Persaudaraan Ekonomi

Oleh : Alwi Alatas*

Beberapa waktu yang lalu saya pergi ke sebuah bengkel untuk mengganti oli mobil dan memeriksa kendaraan kalau-kalau ada bagian yang perlu diperbaiki. Ada sebuah bengkel di dekat rumah, pengelolanya orang Cina. Maklum, seperti itulah kalau tinggal di lingkungan orang-orang Cina, susah juga mendapatkan bengkel mobil yang dikelola orang Melayu di dekat tempat tinggal. Tapi tak apalah, pengelola bengkel itu masih muda dan sangat ramah. Bukan hanya ramah, ia juga tidak keberatan menjawab berbagai pertanyaan soal mobil yang ditanyakan oleh pelanggan tak berpengalaman seperti saya.

Selain mengganti oli, pekerja yang menangani mobil saya juga melakukan pemeriksaan bagian-bagian mobil lainnya. Ia mengisi air karburator, memeriksa tekanan angin pada ban dan memompa ban yang agak kempes. Saat memeriksa filter angin yang sudah kotor, ia membawanya ke dalam untuk menanyakan pada bosnya apakah filter tersebut sudah waktunya diganti. ”Bersihkan saja,” ujar bosnya setelah memperhatikan keadaan filter tersebut. Maka anak buahnya tadi segera membersihkan filter tersebut dengan menggunakan penyemprot angin. Keadaannya tentu saja masih agak kotor dan berwarna keruh, walaupun kondisinya sudah lebih baik.

Saya berdiri memperhatikan pegawai itu bekerja. Seorang pelanggan lain, seorang Cina juga, ikut berdiri di samping saya. Sambil memperhatikan mobil saya, ia mulai berbincang dengan saya. Ia bercerita kalau ia selalu memeriksa kendaraannya secara rutin di tempat itu.

“Technician kedai ini ok … dia paham dan boleh baiki semua problem kereta …,” ia berkata penuh semangat.

Lalu ia melihat filter angin mobil saya yang kotor dan sedang dipasang kembali di tempatnya. “Itu sudah kotor sekali … very dirty lah,” katanya sambil menunjuk filter tersebut. “Lebih baik kalau diganti ….”

“Perlu diganti …?” saya ragu-ragu. Jujur saja, saya belum lama memiliki mobil dan pengetahuan saya tentang mesin mobil setingkat pelajar taman kanak-kanak. Terlebih lagi, uang di kantong saya tidak begitu banyak.

”Setiap kali service saya selalu ganti baru semua yang perlu ... minyak hitam, filter angin, minyak brake ...,” ujarnya menerangkan. ”Yang penting jalan kereta kita jadi ok. We feel comfortable.”

Saya mulai terpancing kata-katanya. ”Berapa harga filter angin? Biasanya berapa lama filter itu perlu diganti?”

Pekerja yang sedang mengurus mobil saya menjawab pertanyaan saya dan menyebut harganya. Saya mulai mempertimbangkan untuk membelinya. Kebetulan uang di kantong masih cukup.

”You tak akan menyesal lah,” pelanggan di samping saya tadi. ”Semua itu akan bikin kereta jadi lebih baik ....”

Ketika bos bengkel datang menghampiri, saya tanyakan apakah filternya memang perlu diganti. ”Memang filter itu sudah kotor, dan lebih baik diganti. Tapi terpulang pada awak apakah nak tukar filter dengan yang baru atau tak.”

”Saya kira begitu lebih baik,” pelanggan yang di sebelah saya masih memberi komentar.

”Baiklah kalau begitu,” ujar saya mantap.” Saya nak tukar filter itu dengan yang baru.” Saya terpengaruh juga dengan omongan pelanggan di sebelah saya. Usianya jauh lebih tua dari saya, jadi saya tak merasa ia telah menggurui saya.

Bagaimanapun, saya merasa juga kalau si pelanggan ini sebetulnya sedang mendukung bos bengkel mobil ini. Ia terlihat sangat akrab dengan bos bengkel tersebut. Dengan menyarankan saya membeli filter baru berarti pemasukan untuk bengkel itu bertambah. Tapi pada saat yang sama saya juga tidak yakin kalau ia sedang berusaha menipu saya. Filter tersebut memang sangat kotor dan dan beberapa bagian mobil saya memang sudah perlu diganti.

Setelah selesai memperbaiki mobil, saya pun kembali ke rumah. Selama beberapa waktu berikutnya saya mengingat-ingat kejadian itu. Saya merasa kagum dengan sikap orang-orang keturunan Cina yang saling mendukung dalam berekonomi. Bahkan di antara sesama pedagang Cina biasanya juga cenderung saling mendukung. Mereka membentuk semacam persaudaraan ekonomi untuk menguatkan posisi perekonomian mereka. Tentu saja di antara mereka juga sering terjadi persaingan dan permusuhan. Tapi saat menghadapi orang lain, mereka biasanya bersatu dan saling mendukung.

Bagaimana dengan kaum Muslimin? Apakah kaum Muslimin dan para pedagang Muslim juga terbiasa melakukan hal yang sama? Barangkali sebagian pelaku ekonomi Muslim juga memiliki kecenderungan yang sama. Namun kami khawatir sikap kebalikannya yang lebih sering muncul. Saya jadi teringat dengan apa yang saya baca di buku Anne Booth, The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century. Dengan mengutip dari Clifford Geertz saat menjelaskan tentang para pedagang pribumi di Kudus, ia menulis bahwa ‘sikap individualisme mereka yang berlebihan membawa pada kecemburuan ekonomi dan pertengkaran di antara sesama mereka sendiri, daripada membangun jaringan dan memberi dukungan yang saling menguntungkan yang menjadi ciri khas kaum imigran Cina.’

Saya tidak begitu paham dengan sikap individualisme yang berlebihan. Tapi rasa-rasanya masalah kecemburuan ekonomi dan konflik internal cukup mudah dipahami dan dicari contohnya. Apa yang disebutkan Geertz atau Booth di atas terjadi beberapa dekade yang lalu. Apakah hal semacam itu masih berlaku sampai sekarang ini? Wallahu a’lam. Semoga saja tidak.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alwi Alatas ||| Seorang Penulis lebih dari 20 buku diantaranya adalah serial pahlawan "Al Fatih","Tariq bin Ziyad","Nurudin Zanki". | saat ini sedang studi doktoral di IIUM. Buku terbaru beliau disini


Post ADS 1
Banner
Banner