[Cembung] Muhammad Daffa Al-Fatih (Bag.2)

Aku ngamen cuma penelitian ini saja. Titik! teriakan Irul seakan menambah warna keruwetan hidupku. Jika hidup adalah pilihan, penelitian ini bukanlah hidup katanya. Aku tak tahu apa yang ada dalam otaknya, yang kutahu dia selalu mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Tak ada pilihan lagi Rul, anak sekelas sudah mengambil semua tempat obyek penelitian, tinggal stasiun dan terminal. Mereka tak berani karena preman-premannya. Dan kita, aku mengenal Bang Mamat sejakku makan bangku SMA. Itu berarti kita sudah aman. Tujuh puluh persen hasil ngamen kita diserahkan Bang Mamat dan sisanya buat kita makan di warteg Bu Warni, belakang Stasiun Kranji. Selesai.

Sementara ini kita hanya butuh tampang “pengamen”. Baju hitam dekil, celana berventilasi tak beraturan, gitar tanggung, dan jangan lupa aroma badan yang seperti tak pernah mandi. Hanya itu! Setelah ini kita akan menjadi diri kita sendiri lagi. aku Akhsan, dan kamu Khairul. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Jakarta. Kita tak akan menjadi pengamen lagi. Kita akan bersama-sama memanen bintang mimpi di ladang langit harapan. Lulus! Terus kerja, menikah, punya anak, punya cucu, dan mati. Selesai. Finishnya tergantung amalan kita masing, masing. Surga atau Neraka. 

Meski kadang kita harus berurusan dengan satuan polisi pamong praja karena marathon kita kalah dengan pengamen senior. Namun, pertolongan Allah datang dari kartu mahasiswa yang tak sengaja kubawa, sehingga mereka percaya bahwa kita adalah mahasiswa yang menjadi “pengamen”. 

Syukuri Rul, kita ini hanya pura-pura. Hanya tiga bulan. Kamu bayangkan mereka yang menjadi pengamen permanen. Mencari nafkah untuk ibu mereka, ayah mereka, adik mereka, saudara mereka, bahkan untuk anak-istri mereka. Memang berapa penghasilan mereka SEHARI, aku yakin tak lebih dari jasamu mengajar privat SATU JAM. Belum lagi pandangan masyarakat yang seakan memandang mereka hanya dengan sebelah mata, bahkan tanpa mata. 

Pengamen bukan lintasan jalan hidup yang mereka rencanakan, Rul. Hidup yang rumit memaksa mereka terhimpit seperti ini. Hidup yang sulit yang membuat mereka betah di tempat kumuh ini. Meninggalkan Bangku sekolah, meninggalkan buku-buku pelajaran, meninggalkan guru dan meninggalkan teman-teman mereka untuk hanya sekadar menyambung nyawa. Mencari sesuap nasi demi usus yang ada perut setiap anggota keluarga mereka. 

Tak hanya pengamen yang mencekerkan kaki di stasiun ini. Pedagang asongan, penjual buah, penjual CD bajakan, tukang koran, pengemis, bahkan copet dadakan bertebaran menghiasi setiap ruang kosong tempat ini. Penelitianku akan lengkap dan sempurna. Wajahku memang ada motif pengamen yang seolah menguatkan pemahaman mereka jika aku ini adalah pengamen sungguhan. Apalagi model rambutku yang sudah seperti ‘Punk Rock Jalanan’, sehingga mereka tak merasa canggung dan curiga berbagi cerita duka dan suka denganku, tak terkecuali Bang Mamat pun bisa ku ‘wawancarai’. Namun, tak banyak yang kuketahui dari spesies yang satu ini. Hanya nada bentakan yang selalu menyertai jawaban akan pertanyaanku. 

Mereka kuajak ngobrol seolah seperti obrolan biasa yang dibumbui canda tawa. Terkadang aku harus berkunjung di tempat tinggal mereka. Rumah yang sebenarnya tak layak dipanggil rumah. Hanya tersusun dengan kayu tak berseni, kardus mie instan yang layaknya sudah dijual kiloan, triplek lapuk yang mereka sulap sebagai pintu depan. Ingin rasanya kupulang dan menangis. Merenungi akan nikmat Allah yang selalu kudustakan selama ini. Manusia macam apa aku ini! 

Anak-anak hanya makan dengan nasi dan kecap yang berlandas piring plastik yang tak diketahui lagi warna dasarnya. Miris rasanya. Apa sudah tak ada keadilan dan kesejahteraan di negeri ini, tak ada lagikah orang cerdas di negara ini yang mempedulikan mereka. Apakah perut buncit para penguasa menghalangi mereka melihat penderitaan kami yang ada dibawah. Menunduklah! Aku muak dengan kata manismu. Aku muntah mendengar sanjunganmu, aku diare dengan debatmu yang selalu mengatasnamakan rakyat. 

Satu hal yang selalu aku ingat dari sikap mereka. Memulyakan tetangga. Jika ada tetangga yang tak dapat rezeki, mereka selalu menbantu. Ada yang ngasih nasi, sayur, dan lauk-pauk yang sebenarnya mereka sendiri pun kekurangan. Jika ada yang sakit, mereka berbondong-bondong menjenguk tanpa pamrih apa pun walau tanpa memberikan apa pun. Aku yakin mereka sangat minim sekali akan ajaran agama, tak seperti ibu-ibu perumahan yang selalu mengadakan arisan pengajian tiap bulan. Namun, mereka lebih sanggup mengaplikasikan ajaran Rasulullah daripada aku dan ibu-ibu arisan. 

“San, ente yakin ini rumahnya” 

“Insya Allah Rul. Aku dah tanya rumah di depan tadi” 

Ritme langkah kupercepat menuju rumah kecil itu, rumah dengan halaman yang dihiasi berbagai jenis gulma. Tak terawat. kuyakin ini rumahnya kepala preman itu. 

“Assalamualaikum”, kuketok pertahanan rumah itu. Tak berselang lama, dari kejauhan ada yang menyahut. 

“Walaikumsalam”. Dari suaranya kuketahui itu bukan Bang Mamat. 

“Masuk Bang!”, lanjut seorang anak kecil mempersilakan kami masuk. 

Diakan Bogil, pengamen sebelas tahun yang setiap hari menemani kami saat masih penelitian. Bocah yang periang tetapi dalam keperiangannya memendam sejuta perih yang sangat dalam. Dia harus menghidupi ibu dan menyekolahkan kedua adiknya pascakepergian ayahnya yang kabur dengan wanita lain dua tahun yang lalu. 

“Gil. Ini rumah barunya Bang Mamat kan? Bang mamatnya mana?”, kataku. 

“Masuk Bang!”, singkatnya yang terlihat ketakutan, dan mengajakku pada satu kamar. Wajah polosnya seolah memberitahukan kepadaku bahwa ada masalah besar dalam rumah ini. 

“Dua minggu yang lalu Bang Mamat dikeroyok sama preman sebelah, Bang.”, ujar Bogil lebih ketakutan dan kali ini Bogil menangis ala bocah seumurannya. 

Aku dan Irul pun mendekat. Tampak memar di seluruh tubuhnya, terlihat mongering, mungkin karena panas tubuhnya yang tinggi. Badannya seolah kaku seperti pohon jati. Tangannya seakan menjadi dahan pohon mahoni. KAKU! Terlihat ada bekas bacokan di kaki kirinya. 

“Gil. Dah kamu dipriksain ke puskesmas?”, Tanya Irul, dia masih merengek. 

“Pukermas. Apaan itu Bang Rul”, jawabnya yang menbuatku menahan tawa. 

“Bogil. Bang Mamat dah dipriksain ke dokter?”, ujarku menerangkan. 

“Nggak Bang, Bang Mat nggak mau!”, jawabnya yang masih meneruskan tangisnya. 

“Bang, Bang Mamat, Bang!”, Irul mencoba membangunkan tubuh kekar yang berbaring di kasur tua itu. 

“Ape….. rame amat lu pada!”, kali ini bentakannya tak sekeras saat pertama kali kami bertemu. Kukira dia pingsan, ternyata tidur. 

“Bang Mamat dah parah, San. kite harus bawa dia ke rumah sakit sekarang!”, Irul menatapku serius. 

“RSUD tak seberapa jauh dari sini, Rul. Kita bawa saja kesana”, yakinku. 

*****

Arif Setiyanto

Previous : [Cembung] Muhammad Daffa Al-Fatih (Bag.1)

Ikuti PenaAksi[dot]Com di twitter dan gabunglah bersama kami di facebook untuk mendukung gerakan "Saatnya Mahasiswa Menulis"
Post ADS 1
Banner
Banner