Blok Mahakam untuk Pertamina: Hentikan Rekayasa Pengambilan Keputusan!

Oleh : Marwan Batubara
Direktur Eksekutif Institute Resourcess Studies (IRESS)

Menteri ESDM Jero Wacik menyatakan di Jakarta (17/7/2013) Pemerintah sedang mempertimbangkan proposal Total yang akan mengalokasikan(!) hak partisipasi Blok Mahakam sebesar 30% kepada Pertamina pada 2017. Total menawarkan masa transisi pengelolaan selama 5 tahun setelah kontrak berakhir pada 2017. IRESS bersama ribuan penandatangan Petisi Blok Mahakam, dengan ini menyatakan menolak dengan tegas proposal tersebut. IRESS meminta kepada Presiden SBY untuk segera memutuskan, bahwa sejak 1 April 2017 Blok Mahakam akan dikelola oleh Pertamina.

IRESS mencatat Total bersama Inpex, sejak 2007 telah puluhan kali mengajukan permintaan perpanjangan kontrak. Permintaan ini lumrah dalam KKS Migas, tetapi juga sekaligus menunjukkan Blok Mahakam masih menyimpan cadangan yang sangat besar. Sebaliknya, sejak 2008 Pertamina pun telah berkali-kali pula meminta dengan hormat kepada Pemerintah untuk mengelola Mahakam! Pertamina pernah menawar saham Total & Inpex secara business to business pada 2010. Pertamina pun telah berulang kali menegaskan kemauan dan kemampuan mengelola 100% Mahakam sejak 2017. Bahkan Menteri BUMN mendukung penuh (2/4/2013) keinginan Pertamina tersebut.

Ternnyata Presiden SBY bergeming, meskipun dua orang menteri kabinetnya, Jero vs Dahlan, berbeda pendapat 180 derajat. IRESS menilai, SBY enggan memihak konstitusi dan kepentingan rakyat sesuai permintaan Pertamina dan Menteri BUMN. Ada apa dengan Presiden SBY yang seolah-olah terus bersembunyi, dikesankan tidak terlibat kisruh Blok Mahakam, tetapi tersirat justru cenderung mendukung Jero Wacik yang memihak asing?

Seandainya pun Pertamina menyatakan tidak mau dan tidak mampu, IRESS bersama Petitor Blok Mahakam pasti meminta Pertamina untuk mengelola blok tersebut. Sikap ini konstitusional dan pilihan yang paling menguntungkan bagi rakyat Indonesia. Sikap yang sama seharusnya ditunjukkan oleh SBY dan Jero Wacik: bahwa seandainya pun Pertamina menyatakan tidak mampu, justru sebagai kepala negara dan Menteri ESDM, SBY dan Jero Wacik harus memerintahkan dan mendukung agar Pertamina mampu mengelola Mahakam!

Sejak 2012 Jero Wacik terus mencari alasan untuk menghadang Pertamina, tetapi sekaligus berupaya “memuaskan hasrat” Total dan Inpex untuk tetap bercokol di Mahakam. Sikap ini terlihat dari “peringatan” kepada Dirut Pertamina untuk tidak meminta mengelola Mahakam, sambil mengatakan Pertamina tidak akan mampu dan dapat bangkrut jika bersikukuh. Saat itu Jero mengatakan Pemerintah telah berhitung secara rasional untuk kembali menyerahkan Blok Mahakam kepada Total dan Inpex (12/10/2012).

Karena adanya gerakan Petisi Mahakam, dukungan Menteri BUMN pada Pertamina dan dilaporkannya Jero Wacik, Susilo Wiroutomo dan Profesor Rudi Rubiandini oleh IRESS ke KPK (13/2/2013), sikap Jero sedikit berubah. Namun ternyata rakyat tetap perlu waspada. Faktanya, pada 10 April 2013 Jero menyatakan ingin menunda keputusan kontrak Mahakam sampai terpilihnya Presiden RI pada 2014. Namun Jero masih saja membuka kemungkinan dimenangkannya Total dan Inpex dengan mengatakan: "Kalau semua kondusif ya kita akan diputuskan". Kondusif bagi siapa dan untuk siapa?

Sejalan dengan sikap Jero Wacik di atas, sejak April-Mei 2013, oknum-oknum KESDM, SKK, Total, Inpex dan para pendukung meneruskan kampanye. Dikatakan bahwa sejak 2017 Blok Mahakam perlu dikelola bersama oleh Total, Inpex dan Pertamina, dan Total harus bertindak sebagai operator selama 5 tahun pertama. Kampanye ini didukung dengan isu bahwa masa transisi diperlukan, Pertamina tidak mampu secara teknis, SDM dan manajemen tidak profesional, gagal mengelola Blok West Madura Offshore dan Offshor North West Java, dsb.

Sebagaimana layaknya sebuah orkestra yang solid, apa yang telah dikampanyekan sejak April-Mei 2013 kembali digaungkan oleh Total. VP Total Asia Pasifik, Jean-Marie Guillermou (11/7/2013) menawarkan masa transisi 5 tahun sejak 2017 kepada Jero Wacik, sambil menebar informasi “seram” bahwa laju penurunan produksi perlu ditahan dengan 10.000 intervensi pada sumur-sumur dan pengeboran 100 sumur baru per tahun. Jean-Marie menyatakan Total akan berinvestasi sebesar US$ 7,3 miliar asal keputusan segera dilakukan. Dengan pernyataan ini, mungkin saja upacara penyerahan akan segera berlangsung...

Jean-Marie pun menyatakan pengelolaan Blok Mahakam padat modal dan sarat teknologi tinggi, membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan profesionalitas dalam industri migas, sebagaimana dilakukan Total. Jean-Marie sedang mengkampanyekan kehebatan Total sekaligus menyiratkan ketidakmampuan Pertamina. Sebagai anak bangsa, kita mestinya terpanggil untuk melakukan pembelaan. Bahkan seandainya pun pernyataan itu benar, kita pantas terusik, sekaligus berusaha sekuat tenaga menunjukkan bahwa: BUMN Kita Mampu!

Orkestra yang dimainkan bersama oleh oknum-oknum KESDM dan SKK, serta Total dan para pendukung tampaknya akan terus berlanjut sambil mengulur waktu. Isu-isu akan terus ditebar berupa perlunya menjaga lifting migas dan penerimaan APBN, keharusan memenuhi kewajiban pengiriman gas dan besarnya investasi. Hal ini kelak akan menjadi “perangkap”, sekaligus sebagai “kondisi kritis yang memaksa” untuk mengambil keputusan: “Jika kontrak dengan Total & Inpex tidak diperpanjang, maka penerimaan APBN berkurang! Indonesia didenda karena gagal memenuhi kontrak gas...”. Tampaknya penyerahan kepada asing sudah di depan mata. Biasanya akan dipilih hari Jumat dan menjelang periode libur panjang...

Rekayasa dan niat buruk asing dan para oknum pemain orkestra di atas harus dihentikan. Tujuan pemain orkestra ini jelas untuk mengkondisikan agar rakyat akhirnya dipaksa menerima tetap berkuasanya Total di Mahakam. IRESS mengingatkan agar oknum-oknum Pemerintah berhenti mengakali rakyat dengan perangkap dan rekayasa kondisi kritis. Sejalan itu, Presiden SBY pun diminta untuk segera, pada bulan Juli 2013 ini, menerbitkan Perpres yang menetapkan bahwa sejak April 2017, operator Blok Mahakam adalah Pertamina.

Dramatisasi situasi dan rekayasa kondisi menjelang keputusan kontrak SDA bukanlah hal baru. Beberapa alasan yang sering digunakan “menjustifikasi keputusan” biasanya dikaitkan dengan lifting, penerimaan APBN, iklim investasi, nilai investasi atau gugatan arbitrase. Pada saat akan menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon Maret 2006, dalih yang dipakai antara lain gugatan arbitrase dan mendesaknya peningkatkan lifting demi penerimaan APBN. Jika dikelola Exxon, Blok Cepu akan berproduksi 165.000 barel per hari (bph) pada 2010 dan APBN tertolong.

Ternyata hingga sekarang, produksi Blok Cepu masih berkisar pada angka 25.000 bph. Terbukti pula, penerimaan APBN pun tidak terganggu karena gagalnya produksi 165.000 bph. Satu hal yang pasti, dramatisasi dan pengkondisian berhasil baik dan agenda Exxon berjalan mulus. Namun, keputusan tersebut telah meninggalkan luka yang mendalam: perusahaan milik rakyat menjadi pecundang di negeri sendiri. Dirutnya pun, Widya Purnama, dipecat karena terus berupaya agar Blok Cepu dikelola Pertamina.

IRESS menganggap keputusan harus segera diambil untuk memberikan kepastian bagi kontraktor, baik Total dan Inpex maupun Pertamina. Perlunya kecepatan keputusan juga sangat difahami oleh KESDM dan SKK Migas. Namun meskipun sangat faham, Pemerintah masih mengulur waktu. Sekretaris SKK Migas, Gde Pradnyana mengatakan (8/7/2013) seharusnya Pemerintah sudah memutuskan kontrak sejak 2012 lalu, sehingga “ada proses transisi yang dilakukan operator disana”. Jika memang 2012 sudah dianggap terlambat, mengapa pula sekarang keputusan masih ditunda-tunda?

Ternyata masalahnya ada pada isi keputusan. Pada 2012 IRESS melihat KESDM sangat yakin memberi perpanjangan kepada Total. Namun karena ada arus besar perlawanan masyarakat yang mendukung BUMN sesuai UUD 1945, yang disebut oleh Gde Pradnyana sebagai “banyak aspirasi yang masuk”, maka KESDM menunda keputusan, “sampai kondisi menjadi kondusif”, seperti kata Jero Wacik. Gde perlu menyadari bahwa yang diperjuangkan masyarakat adalah hak konstitusionalnya. Selain itu, IRESS ingin mengingatkan Jero bahwa kondisi akan sangat kondusif jika Blok Mahakam dikuasai negara melalui BUMN!

Total menyatakan (11/7/2013) bersedia mengalokasikan(!) 30% saham pada Pertamina sejak 2017. Sebelumnya pada 18 Januari 2013 Total mengatur-atur pembagian saham dengan komposisi: Total dan Inpex menguasai 66%, sedang Pertamina 34%. Siapa sebenarnya yang berkuasa mengambil keputusan? Apakah Total tidak sadar kalau Indonesia negara berdaulat? Mungkin saja ada oknum Pemerintah bermental terjajah, korup dan bersedia berkompromi, sehingga negara kita dianggap tidak berdaulat. Tetapi Total perlu mencatat bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang akan melakukan perlawanan jika korupsi terjadi dan haknya dirampas.

Pada kesempatan ini, IRESS kembali meminta KPK untuk memantau dengan cermat apa yang terjadi dalam proses perpanjangan kontrak ini. Sebagaimana komitmen pimpinan KPK yang menyatakan (Juni 2013) akan fokus mencegah dan menangani kasus-kasus korupsi sektor SDA, maka sekaranglah saatnya untuk bekerja. Sesuai MOU KPK-BP Migas/SKK Migas 14 November 2011, KPK diingatkan untuk lebih proaktif memastikan bahwa keputusan kontrak Mahakam adalah memihak rakyat dan bebas KKN.

IRESS kembali mengulang permintaan kepada Presiden SBY untuk segera menerbitkan Perpres bahwa sejak 2017 Blok Mahakam dikelola oleh Pertamina. Permintaan ini sangat rasional, konstitusional, bermatrabat, pro-rakyat dan sesuai kepentingan bangsa. Sehingga keputusan SEBENARNYA sangat gamblang dan gampang diambil. Keputusan menjadi sulit dan lambat jika pengambil keputusan terpengaruh oleh oknum-oknum pejabat korup, pemburu rente, hipokrit, bermental terjajah dan komprador serta pemburu dana segar untuk Pemilu 2014. Kepada para mahasiswa, pemuda, ormas, tokoh masyarakat dan siapapun yang peduli menjaga martabat bangsa dan nasib rakyat, kami minta untuk bergabung bersama IRESS dan Petisi Blok Mahakam untuk menyuarakan tuntutan ini. []
Post ADS 1
Banner
Banner