Mencoba Semalam Tinggal di Kampung Tertinggal


Kami menjejakkan langkah pertama di Kampung Cibuyutan sekitar jam sembilan pagi pada Sabtu, 24 Desember 2011, usai menempuh enam jam perjalanan Rawamangun – Cibuyutan, tiga jam perjalanan diantaranya Kami tempuh dengan jalan kaki. Sekilas hampir serupa dengan Desa lain di hampir seluruh pelosok nusantara, dengan tipe rumah yang sederhana dan jalanan yang apa adanya. Setelah merapikan beberapa bawaan Kami di rumah Ketua Rukun Tetangga setempat, Kami berkunjung ke sekolah yang ada di sana.


Menyedihkan, hanya ada satu sekolah yaitu MI Miftahussolah dengan kondisi bangunan yang seharusnya disebut kandang sapi. Bangunan berlantai tanah dengan dinding bilik dan atap yang ala kadarnya, satu bangunan yang dipergunakan untuk kegiatan belajar – mengajar enam kelas. Matahari menyembulkan sinarnya lewat sela – sela bilik dan air hujan bisa kapan saja mengguyur atau bahkan bila hujan disertai angin, atap sekolah bisa terombang – ambing. Keadaan yang benar – benar mengundang iba.

Tertinggal dan sedikit terabaikan

Kampung Cibuyutan terletak di antara lereng Gunung Lingga dan Gunung Sungging, Kecamatan Sukarasa, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Keletihan yang Kami hadapi dalam menempuh perjalanan kaki dengan trek yang terjal sedikit terobati kenampakan alam yang luar biasa. Sawah terhampar luas di kanan – kiri jalan, sawah yang merupakan pendapatan utama bagi warga kampung. Trek yang tidak menguntungkan ini sekiranya menjadi salah satu faktor terisolasinya Kampung dari uluran tangan pemerintah.

Ada lebih dari 70 kepala keluarga di Kampung ini, dengan sedikitnya tiga orang anak tiap keluarga. Berdasarkan data yang Kami peroleh siang hingga sore hari Sabtu lalu, tidak sedikit pengantin baru dengan usia yang relatif muda. Teh Siti, salah satu gadis berusia 17 tahun yang menikah setahun silam mengaku bahwa di Kampung Cibuyutan ini, anak perempuan yang sudah lulus SD atau sudah menginjak usia 12 – 13 tahun memang wajar bila sudah dinikahkan. Sebuah alasan klise terungkap yakni, untuk mengurangi beban orang tua.

Malam hari di Kampung ini lumayan tenang, terlebih menenangkan mata Kami yang terbiasa dengan lampu jalan raya Ibukota yang tiada sekalipun padam. Tidak ada listrik di Cibuyutan. Hanya beberapa keluarga yang memiliki Genset dengan 1 liter solar untuk 2 jam penerangan. Menurut keterangan seorang warga, ketiadaan listrik di Kampung ini karena jarak Kampung dengan Desa sebelumnya yang sudah dapat listrik sangat jauh, sehingga disinyalir PLN tidak mau rugi dengan membuat tiang listrik yang tentunya tidak sedikit. Belum lagi masalah sarana jalan yang sangat memprihatinkan dan juga cukup beresiko.

Ada satu kebiasaan anak – anak Kampung Cibuyutan yang dirasa cukup menggerus ulu hati Kami. Bila malam datang, mereka seringkali menuju sebuah bukit di Kampung ini dan ‘menikmati’ tebaran lampu Kota Bogor dari atas. “Kapan ya Kampung kita seperti itu?” gumam seorang anak sembari tersenyum terpesona. Jelaslah ini kenyataan pedih, sangat pedih. Bahkan nyatanya Kampung ini memang sangat jauh tertinggal, padahal letaknya sangat tidak jauh dari Ibu kota.

Sekolah seperti ‘Laskar Pelangi’ tidak hanya ada di pelosok Belitong

Kami menyelesaikan beberapa tugas yang sudah terbagi – bagi di hari Sabtu. Ada Tim Air yang membuat saluran air, Tim Lembaga Dakwah Kampung yang sedikit merapihkan satu – satunya musola di Kampung ini dan juga mengadakan pengajian di malam harinya, Tim Pemberdayaan Warga yang melakukan sensus, Tim Pemberdayaan Anak yang bermain bersama anak – anak dan memberi motivasi juga Tim Renovasi Sekolah yang sedikit ‘memperindah’ sekolah.

Sekolah di Kampung ini hanya ada satu. Satu Sekolah dasar, MI Miftahussolah. Jangan bayangkan gedung sekolah seperti di Ibukota. Tidak ada pendingin ruangan, tidak ada loker, tidak ada whitescreen atau projector. Tentu ingat dengan Laskar Pelangi, bukan? Film yang mengisahkan perjalanan sepuluh anak Belitong yang semangat mengejar mimpi. Coba diingat – ingat SD Muhammadiyah yang ada di film tersebut. Menyedihkan, bukan? MI Miftahussolah lebih menyedihkan lagi.

Kami  jelas ingin menangis ketika melihatnya. Ini jelas tidak layak disebut gedung sekolah. Mana letak gedungnya? Ini hanya berupa bilik beralas tanah yang sekali hujan tentu bocor. Luas yang hanya sebesar Saung Ungu FMIPA UNJ dipakai  untuk belajar 6 kelas. Tanpa sekat pemisah. Terbayangkan?

“Sekolahnya bagus kok, masih untung bisa belajar,” jawaban dari Ridho – alumni MI Miftahussolah yang kini kelas 1 SMP – ketika Kami mintai pendapat perihal sekolahnya. Ridho adalah salah satu dari 3 orang siswa pertama MI Miftahussolah yang melanjutkan studi ke jenjang berikutnya setelah 21 tahun lebih sekolah ini berdiri. Dua anak yang lain, Mislah dan Harun juga rela merantau ke Kampung lain demi mengejar cita – cita.

Hanya ada 3 orang guru yang mengajar di MI Miftahussolah. Pak Mislah adalah guru tetap yang 21 tahun bertahan sementara 2 guru lain seringkali mengalami pergantian orang. Karena luas sekolah yang tidak seberapa untuk menjadi sarana belajar 6 kelas setiap harinya, kegiatan belajar – mengajar dibagi menjadi pagi dan siang.

Jangan biarkan abadi

Sebagian besar masyarakat Kampung Cibuyutan masih kesulitan untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Untungnya tidak sedikit dari Kami yang lumayan fasih berbahasa sunda, bahasa keseharian di sini.
Rerata warga Kampung sangat mengharapkan masuknya listrik di wilayah mereka. Juga adanya perbaikan jalan serta pembangunan gedung sekolah.

Telah banyak media massa yang berkunjung ke Kampung ini, bahkan adapula dari negara tetangga, Malaysia. Namun selalu, kedatangan media – media ini seolah hanya foto sana – sini lalu esoknya tiada kabar lagi. Seolah, keberadaan Kampung ini memang hanya untuk diabadikan dalam rekaman foto atau parahnya, pemerintah memang sengaja ‘mengabadikan’ keberadaan Kampung ini dengan segala pahit getir kondisinya. Entahlah.


Ikuti PenaAksi[dot]Com di twitter dan gabunglah bersama kami di facebook untuk mendukung gerakan "Saatnya Mahasiswa Menulis"

yang ingin ikut membangun kampung cibuyutan bisa hub akun FB di bawah ini

Post ADS 1
Banner
Banner