Mencari Tiga Puluh Cahaya #2

Pernah terpikir untuk menanyakan sesuatu yang lebih. Mungkin nomor telepon, entah alamat rumah, atau bahkan ukuran sepatunya. Dan entah mengapa aku punya pikiran seaneh itu. Ya, perasaan mengatakan, aku ingin selalu dekat dengannya. Ketika tak ada jam kuliah, kucoba untuk mencarinya. Walaupun hanya sekadar melihat, seakan rasa penasaran itu hilang. Aku tak bisa menerjemahkan perasaanku ini.

Begitu sakit melihatnya dari sisi gelapku. Tak ada teman yang tahu akan rahasia ini, sekalipun teman baikku. Namun, Tak terlintas dalam arena pikiranku untuk menjadikannya kekasih, pacar, gebetan, atau entah yang lain, seperti gaya pergaulan di kota ini. Yaa, mungkin pemikiranku agak berbeda dengan pemuda metropolitan kebanyakan. “Karena cinta adalah memberi, nafsu itu mengambil!”. Kata-kata itu seperti menjadi motto dalam perjalanan cintaku. Mungkin inilah caraku menjatuhkan cinta kepada seorang akhwat yang tak kutahu identitasnya, bahkan namanya saja aku belum tahu hingga sekarang. Namun, tak rela jika dikatakan, ini adalah cinta buta. Aku melihatnya sendiri, dengan mata dan kacamata minusku, dia turun dari MUA dengan segala keanggunannya. Anganku melayang, seakan banyak dan luasnya masalah hidupku, bisa lenyap hanya dengan setitik berfikir tentangnya.

Tidak. Aku tak boleh jatuh hati padanya. Perumpamaan yang sangat kontras. layak langit dengan sumur yang kering tujuh turunan. Jauh, jauh sekali! Dia pantasnya dengan Wahyu, ketua II MUA, atau Tafiardi, Ketua umum Senat FMIPA. Tak laik untuk Air Setiyawan, mahasiswa biasa dengan prestasi biasa.

Semakin hitam saja hatiku memikirkannya. Azifah Istifadah. Akhirnya nama itu kutemukan. Nama yang begitu asing di telingaku. Tak ada temanku yang memiliki nama begitu bagusnya. Paling banter hanya Indah, Melani, Triya, Putri, Shinta, dan paling mendekat Annisah. Nama yang cantik, secantik paras dan tindak tanduknya. Yaa, aku ingin memiliki perhiasan paling indah itu. Semoga.

Kurasa, rasa ini hanyalah dirasa oleh perasaanku saja. Dia masih saja sibuk dengan aktivitasnya. Dia tak melihatku sedikitpun. Dia tak pernah menganggapku sebagai bagian dalam hidupnya. Aku hanyalah teman sekampus yang tak dikenal, atau hanya sebagai teman satu payung organisasi. Hanya itu!

Kini aku terbaring sakit. Yaa, aku sakit memikirkan dia, membayangkan dengan radius yang sangat jauh, jauh sekali. Inikah panah-panah syaitan yang telah ditusukkan dari busur pandangan saat kumelihatnya. Kuhibur diriku dengan dua rakaat shalat dhuha. Tak begitu berarti untuk keruhnya volume pikiranku. Kuulangi dengan bacaan yang lebih panjang, masih belum. Kutemukan Mushaf dijendela belakang masjid, kuambil, dan kucoba untuk membukanya, tak kuhiraukan milik siapa.

Ditengah-tengahku membaca. Aku berhenti. Ada tanda ringan, bekas goresan pensil dibagian satu ayat ini. apa maksudnya. Sepertinya penting sekali bagi pemilik Quran ini.

”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

Aku hayati. Hatiku gemetar. Surat itu seakan sudah membangunkan tidur angan panjangku. Kupejamkan mataku sejenak. Seakan terdapat setitik cahaya terang dalam gelapnya penglihatanku. Kuhisap nafas ringan menenangkan. Kurasakan, begitu dingin dan sejuknya suasana masjid ini. Seolah tak pernah kurasakan sebelumnya. Kuletakkan Quran itu di tempat semula, dan masih teringat inti sari dari ayat tadi. Kucoba ladang hatiku untuk menyerap mata air pencerahan. Ada kenyamanan yang berbeda. Hidayah Allah ini, terasa sangat manis. Dan masih terpikir jelas, kudapati tulisan tadi di surat Nuur, ayat tiga puluh. Maha Benar Allah Atas Segala Firman-Nya.

Bekasi, 24 August 2010

Arif Setiyanto |  Kontributor Kolom Cembung PenaAksi[dot]com
Post ADS 1
Banner
Banner