dan sebagian tidak pernah ikut perang ke Afganistan atau bahkan tidak pernah berjihad di Poso ketika terjadi Konflik Poso.
Jika boleh, mari kita mundur ke belakang. Ribuan pemuda Muslim tahun 80-an, menurut sebuah sumber, ternyata direkrut oleh Amerika untuk dilatih di Carolina Utara. Sebagian dari mereka adalah berasal dari Indonesia. Setelah lulus, mereka kemudian dikirim ke Afganistan untuk berjihad melawan Soviet. Dari Indonesia, adalah Letjen TNI L.B Moerdani, Kepala Badan Intelijen Strategis ABRI yang mengkoordinir para Mujahidin ini.
Sebagian dari veteran Mujahidin inilah yang kini diburu Densus 88 pasca runtuhnya Gedung Kembar WTC pada 11 September 2001 silam. Entah bagaimana ceritanya, veteran Mujahidin ini, tiba-tiba banyak dikabarkan memiliki senjata api. Memiliki bom, memiliki save house, memiliki jaringan, dan memiliki keterkaitan dengan Osama Bin Laden. Mereka dikabarkan sangat kuat, menguasai banyak senjata api dan bahan peledak. Padahal, tidak mudah mendapatkan barang-barang berbahaya ini, kecuali yang memiliki kedekatan dengan aparat sendiri.
Hal itu, bisa dibuktikan. Sekedar catatan pengingat, ternyata sebagian senjata para terduga teroris itu, belakangan diektahui justru berasal dari gudang Mako Brimob Kelapa Dua. Berasal dari tangan aparat. Malah, para teroris pernah dilatih menembak di lapangan Brimob. Lalu, mereka disuruh berlatih di Aceh, dan direkam untuk dijadikan bukti adanya latihan mirip militer! Salahsatu inisiator nya, ternyata eks Brimob. Inilah fakta-fakta yang cukup mengkhawatirkan.
Yang lebih nyata, dengan dibentuknya Densus 88 pada 24 Agustus 2004 hingga sekarang, kenyataannya bukannya teroris berkurang, namun justru sebaliknya memunculkan lebih banyak teroris. Aroma rekayasa kasus pun mulai tercium seiring berjalannya waktu. Sebagian awak media mulai menyadari akan adanya fakta yang tidak beres dan tidak nyata pada Densus 88.
Dan yang lebih aneh, fakta yang kini bisa dilihat bersama-sama, ternyata Densus hanya bisa membunuh dan menyiksa terduga teroris Muslim. Sedangkan terhadap teroris yang Non Muslim, senjata api Densus tiba-tiba saja macet, tiba-tiba mogok. Tidak bisa menyalak.
Bagaimana logikanya, sehingga Densus bisa memilih sasarannya yang hanya beragama Islam? Tampaknya ini tidak lazim. Aksi seperti itu, berpotensi banyak melanggar HAM berat dan pembasmian golongan tertentu.
Jika sudah demikian, apa tidak lebih baik Densus dibubarkan saja terlebih dahulu?#