Oleh-oleh untuk Pemerintah Hasil Perjalananku ke Kota Tua

Beranjak dari kota hujan tercinta, Bogor. Di Stasiun Bogor kami mengawali perjalanan menuju Kota Tua (Di Sekitar Stasiun Jakarta Kota > kalau yang belum tau). Menunggu kedatangan Commuter Line (CL) di jalur 3. Nyamannya menikmati gerbong khusus wanita. Gerbong pertama yang merupakan kepala kereta. Sesampainya di Stasiun Kota bertepatan dengan kumandang adzan dzuhur. Kami pun mencari mushala terdekat untuk menunaikan shalat dzuhur. Kukira, ada 2 mushala di stasiun ini. Ternyata eh ternyata, hanya ada satu mushala saja. Mushala yang satunya sudah ditutup (mushala dekat kereta api barang). Karena satu mushala itu penuh dan berdesak-desakan, akhirnya kami pun mencari masjid di luar Stasiun Kota.

Kami mendapatkan masjid tepat di belakang Bank Negara Indonesia (BNI). Akhirnya, kami pun menunaikan ibadah shalat dzuhur di masjid itu. Usai shalat, kami pun beranjak pergi ke alun-alun Kota Tua. Rencana awal, mulailah kami mengunjungi Museum Wayang. Museum ini tampaknya sudah tertata dengan rapi oleh pengelola. Barang-barang berharga dan bersejarah disimpan seapik mungkin di dalam lemari kaca. Mungkin hanya barang-barang yang berukuran besar saja yang masih bisa disentuh oleh pengunjung seperti golek besar dan perangkat gamelan (alat musik).

Setelah selesai menikmati cuci mata di Museum Wayang. Kami pun beranjak menuju Museum Sejarah Jakarta. Pengunjung yang banyak dan hilir mudik membuat kami pusing menikmati cuci mata di sana. Pengunjung yang berjalan kocar-kacir (tidak ada rute pameran) membuat suasana di sana menjadi tidak nyaman, tidak kondusif lagi. Belum lagi barang-barang dengan mudahnya disentuh oleh pengunjung, terutama anak-anak yang hanya ingin sekedar berfoto ria. Padahal, nilai sejarah benda tersebut bermutu tinggi. Belum lagi anak-anak muda yang mengunjungi museum ini. Terlihat dari luar museum di lantai bawah terdapat anak muda yang sedang merokok di dalam museum sambil memperlihatkan wajahnya melalui jendela. Sungguh sebuah pemandangan yang tidak layak untuk dilihat. Belum lagi pojok-pojok museum yang kerap kali digunakan oleh pasangan muda mudi untuk berpacaran.

Usai mengunjungi Museum Sejarah Jakarta, kami pun mulai mencari makan siang dan menikmati kuliner (jajanan) ala Kota Tua. Makanan khas Jakarta, kerak telor misalnya. Harganya sungguh di luar dugaan. 20 ribu/porsi. Kalau saja mengunakan harga standar masyarakat, pastilah banyak yang menikmatinya.

Karena hari sudah sore, usai shalat ashar di Masjid BNI kami pun beranjak untuk pulang ke Bogor. Di Stasiun Jakarta Kota, tampak para penumpang memadati stasiun. Meskipun padat penumpang, kami tetap mendapatkan kursi duduk di gerbong khusus wanita, di kepala KRL jurusan Bogor. Sesampainya di Stasiun Bogor, perlu kita ketahui bahwa mulai 1 Juni 2013, untuk KRL menggunakan e-ticketing. Nah, tiket kami pun diperiksa di Stasiun Bogor. Tanpa Kami sangka-sangka ternyata tiket saya dan 3 orang adik junior saya di kampus tidak bisa membuka pintu keluar penumpang. Setelah dicek oleh petugas ternyata tiket kami untuk jurusan Jakarta-Bekasi. Kami pun tidak tahu menahu tentang kesalahan tiket tersebut. Akhirnya, petugas pun membawa kami ke belakang. Seorang petugas menjelaskan permasalahannya. Dengan dalih ingin memudahkan kami, dia akan mengurus kasus ini. Kata si petugas :

“Jika kita mengikuti prosedur, maka kalian harus membayar denda sebesar 50 ribu rupiah per tiket yang salah jurusannya. Karena saya tidak mau jahat, maka kalian cukup bayar 10 ribu rupiah per tiket yang salah. Anggap saja kalian membeli tiket KRL ekonomi”. Sebenarnya bukan masalah uang 50 ribu atau 10 ribunya. Kami hanya meminta tanggung jawab saja pada ticketing Stasiun Jakarta Kota yang salah memberikan e-ticket kepada kami. Padahal, kami membeli tiket Jakarta Kota-Bogor dan membayar sesuai dengan harga tiket. Karena si petugas tidak mampu menjelaskan lagi, dia pun mengoper kami kepada rekannya. Rekan si petugas pun menjelaskan kepada kami secara detail :

“Manajemen Stasiun Bogor dan Jakarta Kota berbeda, kami tidak bisa membantu kalian karena kasus ini. Untuk itu, kalian membayar tiket penalti saja sebesar 5 ribu per tiket yang salah dibeli. Ini merupakan sebuah sanksi kecil atas kesalahan pihak ticketing Stasiun Jakarta Kota maupun kalian. Kami akan beri tiket penalti resmi sebagai bukti. Jika kalian ingin melakukan protes, silakan bawa tiket penalti ini ke Stasiun Jakarta Kota”. Kami pun akhirnya membayar tiket penalti sebesar 5 ribu rupiah.

Wow, funtastik. Dari 50 ribu menjadi 10 ribu, padahal resminya hanya 5 ribu rupiah saja. Ada apa dengan pengelolaan PT KAI?

Semoga beberapa gelintir pengalaman yang saya tuliskan menjadi perbaikan bagi Pengelola Museum Wayang, Museum Sejarah Jakarta, serta PT KAI. Khususnya pemerintah yang memiliki andil dalam terciptanya keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam menggunakan fasilitas publik.

Kejadian ini terjadi pada tanggal 10 Juni 2013.

Suwarti | Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Artikel yang sedang Anda baca saat ini merupakan salah satu kontribusi karya tulis yang dikirimkan ke redaksi Pena Aksi. Ingin berpartisipasi? Ikuti petunjuknya di sini.
Post ADS 1
Banner
Banner