Kala Itu, Waktu Kecil 2

Sipar koplak[1] ngandi?”, Sapa Mas Nana tiba-tiba melintas pelan, memanggil bapakku dengan bangga tanpa sopan. Aku hanya menoleh, tak kubalas.

Wis golek Sompel[2] ning ngalas urung?”, lanjutnya tertawa kecil, berlalu begitu saja.


Aku hanya mencaci dalam hati. Toh, dia sudah berlalu. Sukses mengobok-obok pikiran pagiku yang jernih. Gerahang gigiku seakan rontoh, menggerutu begitu keras. Vitamin jahat ini merasuk dalam hatiku menimbulkan bercak-bercak merah kehitaman. Pecundang kampung seperti keluargaku memang pantas diperlakukan sebiadab itu. Ya, untuk menutup kebutuhan dan mengisi perut, bapak tak bisa mengandalkan petak sawah warisan mbah buyut, yakni berburu daging keong di sepanjang tepi sungai waduh gajah mungkur. Berbekal karung, cuthik[3] dan tanpa baju, dengan telaten satu demi satu dipungutnya molusca itu dan langsung dicongkel dagingnya di tempat. Tak jarang aku yang sering ikut mencari, dengan terpaksa menyembunyikan titik demi tetes embun mataku. menyekanya bercampur lumpur, keringat, dan sengatan matahari. Setiap hari. Pagi dan sore. Sesampai di rumah, simbok yang sudah menunggu, siap meracik untuk dijadikan menu kuliner kampung: tongseng, sate, dan lauk di nasi kucing. Aku yang tak lelah menemani bapak, menyertai beliau mengayuh sepeda onthel keliling kampung puluhan kilo menjual hewan air itu. Yaa, sejak bapak menaruhku di keranjang depan, sampai aku paripurna sekolah menengah atas saat ini. Tanpa jemu.

Simbah Parso Suwito. Bapakku yang mulai sepuh itu dengan remeh temeh dipanggil oleh anak muda bau kencur kepala dua dengan panggilan, Sipar! Anak mana yang tak marah mendengar celotehan berbau kurang ajar, dan beraroma lafaz bajingan! Namun, itulah, beratasnamakan fakta yang ada, aku hanya meradang lewat umpatan lorong perasaan yang tergores ratusan luka. Setiap hari. Bahkan setiap malam saat aku nongkrong di pratolan[4]. Aku hanya pasrah. Meredamnya sampai ulu hati luka parah dengan kesedihan kepasrahan dan semakin tidak percaya akan keadilan Tuhan.

“Kamu kenapa, Nang?[5]”, simbok mengagetkanku dari belakang, membawa potongan telo mongkrong[6] rebus dan wedang teh dhandhang yang khas. Aku menoleh malas dan khusuk dengan timbunan sampah.

“Biarkan mereka mengejekmu. Asal kamu ndak pernah mengejek mereka. Wong, bapakmu aja ikhlas.Lemah teles, Gusti Allah sing mbales!”timpal simbok. Sudah kutahu dari dulu, bapak adalah orang terhebat yang pernah aku kenal.

Kula ndak pernah ngejek, MbokLagian apa yang mau diejek dari Mas Na, Pak Widagdo Blantik[7], Bu Retno guru.
Mas To, bapaknya punya sawah selebar jagad.”

“Kamu nggak iri kan, Geng?”, potong simbok.

Aku hanya diam meletakkan sapu. Simbok mendekat di samping. Tepat sekarang di depanku terpancar cahaya dhuha yang tumpah ke sungai. Para petani dengan caping lebar dari kejauhan begitu semangat memetik tangkai padi. Ada juga yang menyemai ladang yang ditanami cabe dengan ember secara estafet bersama anggota keluarganya. Aku iri. Yaa, aku begitu dengki melihat semua itu.

Kemiskinan tak pernah lepas dari urat leherku. Semakin hari mencekikku seperti dadung sapi yang erat. Aku adalah makhluk yang sengaja Tuhan ciptakan untuk gagal. Yaa, Tuhan gagal memeliharaku. Tuhan gagal menyempurnakan manusia. Tuhan Maha Adil merupakan sebuah slogan yang kini mulai lusuh dan usang. Cacianku tak ada habisnya seperti hinaan Mas Na dan Mas To menjulukiku ‘Sipar Pekok![8]”. suhu tubuhku meninggi. aku ingin rasanya meledak dan menjadi kepingan kaca yang bakal masuk kebluduan[9] penuh clethong[10] mulut busuk Mas Na dan Mas To.

Kowe udah sholat?”, tanya Simbok yang sejajar denganku. Aku mengangguk, meski tak jujur dengan yang ditanyakan pelita hidupku ini.

“Simbok mempertanyakan sholatmu……”

Aku menatap wajah simbok yang hitam, semakin hari semakin ganas saja semburan berkas cahaya matahari itu. Wajah yang tua, kini juga gosong. Simbok terlalu sregep ber-khalwat dengan terik. Tubuhnya yang mungil seakan kini mulai habis mengerut dimakan tua.

Kowe setiap hari kalau mau sholat, mesti mengangkat tangan terus langsung bersedakep[11] tho? Bukannya itu cara Gusti Allah maringi hikmah sama orang kecil, Geng.”, simbok menghirup nafas sejenak. Terdengar samar suara itu.
“Kita ngangkat tangan ‘Allahu Akbar’, meyakini Allah itu Maha Agung. Terus bersedekap, memasrahkan segala urusan kepada-Nya!”

Aku diam. Ngendika simbok memang benar. Ilmunya akan kepasrahan menyatakan tersirat bahwa beliau hanyalah jebolan sekolah rakyat tingkat –kelas- dua.

Namun, kebencianku pada Tuhan Maha Besar membuatku harus menyangkal semua.

NggihMbok. Nanging mboten segampang itu menyakini Kemahaagungan-Nya. Nyatanya, Gusti Allahmboten ngasih laknat sama orang-orang yang menghina kita. Mereka malah diberikan rezeki yang lebih daripada kita.”

Simbok tersenyum. Menerawang ke atas seperti hendak meminta sanggahan dari Tuhan. Simbok ternyata lebih pasrah dari yang kuduga. Beliau langsung meraih branjang dan arit untuk berangkat dinas –ngarit-. Seakan ada pesan moral yang ingin simbok tularkan. Berani mengakui kekalahan.

Kowe jadi nyang Wonogiri, Geng?”

Nggih. Ngendika Pak Mus, kula disuruh sowanwonten gawean.”. simbok tersenyum tipis jika aku bilang ada kerjaan.
“Pesan bapakmu, Tetep pegang Agama di tangan kanan, dan tata krama di tangan kirimu, Geng. Walau kita orang susah, jangan pernah putus harapan akan bantuan Gusti Allah. Ojo lali sholat. Sapa tekun bakal tekan. Salam buat Ustadz Mustaqim sama Pak Guru Kastanto!”, nasihat singkat simbok, sebelum menjadi titik hitam dari kejauhan.

Hari ini aku sukses besar berbual besar. Sebenarnya, tak ada panggilan kerja dari Ustadz Mustaqim, yang ada ialah penolakan beruntun dari Pimpinan Ponpes satu-satunya di Wonogiri itu, beliau tak menerimaku menjadi penunggu masjid lagi, ataupun guru honorer untuk mata pelajaran IPA. Yaa, semasa duduk di bangku sekolah dulu, aku menginap di Masjid jami Al-Huda, masjid utama pusat belajar-mengajar Ponpes Al-Huda. Sebuah simboisis mutualisme berlangsung, aku mendapat tempat tinggal gratis dekat dari sekolah, sedangkan masjid mendapat kebersihan yang terjamin dengan servis-ku sebagai marbot. Namun, akulah yang sebenarnya lebih diuntungkan, di sana aku bisa belajar Fikh, tajwid, sirah nabawiyyah, bahasa Arab, bahkan setiap pagi rutin setoran hafalan juz amma langsung kepada Ustad Mus, sama seperti santri lainnya. Hal ini yang membuatku sering menerima undangan pembicara dalam pengajian rutin pelajar SMA. 

Namun, setelah aku lulus, dalam eforia kelulusan aku menyatakan keluar dari tugas mulia ini. Menurutku, ijazah SMA bisa membuatku terbang menyebar lowongan kerja, dan memilah pekerjaan mana yang aku ingini. Namun, salah kaprah! Dalam riwayatku mencari pekerjaan, aku selalu ditolak mentah-mentah. Menjadi tukang kebon sekolah, SK bupati menyatakan tak boleh lagi sekolah menerima pegawai honorer. Lowongan sales Baitul Maal Watamwil, harus berkendaraan pribadi. Terakhir kali aku ke dinas tenaga kerja, penerimaan pasukan Satpol PP terpampang jelas di mading, tetapi segera aku tepis, sudah setahun lebih bola mataku ditempeli lensa cekung berkekuatan -2 dioptri.

Wonogiri bukan daerah yang bersahabat untuk pemuda desa miskin yang tak pernah dipandang. Pemimpin terlalu sibuk membesarkan perut, dan itu yang membuat mata mereka terhalang menunduk melihat potensi kami.
Segera kuraih tas hitam. Menyergap setiap peralatan hidup yang kusiapkan dari kemarin. Kusimpul tali hitam yang meliliti sepatu dinas SMA dulu, tipis di belakang, mangap bagian depan. Dan terpenting ialah Ijazah dari sekolah yang pernah kusinggahi untuk mendulang ilmu. Yaa, aku menanti hari ini. Pergi tanpa tujuan, sejuta harapan. Segera. Meninggalkan desa yang menurutku ialah sebuah miniatur tanah jajahan harga diriku. Tak kutinggalkan apa pun untuk bapak dan simbok. Sepucuk surat pun tak kuselipkan karena buta huruf masih menggumpali mata orang tuaku.

(Tetap Bersambung...........)
[1] Goblok, bodoh, dungu

[2] Cangkang Keong

[3] Batang kayu yang sudah tua

[4] Pos kamling di desa

[5] Kanang, paggilan kasih sayang orang tua kepada anaknya. Sama seperti Anakku, thole, putraku.

[6] Ubi jalar yang biasanya dibudidaya di depan rumah

[7] Juragan hewan ternak

[8] Pekok=goblok, tolol, bodoh.

[9] Tempat sampah orang desa yang dekat dengan kandang sapi. Bertujuan untuk membakar sampah dengan clethong agar menghasilkan pupuk kandang yang bagus.

[10] Feses sapi

[11] bersedekap

(diilhami dari kisah nyata)
Arif Setiyanto

Ikuti PenaAksi[dot]Com di twitter dan gabunglah bersama kami di facebook untuk mendukung gerakan "Saatnya Mahasiswa Menulis"
Post ADS 1
Banner
Banner