Agama dan Politik



Seringkali orang bertanya, kenapa agama dibawa-bawa ke dalam po­litik? Atau sebaliknya,  kenapa po­li­tik di bawa-bawa ke dalam agama? Se­ring timbul pertanyaan, bagaimana da­pat satu partai politik didasarkan ke­pada agama, seperti halnya dengan par­tai politik Islam Masyumi umpa­ma­nya. Pertanyaan ini timbul oleh se­bab seringkali orang mengartikan bah­wa yang dinamakan agama itu ha­nyalah semata-mata satu sistem per­ibadatan antara makhluk dengan Tu­han Yang Maha Kuasa. Definisi ini mungkin tepat bagi bermacam-ma­cam agama, akan tetapi tidak tepat ba­gi agama yang bernama Islam itu, yang hakikatnya nyata adalah lebih da­ri itu.

Kalau kita meminjam perka­ta­an seorang orientalis, H.A.R. Gibb, ma­ka kita dapat simpulkan dalam sa­tu kalimat "Islam is much more than a religious system. It is a complete ci­vilization" (Islam itu lebih dari sis­tem peribadatan, la adalah satu ke­bu­dayaan yang lengkap sempurna). Ma­lah lebih dari itu, Islam adalah sa­tu falsafah hidup, satu levensfi­lo­so­fie, satu ideologi, satu sistem peri ke­hidupan, untuk kemenangan ma­nu­sia sekarang dan di akhirat nanti. I­deologi ini menjadi pedoman bagi ki­ta sebagai muslim, dan buat itu ki­ta hidup dan buat itu kita mati.

Oleh karena itu bagi kita sebagai muslim, kita tidak dapat mele­pas­kan diri dari politik. Sebagai o­rang yang berpolitik, kita tak dapat me­lepaskan diri dari ideologi kita, yak­ni ideologi Islam. Bagi kita, me­ne­gakkan Islam itu tak dapat di­le­pas­kan dari menegakkan masyarakat, menegakkan negara,  menegakkan Kemerdekaan. Islam dan penja­ja­­han adalah paradoks, satu pertenta­ngan yang tak ada persesuaian di da­lamnya. Dengan sendirinya seorang mus­lim, seorang yang berideologi Islam, tak akan dapat menerima penjajahan apapun juga macamnya. Memperjuangkan kemerdekaan bagi kita, bukan semata-mata lantaran didorong oleh aspirasi nasionalisme atau kebangsaan, akan tetapi pada hakikatnya adalah karena kewajiban yang tak dapat dielakkan oleh tiap-tiap muslim yang mukallaf.

Maka dapat dimengerti bahwa di dalam sedarah negeri kita Indone­si­a, dalam menentang penjajahan dan kolonialisme, kaum Muslimin da­ri abad ke abad tampil ke depan de­ngan semangat pengorbanan yang ber­nyala-nyala. Pemberontakan I­mam Bonjol, Diponegoro dan lain - la­in pendekar muslim Indonesia, men­jadi sumber inspirasi bagi bangsa ki­ta dan keturunan selanjutnya. Bukan kita hendak berbangga dengan ja­sa-jasa mereka, yang sudah dahulu da­ri kita itu. Mereka sudah lewat dan me­reka telah memetik buah dari apa yang mereka perbuat dan perjuangkan. Kita kemukakan itu sebagai per­i­ngatan, bahwa dimana si lemah per­lu dibela, dimana si tertindas harus di­lepaskan dari tekanan dan ketakutan, maka golongan Islam tampil ke­muka membela hak dan kebenaran A­gamanya, ideologinya, dan haram ba­ginya berpeluk tangan.

Kita tak hendak bermegah de­ngan perbuatan orang-orang kita yang telah dahulu dari kita. Tetapi re­volusi yang meletus di Tanah Air ki­ta semenjak empat tahun yang lalu (ar­tikel ini ditulis tahun 1950 –pe­nyun­ting), cukup memberi ukuran ba­­gi kita, dan umat Islam yang se­ka­rang ini telah berhasil  membuktikan, bahwa ruh Islam-nya itu tidaklah mati. Bahkan ia adalah merupa­kan sumber yang tak kunjung kering, pen­dorong yang maha hebat dalam per­juangan menentang penjajahan.

Sejarah menjadi saksi bahwa u­mat Islam Indonesia tidaklah ter­be­lakang dari saudara - saudaranya go­longan lain. Ia bahu-membahu, ber­korban dan berjihad dalam pel­ba­gai lapangan dengan tujuan yang sa­tu. Melepaskan negara dari penja­ja­han, lahir dan batin, menegakkan dan mengisi kedaulatan atas seluruh ke­pulauan Tanah Air. Maka Mas­yumi dalam pergolakan yang meng­ge­lora itu adalah saluran dari kewajiban berat bagi umat Islam Indonesia di lapangan politik. (Baca Juga : Natsir Sang Negarawan)

Pendirian

Dalam persimpangsiuran bermacam aliran yang ada, kita bersedia mencari dasar persamaan dalam hal-hal yang dapat dijalankan bersama-sama, berjalan atas dasar "kalimatin sawa'in bainana wabainakum" (Q.s. Ali Imran : 64). Tak ada fa­edahnya bagi kita menghabiskan waktu dengan rasa gusar kesal, bilamana berjumpa dengan perlawanan paham atau ideologi. Maka dengan kepala dingin dan jiwa yang besar, seorang Muslim sewaktu–waktu harus pandai menempatkan dirinya pada pendirian yang tentu, dengan mengambil sikap  Qul ya qaumi i'malu 'ala makanatikum inni 'amil." (Katakanlah [wahai Muhammad], wahai kaumku berjuanglah kamu atas tempat dan dasar keyakinanmu, sesungguhnya akupun adalah seorang pejuang pula.") (Q.S. Al-An'am: 135).

Dalam pada itu kita mengga­riskan jalan dalam masyarakat dengan tenang, tapi tegas dan positif, se­la­ras dengan khithah Rasulullah s.a.w., dalam membawa tugasnya: "Ka­takanlah ! Inilah jalanku. Aku a­jak kepada jalan Allah dengan bukti-buk­ti, aku dan pengikut-pengikutku. Ma­hasuci Tuhan, dan aku bukanlah ter­masuk orang- orang yang menye­ku­tukan Tuhan" (Q.s. Yusuf: 108).

Februari 1950
Dikutip dari M. Natsir, Capita Selecta 2 (Jakarta: Pustaka Pendis, 1957), hlm. 295-299
Berikut ini adalah tulisan Buya Mohammad Natsir yang pernah ditulis ulang oleh kawan-kawan DISC Masjid UI dalam buletin Khazanah. Semoga bermanfaat. 


Post ADS 1
Banner
Banner