Seindah Ukhuwah #2

“ Akh Zen. Gimana walimatul ente”, faiz terbata-bata bicara. Keadaanya memang belum seratus persen sembuh. 

“ane belum kepikirkan, akh!” 

“kenapa, Zen?” 

Aku hanya diam. Aku tak akan katakan bahwa aku belum mau membahas dulu proses khitbahku. Aku ingin selalu menemanimu, Iz. Aku ingin menghabiskan waktuku di kursi dekat tempat berbaringmu sekarang. Yaa, yang aku duduki sekarang ini adalah tempat dudukku akhir-akhir ini. 

Mana mungkin aku membahas hal yang bahagia, dimana saudaraku berjuang melawan sakit yang dideritanya. Mana mungkin aku tersenyum dan tertawa, dimana saudaraku ditangisi oleh semua orang karena sudah sebulan tak lekas siuman. Dan mana mungkin aku melihat bidadari cantik yang berhias, dimana aku selalu tak tega melihat balutan putih yang menghiasi hampir di seluruh tubuhmu seperti mummi. 

Sebulan ini kumatikan handphone-ku. Aku tak mau mengangkat telpon dari siapapun, tak terkecuali Ustadz Mustaqim. Aku tak ingin diganggu dalam menunggumu. Aku ingin, ketika kau sadar, akulah yang ada dihadapanmu. 

“em….. walimahan ane, lancer-lancar aja, Akh!”, jawabku ragu. Aku memang tak berbakat untuk berbohong. Apalagi dengan Saudaraku sendiri. Namun, kali ini kucoba. 

“Zen, maafin aku, ya….”, Faiz memegang tanganku. Dingin. Kulihat air mata ketulusan yang bening mengalir di pipinya yang putih. 

“iya Iz. Lupakan! Karena Aku sudah melupakannya”, kuseka tangisannya dengan tangan telanjang. Mana mungkin aku bisa marah denganmu Iz. Saudara macam apa aku ini jika aku sampai marah hanya karena kesalahpahaman kecil. 

Yaa, Faiz memang mulai membaik dari luka kecelakaanya. Namun sekarang penyakit kanker otak yang dideritanya sangat parah. Keluarganya pun tak mengetahui sebelumnya. Apalagi aku. Namun, sebenarnya aku melihat tanda-tanda itu sejak kulihat Faiz sering sakit kepala saat SMA dulu, aku tak mau suuzan. 

Dia akan di operasi hari ini juga! Yang membuatku sedih, dia tak tahu kalau dia akan menjalani operasi ini, karena dokter mengatakan bahwa dia dioperasi hanya untuk menyembuhkan kakinya yang patah. Faiz, berjuanglah. Harapan itu akan selalu ada! 

Jam jenguk telah habis. Itu berarti hal terbesar dalam hidup FAiz akan segera dimulai. Berat rasanya meninggalkannya berjuang sendirian. Teringat saat SMA dulu, ketika Faiz menjadi ketua pelaksana bedah buku di Forum Aktivis kerohanian islam. Dan kala itu sedang musim ujian harian. Otomatis tak ada satupun anggota yang menemaninya bertukar pikiran. Dan disitulah takdir Allah dituliskan. Aku ditakdirkan untuk menemaninya. Kami saling berfikir memikirkan semuanya, dari perizinan tempat, narasumber, dan dana. Kami pun terpaksa jalan kaki untuk mencari donator disetiap sudut toko-toko Karena acara tinggal beberapa hari lagi. Disitulah tali ukhuwah kami dirakit kuat, hingga sekarang. 

Sebelum keluar, kulihat wajahnya dari balik kaca pintu. Dia terlihat pucat dan kurus. Kau terlalu banyak hidup di alam mimpi daripada di alam nyata, Iz. Sadarlah dari mimpi panjang nan melelahkan ini. Aku mencintai, aku merindukanmu Atas Asma Allah. 

“Assalamualaikum”, hadir Zaky dengan senangnya. 

“walaikumsalam. Akhi! Apa kabar? Kemana aja?”, wajahku kubuat-buat gembira, tak mungkin aku bermuka masam di hadapan saudaraku. 

Yaa, Zaky tak tahu jika hari ini Faiz menderinya kanker otak. Yang dia tahu Faiz sudah membaik dalam tragedi itu. 

“wah. Makin gemuk aja kelihatannya!”, timpalku. 

“ah, Mas Zen bisa aja. saya kemarin ada penelitian di Jakarta, Mas. Jadi ya, jarang kelihatan di bumi Solo.”, jawabnya 

“Oh, iya. saya mau ngasih ini. Di usahain Mas Faiz diajak juga ya, Mas!”, sambungnya sembari menyodorkan dua buah undangan. 

“ wah. Walimahan nih. Insya Allah ane dan Faiz dateng!”, ujarku. 

“yah, jam jenguknya dah habis ya, Mas?”, tanyanya, menilik jam tangan miliknya 

“iya. baru aja sekitar lima menit yang lalu”, jawabku singkat 

“Yaudah deh mas. Saya duluan. Sebenarnya saya mau sekalian jenguk Mas Faiz. Tapi ya, karena jam besuk habis. Salam aja buat Mas Faiz ya, Mas?”, ujarnya, menjabat tanganku. 

“oke! Nanti saya sampaikan salamnya”, kataku. 

Zaky meninggalkanku dan kursi yang didudukinya. Kurapikan muka dan kacamata minusku. Wah, undangan pernikahan! Yaa, semoga Faiz bisa dateng bersamaku. Sudah lama kami tak makan bersama di walimahan. 

Kubuka sampul plastiknya. Subhanallah. Bagus sekali desainnya. Pasti mahal ini mencetaknya, gumanku. Undangan pernikahanku nanti gimana, ya. Di saatku membuka undangan, terdengar suara keras yang kuhafal siapa pemilik suaranya, ummi Faiz. 

“FAIZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZZ………………!!!!!’’ 

Aku pun lari tak terkendali kearah suara itu. Pikiranku tak jalan lagi. Ku tinggalkan undangan itu, dan akhirnya jatuh di depanku. Sebelum kutinggalkan, terbaca tak jelas alfabert berlafal ANNISA RASYIDAH. 

Wonogiri, 11 August 2010
oleh : Arif Setyanto
Post ADS 1
Banner
Banner