Jangan Katakan Impossible


Seorang kawan di Malaysia pernah bercerita bagaimana ia pertama kali dididik kemiliteran di Singapura. Pada hari pertama komandannya memerintahkan semua anak buahnya untuk membawa sebuah kamus. Setelah mereka semua berkumpul dengan sebuah kamus di tangan, sang komandan memerintahkan mereka untuk membuka halaman yang berisi kata IMPOSSIBLE. Setelah mereka mendapatkan kata tersebut, mereka diperintahkan untuk mencoretnya. Kemudian sang komandan menegaskan bahwa seluruh anggota pasukan harus menyadari bahwa sejak hari itu tidak ada lagi kata impossible dalam hidup mereka. Tak boleh ada lagi perkataan tak mungkin.

Untuk sejenak pikiran saya tergoda untuk membayangkan bahwa mungkin saja seorang prajurit yang nakal akan berkelit dengan kata-kata yang lain: unable (tidak bisa), incapable (tidak mampu), unachievable (tak bisa diraih), unable to be realized (tak bisa direalisasikan), ataupun kata-kata lain yang sejenis. Ini adalah cara-cara cerdik untuk menyatakan maksud yang sama tanpa menggunakan kata impossible.

Tapi tentu saja perintah menghapus kata impossible pada kisah di atas lebih bersifat simbolis. Artinya, seseorang diarahkan untuk tidak cepat menyerah dan mengatakan bahwa sesuatu itu tidak mungkin sebelum ia benar-benar mencobanya. Karena, bagaimana kita tahu sesuatu itu mungkin atau tidak mungkin sebelum kita mencobanya dengan sungguh-sungguh?

Ternyata, banyak sekali perkataan semacam ini muncul dalam keseharian kita, padahal kita sama sekali belum mencobanya. Kalau Anda masuk ke supermarket yang menjual barang-barang dengan harga tetap (fixed price) misalnya, maka Anda tak akan berani untuk menawar harga barang belanjaan yang Anda beli. Mana mungkin (impossible) menawar barang dengan harga tetap semacam itu di sebuah supermarket? Itu merupakan hal yang sia-sia untuk dilakukan dan hanya akan mempermalukan orang-orang yang mencobanya. Begitu yang biasanya terlintas di pikiran kita. Banyak lagi contoh-contoh kasus yang semacam ini.

Hal yang sama juga pernah – sebetulnya sering – berlaku pada diri penulis. Pernah suatu hari, penulis pergi dengan istri dari wilayah Kajang ke Gombak, keduanya di sekitar Kuala Lumpur, Malaysia. Itu merupakan sebuah jarak tempuh yang cukup jauh. Ketika itu kami memang tinggal di Kajang dan kami memutuskan untuk pergi dengan menggunakan bus ekspres. Agak lama juga menunggu bus itu siap berangkat. Jumlah penumpang juga tidak terlalu banyak. Harga karcis bus itu dua ringgit untuk sekali jalan. Tapi dengan empat ringgit kami bisa menggunakan karcis itu seharian, termasuk untuk bus-bus pemerintah lainnya di Kuala Lumpur yang bertanda Rapid-KL. Sistem transportasi di Kuala Lumpur memang relatif nyaman dan menguntungkan bagi para pengendara, karena mereka dimungkinkan untuk membeli karcis yang bisa digunakan seharian untuk kendaraan sejenis, sehingga biaya pengeluaran jadi sangat murah dibandingkan dengan ongkos perjalanan yang seharusnya. Semua bus tersebut juga menggunakan AC sebagaimana juga pada layanan kereta api yang ada. Hanya ada satu masalah yang terkait dengan transportasi bus ini, yaitu kita harus bersabar menunggu bus datang. Intensitas bus di Kuala Lumpur jauh lebih sedikit dengan yang ada di Jakarta, walaupun tentu saja Kuala Lumpur tidak menderita kemacetan parah seperti di Jakarta.

Kami memutuskan untuk membeli karcis yang bisa digunakan seharian. Ketika bus sudah siap untuk berangkat, sopir bus menekan tombol untuk membuka pintu secara otomatis. Para calon penumpang yang hanya sedikit jumlahnya itu pun satu persatu menaiki bus. Penumpang-penumpang bus membayar dengan memasukkan uang ke dalam sebuah alat di samping sopir atau dengan menempelkan kartu elektronik yang bisa diisi ulang, karena bus-bus pemerintah yang berlogo Rapid-KL tidak memiliki kondektur. Ketika akan membayar, kami memesan karcis seharga empat ringgit sambil menegaskan bahwa karcis itu memang bisa digunakan seharian. Artinya, kami tidak perlu membeli karcis baru pada saat nanti pulang dengan bus yang sama. Sopir itu membenarkan, tapi ia juga menawarkan alternatif.

“Kalau membeli tiket seharga tujuh ringgit seorang, tiket itu boleh digunakan seharian bukan hanya untuk bus, tetapi juga untuk train (kereta api) berlogo Rapid-KL,” ia menerangkan sambil menahan tangannya dari menekan tombol pencetak karcis untuk beberapa waktu.

“Dengan tujuh ringgit boleh digunakan untuk train juga?” saya dan istri bertanya ragu.

“Ya,” sopir itu mengangguk, “Jadi, nak beli yang mana?”

Saya masih merasa ragu, apakah karcis seharga tujuh ringgit itu akan benar-benar bermanfaat bagi kami, atau jangan-jangan kami hanya melakukan pemborosan saja nantinya. Tapi, istri saya kelihatannya cenderung untuk membeli karcis tujuh ringgit itu. Untuk beberapa detik kami berdebat dengan suara berbisik, sementara di belakang kami masih ada penumpang yang akan membeli karcis. Akhirnya saya mengambil keputusan cepat.

“Nak beli yang empat ringgit saja, Cik,” ujar saya.

“Tak nak yang tujuh ringgit?” sopir itu kempali bertanya.

“Tak, yang empat ringgit saja lah,” tegas saya, walaupun masih ada nada ragu pada suara saya. Sementara pada saat yang sama istri saya menarik baju saya dari belakang sebagai tanda kalau ia kurang begitu setuju dengan keputusan saya.

Sopir itu mengangguk dan mencetak dua buah karcis seharga empat ringgit masing-masingnya. Saya membayar delapan ringgit dan menerima kedua karcis yang hanya berupa lembaran kertas itu. Setelah itu kami bergerak ke bagian belakang bus untuk mencari tempat duduk.

“Kenapa tidak beli yang seharga tujuh ringgit saja?” tanya istri saya.

“Kayaknya lebih baik beli yang empat ringgit deh,” jawab saya sambil terus berpikir apakah saya memang telah mengambil sebuah keputusan yang tepat. Kami mendapat tempat duduk yang nyaman tak jauh dari pintu tengah bus.

“Karcis tujuh ringgit itu jelas lebih menguntungkan,” istri saya masih protes setelah kami duduk, “Setelah naik bus kita masih harus naik LRT (salah satu jenis kereta api yang ada di Kuala lumpur) ke Gombak, lalu naik bus. Nanti pulangnya kita naik kendaraan yang itu lagi ….”

“Tapi kita sudah beli karcis, mana mungkin ditukar lagi,” bantah saya. Kami terdiam untuk beberapa saat.

“Apa salahnya dicoba,” ujar istri saya lagi, “Sopir itu kelihatannya baik.”

“Nggak mau ah,” jawab saya, “Dia pasti bakal nolak.”

“Bagaimana kalau saya saja yang coba?” istri saya bertanya ragu-ragu.

“Memangnya kamu berani? Nanti kalau ditolak bagaimana?”

Istri saya terdiam dan tampak ragu-ragu. Tapi ia masih ngedumel sendiri. “Kanda sih, tadi ketika ditawari karcis yang tujuh ringgit kenapa nggak mau?”

“Habis, kayaknya karcis tujuh ringgit itu mahal juga dan belum tentu lebih efektif pemakaiannya.”

“Jelas lebih murah dong,” protes istri saya.

Saya tahu itu memang lebih murah, tapi masalahnya, seberapa jauh perbedaan harganya. Saya pikir, kalau perbedaannya hanya satu atau dua ringgit, nggak terlalu signifikan. Tapi diam-diam saya menghitung seluruh biaya perjalanan kami hari ini. Setelah turun dari bus nanti, kami harus naik LRT ke Gombak yang biaya masing-masingnya sekitar tiga ringgit. Lalu setelah itu naik bus dengan karcis seharga 1 ringgit yang bisa digunakan pulang pergi. Setelah itu kami akan naik LRT lagi saat pulang dengan biaya sekitar tiga ringgit juga, sebelum akhirnya bisa menggunakan karcis bus ekspres yang sama untuk pulang. Jadi seluruh biaya tambahannya lebih dari enam ringgit. Itu untuk satu orang, belum ditambah dengan biaya istri saya. Padahala kalau beli karcis yang seharga tujuh ringgit tadi, kami cuma perlu tambah uang tiga ringgit saja perorang. Wah, kalau begitu saya rugi dong, saya mulai menyesal karena tadi tidak membeli karcis yang seharga tujuh ringgit.

“Benar juga, ternyata karcis yang tujuh ringgit itu jauh lebih murah,” saya mulai mengakui kesalahan.

“Tuh kan, mestinya memang tadi beli yang tujuh ringgit,” istri saya menimpali.

“Habis gimana dong, sudah terlanjur beli.”

“Coba aja minta ditukar tambah, barangkali sopirnya mau ngasih.”

“Kayaknya nggak mungkin deh,” saya masih ragu-ragu, “Apalagi kita sudah berjalan cukup jauh.” Ketika itu bus memang sudah sampai di daerah Metro Kajang, sekitar sepuluh atau lima belas menit dari terminal Hentian Kajang tempat kami berangkat.

“Kanda sih, tadi kenapa nggak beli atau tukar dari awal.”

“Ya sudah lah, mau bilang apa,” saya berusaha menghibur diri sendiri, “Anggap aja sebagai pengalaman. Besok-besok baru kita beli karcis yang tujuh ringgit kalau melakukan perjalanan yang jauh seperti ini.”

Kami pun diam dan memperhatikan penumpang-penumpang yang baru menaiki bus. Pikiran saya mulai menimbang-nimbang pilihan yang ada. Kalau saya maju ke depan dan minta tukar karcis, apa kira-kira reaksi si sopir? Apakah dia akan setuju? Ataukah dia akan marah dan menolak permintaan saya? Diam-diam saya mulai memberanikan diri untuk mencoba menukar karcis. Kalaupun usaha saya gagal, apa resikonya? Paling-paling saya cuma akan ditolak. Saya toh nggak bakal mati atau cedera kalau ditolak sama sopir kan? Jadi, apa salahnya mencoba?
Maka saya pun memberanikan diri saya. Ketika bus berhenti agak lama di sebuah lampu merah, saya bangkit dari tempat duduk saya.

“Mau kemana?” istri saya terkejut melihat saya meninggalkan tempat duduk.

“Mau tukar karcis,” jawab saya singkat sambil terus berjalan ke depan. Saya melangkah agak cepat menuju sopir, sementara batin saya masih terus merasa khawatir kalau-kalau permintaan saya ditolak. Saya harus memantapkan diri saya, jangan sampai terlihat ragu di depan sopir nantinya. PeDe aja lagi!

“Cik …!” kata saya ketika sudah berada di samping sopir, “Boleh tak tukar dengan tiket yang tujuh ringgit?” Saya berkata begitu sambil memperlihatkan dua buah karcis dan uang pas senilai enam ringgit. Sopir itu menatap saya selama beberapa saat, sementara saya tersenyum dan memasang tampang PeDe pada si sopir. Boleh … tidak … boleh … tidak … boleh … tidak …, batin saya bertanya-tanya sementara sopir yang berkaca mata hitam itu masih memperhatikan saya. Ayolah cepat, kalau mau tolak ya tolak aja! Saya siap dengan kemungkinan terburuk, tapi masih memperlihatkan wajah santai dan meyakinkan.

Sopir itu ternyata menerima permintaan saya. Ia mengambil kedua karcis berikut uang tadi dan mulai menekan tombol untuk mencetak dua karcis baru seharga masing-masing tujuh ringgit.
Tak lama kemudian, saya berjalan kembali menuju tempat duduk dengan wajah penuh kemenangan. Yes! Alhamdulillah saya berhasil. Istri saya yang sejak tadi terus memperhatikan terus bertanya ketika saya sudah sampai di tempat duduk. Berhasil tukar karcisnya? Bagaimana reaksi sopir? Dia nggak bilang apa-apa? Benar kan yang tadi saya bilang, dicoba dulu, ternyata berhasil kan.

Kami cukup gembira dengan keberhasilan kecil yang baru saja kami raih. Hal yang paling membuat saya gembira bukan keuntungan materi yang telah saya dapatkan. Saya pikir saya tidak akan segembira ini sekiranya saya membeli tiket seharga tujuh ringgit itu sejak awal. Kegembiraan itu lebih disebabkan oleh pelajaran penting yang telah kami dapatkan melalui kejadian itu, yaitu “jangan pernah mengatakan tidak mungkin sampai kamu benar-benar mencobanya.” Saya telah mencoba dan ternyata saya berhasil, walaupun pada awalnya saya merasa hal itu mustahil. Tentu saja percobaan semacam ini di waktu-waktu yang lain boleh jadi akan mendapatkan penolakan. Tetapi penolakan toh tidak akan memberi resiko yang terlalu serius pada diri kita. Jadi, apa salahnya kalau kita mencoba?

Sepanjang perjalanan saya terus menerus bersyukur. Sebuah karcis yang bisa digunakan untuk menaiki bus dan kereta api pemerintah di Kuala Lumpur selama seharian. Wow, hebat sekali. Kami bisa pergi kemanapun selama seharian ini. Karcis itu jadi begitu menarik buat saya. Berapa besar subsidi yang diberikan oleh pemerintah Malaysia untuk itu. Saya sampai-sampai ingin mendatangi si sopir lagi dan bertanya kepadanya, “Cik, apakah tiket ini boleh digunakan untuk makan siang secara free di kantin kampus saya, UIA?”

Sejak itu, saya terus mengingat-ingat pelajaran yang saya dapatkan pada hari itu. Coba dulu dan jangan katakan tidak mungkin. Begitu juga dengan Anda. Cobalah, dan jangan terlalu khawatirkan resikonya! Siapa tahu Anda akan mendapatkan sebuah hasil yang tak terduga sebelumnya. Wallahu a’lam.


Alwi Alatas
Seorang Penulis yang cukup produktif. beliau telah menulis berbagai macam buku diantaranya adalah serial pahlawan "Al Fatih","Tariq bin Ziyad","Nurudin Zanki". beliau juga menjadi kontributor di Hidayatullah.


Post ADS 1
Banner
Banner