Natsir dan Gagasan tentang Negara


Pada tahun 1957 Mohammad Natsir menyampaikan pidato tentang Islam sebagai dasar negara di Majelis Konstituante. Pidato Natsir tersebut bertentangan dengan gagasannya sebelumnya tentang Pancasila. Di Iran, Natsir menegaskan bahwa Islam dan Pancasila akan harmonis bersama. Pancasila akan subur di atas pangkuan Al Quran. Tapi kemudian kali ini dengan tegas Natsir menjelaskan bahwa Pancasila tidak sepenuhnya layak menjadi dasar bagi Negara Indonesia ini. Justru Islam, yang menurutnya pantas untuk menjadi dasar Negara. Karena peristiwa ini, nama Natsir lekat distigmakan dengan cita-cita negara Islam, dan tokoh yang anti-pancasila [1].


Pemikiran Natsir terbentuk atas pengaruh gerakan pembaruan Islam di Mesir. Natsir memiliki kritik yang sama dengan mereka menentang bentuk negara serta konstitusi yang melandasinya. Natsir hidup di zaman awal kehancuran Islam tanpa bingkai kekhalifahan. Dia mengkritik sekularisme yang dilakukan oleh Mesir, dimana agama dan negara terpisahkan. Menurutnya agama, khususnya Islam, mengajarkan sebuah ajaran yang komprehensif dan tidak memisahkan masalah-masalah negara sebagai bagian dari pembahasannya.

Tentang Negara, Natsir berpendapat bahwa ia sudah ada sebelum Islam lahir ke bumi ini. Karenanyalah Natsir beranggapan bahwa tidak memerlukan perintah khusus dari Al Quran ataupun Hadits Nabi untuk mendirikan sebuah negara, tapi yang diperlukan adalah strategi dan tumpu-tumpu yang mengatur negara agar dapat menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negara yang diridhai oleh Allah.

Berdasarkan hal tersebut, Natsir kemudian mengatakan bahwa sebuah negara tidak harus berbentuk Negara Islam. Akan tetapi menurut Natsir yang paling penting adalah bagaimana negara dan konstitusinya mampu memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan berIslam dari masyarakatnya. Natsir tidak menolak kemungkinan diterapkannya sistem pemerintahan Barat, selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar nilai Islam.

Tentang demokrasi, Natsir bahkan memiliki pandangan bahwa sebenarnya konsep syura(musyawarah) lebih melekat dengan sistem demokrasi modern ketimbang dengan sistem monarki. Tapi Natsir juga tidak sepenuhnya menerima sistem Barat. Dengan tegas Natsir menolak paham sekularisme yang dianut oleh kultur demokrasi barat. Baginya, lagi-lagi, konsep barat dapat diterapkan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai ke-Tuhan-an. Oleh karenanya, menurut Natsir, konsep syura yang diterapkan dalam demokrasi harus senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip etik keagamaan. Natsir berupaya mendamaikan teori kedaulatan rakyat dengan teori kedaulatan Tuhan disini.[2]

Berdasarkan paham tersebut, Natsir dengan semangat membela Pancasila sebagai bentuk pendamaian antara demokrasi dengan Islam. Baginya saat itu, Pancasila memberikan suatu gambaran yang tepat untuk menjadi dasar bagi sebuah negara dengan semangat nasionalisme dan semangat religiusitas seperti Indonesia. Dalam pidatonya di Pakistan pada tahun 1952, Natsir menegaskan bahwa Pancasila merupakan gambaran dari Islam itu sendiri. Baginya, sila keTuhanan merupakan tiang pertama dari Pancasila sebagai dasar dari akhlak dan susila bangsa dan negara Indonesia.

Dalam pidato Nuzulul Quran di tahun 1954, Natsir menegaskan bahwa Pancasila merupakan buah dari musyawarah para pemimpin bangsa dan negara yang sebagian besar beragama Islam. Natsir percaya bahwa tidaklah mungkin Pancasila bertentangan dengan Islam. Dengan retoris, Natsir mengungkapkan bahwa tidaklah mungkin jika Al Quran yang :
  1. … mengajarkan Tauhid, bertentangan dengan ide Ketuhanan Yang Maha Esa?
  2. … dipenuhi ajaran-ajaran yang mewajibkan tegaknya ‘adalah ijtimaiyah[3] bertentangan dengan gagasan tentang Keadilan Sosial?
  3. … menentang sistem feodalisme dan diktator yang sewenang-wenang serta menempatkan ummat sebagai landasan pemerintahan bertentangan dengan gagasan Kedaulatan Rakyat?
  4. … mengedepankan perdamaian antarmanusia bertentangan dengan gagasan Perikemanusiaan?
  5. … mengakui adanya bangsa-bangsa bertentangan dengan gagasan Kebangsaaan?[4]

Natsir kala itu sangat yakin bahwa Pancasila dan Islam dapat hidup berdampingan dan harmonis. Keduanya tidak saling bertentangan, tapi tidak juga identik. Namun kemudian pada tahun 1957 Natsir mengungkapkan pidato tentang Islam sebagai dasar negara kepada Majelis Konstituante. Menurut Deliar Noer, tidak ada perubahan sikap dari Natsir terkait pandangannya terhadap Pancasila. Pandangan Natsir yang membela Pancasila sebagaimana pidato-pidato yang disebutkan di atas adalah tafsiran Natsir terhadap Pancasila itu sendiri dari kacamata Al Quran. Sedangkan pidato Natsir dalam Majelis Konstituante tersebut adalah responnya terhadap paradigma para sekularis terhadap Pancasila.

Dalam pidatonya, Natsir mengutip panjang pidato Soekarno tentang Pancasila dalam rapat Gerakan Pembela Pancasila di Istana Jakarta tertanggal 17 Juni 1954. Disana Soekarno memberikan kesan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ciptaan manusia saja. “…apa sebab? Ialah karena bangsa Indonesia ini bangsa yang hidup di atas taraf agrarian, taraf pertanian. Semua bangsa yang hidup di atas taraf pertanian, tentu religieus…”[5]

Dalam pidato lain, Soekarno mengesankan bahwa seseorang yang masih berada di taraf agraris memerlukan Tuhan. Tapi, ketika manusia sudah memasuki taraf industri, Tuhan tidak diperlukan lagi. Natsir sangat menolak paradigma yang menafsirkan Pancasila, terutama sila pertama, seperti demikian. Oleh karena itulah Natsir kemudian dengan lantang menyuarakan Islam sebagai dasar negara yang paling tepat untuk Indonesia.

Sebenarnya, dalam pidato Nuzulul Quran, Natsir sudah mewanti-wanti kejadian seperti ini. Natsir mengucapkan : “Berlainan soalnja apabila sila Ketuhanan Jang Maha Esa itu hanja sekedar buah bibir, bagi orang-orang yang djiwanja sebenarnja sceptis dan penuh ironi terhadap agama; bagi orang ini dalam ajunan langkahnja jang pertama ini sadja Pantjasila sudah lumpuh. Apabila sila pertama ini, yang hakikatnja urat tunggang bagi sla-sila berkutnja, sudah tumbang, maka seluruhnja akan hampa, dan amorph, tidak mempunjai bentuk jang tentu. Jang tinggal adalah keragka panjasila yang mudah sekali dipergunakan untuk penutup tiap2 langkah perbuatan jang tanpasila, tidak berkesusilaan samasekali.”[6]

Bagi Natsir, sila pertama dalam Pancasila adalah point of reference bagi sila-sila berikutnya. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal tersebut didukung oleh banyak tokoh, sebenarnya, termasuk Bung Hatta. Dalam buku Kumpulan Karangan Jilid IV Mohammad Hatta, beliau menyebutkan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk menyelenggarakan segala hal yang baik.[7] Bahkan ternyata sebagian golongan PNI-pun mendukung gagasan Natsir tersebut. Dalam perdebatan Konstituante tersebut, terdapat seorang anggota Konstituante dari PNI yang bernama Arnold Mononutu menyuarakan dengan tegas penafsiran Pancasila berdasarkan iman Nasrani. “Ketuhanan Yang Maha Esa adalah, bagi kami, menjadi pokok dan sumber referensi bagi sila-sila lainnya” [8] Tentu saja Natsir menyambut paradigma ini dengan sukacita. Baginya, semangat yang harus diterapkan bagi konsep konstitusi Negara, pada umumnya, dan bagi Indonesia adalah semangat desekularisasi. Tidak bisa memisahkan negara dari agama, pun sebaliknya. Natsir dengan tegas menolak sekularisme sebagai falsafah negara.


Oleh : Muhammad Fathan Mubina, Universitas Indonesia, Depok
fimadani.com
Artikel yang sedang Anda baca saat ini merupakan salah satu kontribusi karya tulis yang dikirimkan ke redaksi Pena Aksi. Ingin berpartisipasi? Ikuti petunjuknya di sini.
Post ADS 1
Banner
Banner