Belajar Itu Sederhana yang Bermakna

Sore itu, seperti biasa sekelompok anak bermain di lapangan badminton milik warga RW 05. Bukan badminton yang mereka mainkan, melainkan permainan pesawat terbang kertas. Permainan yang mengandalkan kertas bekas ini dapat membuat mereka merasakan bahagia. Dari beberapa kertas yang dibuat menjadi pesawat kertas adalah lembar ulangan mereka yang mendapat nilai kurang dari lima pemberian guru mereka di sekolah. Kesedihan nilai jelek tersebut seolah terbayar tuntas lewat permainan pesawat terbang kertas tersebut.

Permainan tersebut sungguh sederhana, bahkan orang dewasa yang melihatnya dengan sekilas, permainan tersebut tidaklah bermakna. Sekelompok anak itu menganggap hal ini sangatlah menantang. Dari hasil kreativitas anak-anak tersebut, lahirlah berbagai bentuk pesawat terbang kertas dengan kemampuan terbang yang berbeda. Anak-anak pun mendapat pelajaran tersendiri. Misalkan mereka menginginkan pesawat yang terbang lalu mengapung di udara dengan waktu yang lama. Hal itu bisa didapat dengan melebarkan sayap pesawat. Jika mereka menginginkan pesawat yang terbang cepat dan jarak tempuh yang jauh, mereka bisa melancipkan ujung pesawat dan memperkecil sayap.

Dengan permainan sederhana itu, mereka berhasil mendapat pelajaran yang mereka terima suka rela, tanpa takut mendapat nilai dari guru yang menyatakan mereka tidak pintar. Pelajaran yang memberikan mereka kesempatan untuk berproses. Kenapa dikatakan “berproses” ? karena anak-anak tersebut awalnya menggunakan prinsip coba-coba saat merancang pesawat kertas, lalu menggabungkan setiap pengalaman-pengalaman dari rancangan peswat mereka sebelumnya yang gagal terbang. Tentu bagi anak-anak pengalaman gagal di permainan tersebut adalah tantangan yang harus dihadapi. Mereka berani menghadapi tantangan itu karena mereka saling bertukar tips agar pesawat kertas bisa terbang.

Lain di lapangan badminton, lain pula di kelas.

Sistem evaluasi belajar di pendidikan kita hanya menilai hasil akhir yang memutuskan nasib murid, bukan seberapa besar proses belajar yang terjadi pada murid. Akhirnya anak-anak pun tidak boleh gagal dalam ujian mereka. Mereka menghindari kegagalan di ujian dengan berbagai cara mulai dari mengikuti bimbingan tes hingga berbuat curang. Di sisi lain, ujian yang ada di sekolah pada umumnya adalah berbentuk tes objektif seperti pilihan ganda yang hanya membiasakan murid tidak mampu berpikir mendalam karena sekedar menyalin jawaban dari buku teks dan pembicaraan dari guru yang biasanya dari buku teks juga. Akhirnya ilmu yang didapat oleh murid hanya sebatas buku teks dan manfaat ilmu bagi murid hanya sebagai juru selamat dari kegagalan ujian. Padahal di ujung pengertian pendidikan versi UU no. 20 tahun 2003 berbunyi “…keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Artinya sungguh jelas ilmu yang harus diamalkan.

Makna belajar mengalami pergeseran arti yaitu sesuatu yang dianggap membuat stress. Tidak heran jika para murid lebih memilih habiskan waktu untuk bersenang-senang saja. Dari kesenangan tersebut lahirlah kecintaan terhadap dunia. Maka dari itu mari ubah paradigm belajar yang rumit, membuat stress dan tak bermakna menjadi belajar yang sederhana dan menyenangkan tanpa menhilangkan kebermaknaannya. Caranya adalah guru dapat memberikan kesempatan pada murid untuk merasakan pengalaman terbaik, agar mereka mampu evaluasi kesalahan secara mandiri dengan bimbingan guru. Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?

Indra Restu Fauzi | Peneliti Forum Kajian Ilmu Pendidikan | Redaktur Penaaksi.com

Artikel yang sedang Anda baca saat ini merupakan salah satu kontribusi karya tulis yang dikirimkan ke redaksi Pena Aksi. Ingin berpartisipasi? Ikuti petunjuknya di sini.
Post ADS 1
Banner
Banner