Nazaruddin dan Pencarian Jati Diri Bangsa


Majalah TEMPO terbitan 17 Juni 2013 menurunkan laporan utama mengenai kiprah Nazaruddin –terpidana tujuh tahun perkara suap Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang. Majalah yang pernah dibredel dua kali pada masa Orde baru karena keberaniannya dalam pemberitaan tersebut menyebut Nazaruddin sebagai Super Napi. Sebutan yang merujuk kecerdikan Nazaruddin mengatur bisnis ilegal dari balik jeruji.
Menurut para saksi, Nazaruddin kerap menggelar rapat bersama 10-15 anak buahnya di kompleks penjara. Memang tidak terdapat klausul yang melarang tahanan untuk menggelar rapat atau menandatangani surat kerjasama perusahaan, namun pertemuan dengan tamu harus diadakan di ruang tamu penjara pada jam besuk.Nazaruddin, entah bagaimana caranya, saat ditahan di Rumah Tahanan Cipinang diberi hak untuk menghelat rapat di ruang konsultasi di lantai 2 melampau jam besuk. Rapat tersebut mengatur segala alur kerja mulai dari pendirian perusahaan baru hingga lobi ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Keleluasaan dalam menggelar rapat sudah ia dapatkan sejak ditahan di Markas Komando Brigade Mobil Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Privilese tersebut terus ia dapatkan setelah dipindahkan ke Rumah Tahanan Cipinang sebelum kembali dipindahkan ke Penjara khusus koruptor di Sukamiskin, Bandung.Keistimewaan yang diperoleh mantan bendahara umum Partai Demokrat itu juga berupa hak mengoperasikan gadget–hal yang dilarang di penjara. Melalui perangkat tersebut, tentu lebih mudah bagi Nazar untuk berkomunikasi ke anak buahnya. Bahkan ada kabar Nazar kerap menggunakannya untuk bermain saham.

Melalui jaringan yang telah ia bangun sebelum ditangkap di Cartagena, Kolumbia pada 7 Agustus 2011, ia makin memperluas “bisnis”-nya hingga nominal yang mampu membantu mengurangi kemsikinan apabila dialokasikan pada program pemerintah. Dengan sistem yang rapi, Nazaruddin dan jaringannya tetap produktif dengan membangun dua puluh delapan perusahaan baruselama Nazaruddin berbaju tahanan. Perusahaan-perusahaan yang didaftarkan atas nama anak buahnya tersebut memiliki akta perusahaan dan kantor. Nazaruddin memerlukan banyak perusahaan untuk mengamankan tender yang tersebar di berbagai proyek pemerintah. Seperti pada kasus pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Murjani, Sampit, Kalimantan Tengah. Proyek tersebut dimenangi PT Sanjico Abadi, dengan cadangan pertama PT Bina Inti Sejahtera dan cadangan kedua PT Rajawali Kencana Abadi, ketiganya perusahaan milik Nazaruddin.

Kebaikan yang tidak terorganisir akan kalah dengan kejahatan yang terorganisir, sebuah pepatah dari sahabat Nabi Ali bin Abi Thalib yang kini dipraksiskan oleh Nazaruddin kepada publik Indonesia. Tentunya kejahatan luar biasa yang dilakukan Nazaruddin tidak akan terjadi tanpa sikap permisif oknum-oknum yang memiliki kepentingan. Sudah bukan rahasia lagi kalau hotel rodeo mampu menwarkan segala fasilitas yang dibutuhkan napi. Dengan dana hasil mencuri uang rakyat yang mereka peroleh sebelum ditangkap, banyak tahanan membeli segala faslitas layaknya hotel yang kini diperjualbelikan selama masa tahanan.

Mulai dari keluar rutan tanpa perizinan resmi untuk pelesiran, layanan bak salon di dalam rutan, pemberian hak mengoperasikan aneka gadget, hingga seperti yang diberikan kepada Nazaruddin: menempati kamar sel sendirian yang seharusnya untuk dua orang. Bahkan dalam beberapa kasus, penjaga dan sipir penjara terlihat seolah-olah melindungi para terhukum. Belum lagi orang suruhannya yang menjadi mafia anggaran. Anak buahnya yang bermain di parlemen untuk bertugas mengatur anggaran melalui anggota DPR. Kiprah mereka pun telah menyeret banyak nama-nama wakil rakyat yang akhir-akhir ini kerap muncul di media. Layaknya fenomena gunung es, kasus tersebut belum termasuk yang tidak tersorot media.

Banyak kasus-kasus kelas berat yang membutuhkan kerja rapi untuk menghindari jeratan hukum dan kerjasama dengan berbagai pihak dalam pemerintah untuk memuluskan pencurian uang negara. Salah satunya pada kasus anggaran wisma atlet yang anggarannya ditentukan anggota DPR. Hal tersebut tidak akan terjadi apabila para wakil rakyat bekerja sebagai wakil rakyat yang sebenar-benarnya dan menggunakan hati nurani dalam mengabdi pada negara. Kasus-kasus korupsi pajak juga tidak akan terjadi apabila para pengusaha mau jujur membayar pajak tanpa negosiasi ilegal dengan pegawai pajak yang praktiknya telah sangat merugikan negara.

Kasus Nazaruddin hanya noktah yang membentuk garis hitam yang telah mencoreng wajah ibu pertiwi. Bila dulu rakyat Indonesia bersatu untuk bekerja sama melawan penjajah yang berasal dari lain bangsa, kini sebagian dari bangsa Indonesia harus menegakkan keadilan yang dirusak oleh sebagian lain saudaranya. Negeri kita dijajah oleh bangsa sendiri, pegawainya mencuri dari lembaga yang memberinya makan, orang-orangnya memperkaya diri di atas penderitaan saudara sebangsa dan setanah airnya sendiri, pemerintahnya membancak anggaran yang dialokasikan untuk program yang akan menyejahterakan bangsanya sendiri.

Bangsa ini seperti mengalami degradasi moral kolektif. Perjuangan para pejuang pra dan saat kemerdekaan demi membebaskan bangsa dari kesewenang-wenangan para penjajah kini digantikan perjuangan para anak bangsa mencuri harta dan sumber daya Indonesia. Militansi melakukan tugas negara dengan sebaik-baiknya bereinkarnasi menjadi ketamakan para politisi mencuri uang negara dengan berbagai cara.Prinsip “Merdeka atau Mati” yang dipegang teguh generasi terdahulu kini menjadi absurd dalam alam pemerintahan pascareformasi yang dipenuhi polah bejat wakil rakyat. Kesatuan bangsa yang diikrarkan pemuda-pemudi seluruh Indonesia pada Sumpah Pemuda 1928 diinjak-injak oleh tingginya ego primordial sempit yang mudah terprovokasi.

Bangsa kita sempat disiram keteduhan persatuan ketika beberapa waktu lampau, lagu dan kesenian Indonesia diklaim oleh bangsa lain. Meski asap tak pernah muncul tanpa api. Tingkah negara lain mengklaim budaya Indonesia bukan tanpa sebab dari bangsa pemiliknya yang tidak merawat dan menjaganya, kalau tidak dikatakan mulai melupakannya. Namun karena hal tersebut, seluruh elemen masyarakat terdongkrak nasionalismenya dan merasa terpanggil untuk ikut dalam gerakan-gerakan yang mengklaim kembali kekayaan budaya Indonesia yang telah dicuri.

Atau momen ketika Indonesia terlibat dalam turnamen olahraga akbar, lazimnya dalam bidang sepakbola atau bulutangkis. Selama perhelatan kejuaraan tersebut, masyarakat Indonesia menjadi gemar mengenakan jersey merah putih khas Indonesia.Simbol Garuda yang kerap dilupakan kembali dimaknai dan diagungkan. Beberapa kalangan yang awalnya tidak paham olahraga pun ikut mendukung dan menginginkan Indonesia menang. Mereka saling berlomba menunjukkan nasionalisme sesaat dalam bentuk dukungan kepada pemain Indonesia.

Pengalaman bangsa Indonesia tersebut mencerminkan seolah-olah adanya sebuah kebutuhan akan musuh bersama yang identik dan jelas-jelas melawan atau minimal menjadi rival bangsa Indonesia secara utuh. Musuh bersama tersebut menjadi katalisator yang menjalar ke seluruh elemen bangsa lintas geografis dan demografis. Memunculkan perasaan yang menggugat jiwa nasionalisme bagi siapapun yang lahir, tumbuh, dan memiliki hubungan batin dengan Indonesia. Membentuk aksi nyata secara serentak dan kolektif sebagai bentuk sikap dan dukungan mendukung Indonesia melawan musuh bersama tersebut.

Adanya musuh bersama memunculkan kesadaran kolektif akan identitas sebagai sebuah bangsa. Musuh bersama yang teridentifikasi sebagai sebuah bangsa akan juga mengidentifikasi setiap individu-individu masyarakat Indonesia sebagai warga negara Indonesia yang patut membela dan mempertahankan martabat bangsanya. Momen ketika muncul musuh bersama tersebut akan memperkuat kembali identitas sebagai WNI yang kerap memudar diterpa pengaruh negara-bangsa lain di tengah era globalisasi. Momen tersebut akan menyatukan dan merekatkan kembali bangunan kebangsaaan yang sempat retak diguncang konflik primordialisme sempit.

Begitu pentingnya penyadaran ke masing-masing individu akan identitas mereka sebagai suatu bangsa yang merdeka. Identitas sebuah bangsa yang harus menjaga dan merawat kemerdekaan Indonesia yang diperoleh melalui sejarah pengorbanan panjang, penuh tumpahan keringat, darah, dan air mata. Tanpa adanya identitas sebagai suatu bangsa, misi berbangsa dan bernegara tiap individu akan menjadi bias. Membuat masyarakat lupa akan tujuan dari perjalanan bangsa yang harus dilanjutkan. Sehingga tujuan setiap individu juga akan menjadi sempit dan mengabaikan tujuan bersama.

Orang-orang seperti Muhammad Nazaruddin bukannya bodoh atau kurang berpendidikan. Malah, ia mungkin salah satu putra terbaik bangsa. Namanya dapat bersanding dengan Gayus yang sama rapi dan lihainya dalam mengalirkan uang negara ke kantong pribadi. Namun kecerdikan mereka justru menjadi pisau yang berbalik mengarah ke jantung Ibu Pertiwi. Mengancam hidup segenap masyarakat Indonesia. Menggerogoti kehidupan berbangsa bernegara dari segala dimensi: moral, ekonomi, sosial, politik.

Nazaruddin adalah produk dari sistem pendidikan Indonesia. Tidak ada yang salah dari pendidikan Indonesia. Bahkan, pendidikan Indonesia dapat dikatakan berhasil, sebab telah menghasilkan orang-orang yang cerdas. Namun pendidikan bukan hanya kognitif belaka. Pendidikan juga harus membentuk karakter manusia Indonesia yang dilandasi pemahaman yang baik tentang sejarah negara dan bangsanya. Menegaskan identitas dan karakter sesungguhnya sebuah bangsa yang besar. Bangsa yang dianugerahi alam nan melimpah, serta kekayaan budaya dan bahasa. Bangsa yang mampu bersatu dengan menanggalkan identitas primordialisme sempitnya masing-masing untuk meraih independensinya sendiri.

Rakyat Indonesia butuh momen serupa serbuan Jepang yang mampu memunculkan jati diri sebagai suatu bangsa. Desakan seperti agresi Belanda yang mampu menyatukan manusia Indonesia dari berbagai latar belakang. Peristiwa yang membuat rakyat Indonesia berjuang bersama-sama membawa identitas sebagai individu yang cinta dan mau berkorban demi bumi pertiwi. Bayangkan bila orang-orang seperti Nazaruddin dan Gayus mencurahkan segenap pemikiran, tenaga, dan waktunya untuk memajukan bangsa Indonesia. Niscaya tingkat korupsi akan menurun drastis. Bahkan pemberantasan korupsi hingga ke akarnya di Indonesia bukan lagi sebuah wacana. Tentu, kita berharap bangsa Indonesia tak perlu mengulangi peristiwa buruk di masa lampau untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya.

Artikel yang sedang Anda baca saat ini merupakan salah satu kontribusi karya tulis yang dikirimkan ke redaksi Pena Aksi. Ingin berpartisipasi? Ikuti petunjuknya di sini.
Post ADS 1
Banner
Banner