Penguasa Vs Pemimpin



Oleh: Muhammad Ghufron Mustaqim


Memimpin bisa bersifat antagonistik terhadap menguasai. Menguasai itu kemenangan egoistik, sedangkah memimpin itu hikmah. - Emha Ainun Nadjib
Di berbagai artikel Future Shapers yang saya tulis, topik kepemimpinan begitu mendominasi. Dan memang, semangat dibalik proyek Future Shapers adalah untuk menginspirasi generasi muda Indonesia sehingga bisa lebih percaya diri sebagai pemimpin muda dan mampu menggerakkan masyarakat sekitar kita untuk perubahan ke arah yang lebih baik. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan untuk mengangkat Indonesia tidak hanya sekedar sejajar dengan bangsa-bangsa lain, tetapi menjadikan Indonesia diantara bangsa yang berdiri paling depan di dalam pergaulan internasional—menjadi pemimpin dunia. Saya menulis dua artikel yang khusus membahas tema ini: “RI Memimpin Dunia” dan “Syarat Terpenting Indonesia untuk Menjadi Negara Maju dan Memimpin Dunia.”

Saya menuai beberapa protes dari beberapa teman yang mengatakan bahwa ambisi itu tidak baik, apalagi punya ambisi menjadikan Indonesia pemimpin dunia. Apakah nanti ketika Indonesia menjadi pemimpin dunia juga akan menjadi pemimpin yang baik? Yakinkah kita apabila kita yang memimpin, bangsa-bangsa lain tidak diinjak-injak, dirugikan, dan kita tidak semena-mena terhadap mereka yang ada di bawah kita? Sehingga menurut teman-teman baik saya ini, sebaiknya kita biasa saja, jangan terlalu berambisi seperti itu.  Artikel ini ingin saya manfaatkan untuk bersama-sama dengan Anda mencari jawaban dan kearifan tentang permasalahan ini.

Kebetulan dua hari yang lalu saya  membaca salah satu bab di Buku Slilit Sang Kyai karya Emha Ainun Nadjib yang relevan dengan pembahasan kita ini. Inti dari tulisan tersebut ialah bahwa memimpin itu bukan menguasai. Memimpin bisa bersifat antagonistik terhadap menguasai. Menguasai itu kemenangan egoistik, sedangkah memimpin itu hikmah. Maka kemudian apabila kita mengkontekstualisasikan dengan tema kita di artikel ini, kepemimpinan Indonesia bukan kekuatan atas dunia dan atas apapun di dunia ini. Kepemimpinan kita, tercapai setelah kita mewujudkan idealisme dan nilai-nilai bangsa Indonesia sebagai hikmah kehidupan, sebagai rizqullah untuk semua penduduk bumi, Indonesia sebagai rahmatan lil’alamiin (rahmat bagi semesta alam).

 “Gelar”  kepemimpinan itu, dengan demikian, kita sandang bukan karena kita memiliki kekuatan ekonomi atau militer terbesar di dunia, tetapi karena kita lolos uji: yang tak sakit dengan penindasan (dalam arti yang luas) bangsa-bangsa lain terhadap diri kita dan tidak menyakiti bangsa lain apabila kita pada posisi yang lebih menguntungkan. Dengan lolos ujian tersebut, mencerminkan kita memiliki kedewasaan, kebesaran jiwa, dan kelapangan dada sebagai suatu bangsa yang merupakan syarat utama pemimpin.

Sangat kontras berbeda dengan menjadi penguasa. Menjadi penguasa itu yang paling utama dipikirkan adalah dirinya sendiri. Fokusnya adalah bagaimana dirinya mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari berbagai interaksinya dengan pihak-pihak lain. Bisa saja untuk mencapai hal itu pendholiman, penganiayaan, penindasan, penghisapan, kolonialisasi,  dan subordinasi dilakukan—karena yang penting bukan pihak lain, yang penting adalah dirinya sendiri dan kekuasaannya. Penguasa yang seperti ini, alih-alih memberikan rahmatan lil ‘alamin, ia menyumbang ketidakadilan, kemiskinan, peperangan, penyakit, kekhawatiran, ketakutan, dan kegelisahan kepada dunia. Na’udzubillahi min dzalik, Indonesia tidak akan menjadi seperti ini.

Indonesia akan menjadi pemimpin dunia bukan karena kerakusan, atribut-atribut kekuasaan, dan simbol-simbol keangkuhan. Indonesia akan menjadi pemimpin dunia dengan uswatun hasanah—menjadi teladan atau model kebaikan. Misalnya dengan menjadi contoh bagaimana Indonesia mengangkat kesejahteraan masyarakatnya, bagaimana mengatasi perbedaan dan menjadikan kemajemukan sebagai berkah, bagaimana hidup berdampingan dengan alam, bagaimana menjadikan kebudayaan lokal sebagai falsafah hidup namun juga membuka pengaruh masuknya kebaikan-kebaikan budaya luar, bagaimana memupuk etos kerja  dan produktifitas masyarakatnya tanpa menjadikan tujuan materiil sebagai motivasi utamanya, bagaimana menghadirkan dan mendudukkan Tuhan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan, bagaimana melahirkan pemimpin-pemimpin negeri yang baik dan jujur, bagaimana menyelesaikan masalah korupsi, bagaimana mendidik putra-putri Indonesia sebagai manusia seutuhnya, dsb. Dengan kata lain, Indonesia selayaknya berusaha berperan sebagai contoh keteladanan yang baik bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam setiap sisi kehidupan.

Dan semangat ini bukanlah semangat untuk menggurui bangsa-bangsa lain, bukan semangat yang kemudian membuat kita angkuh dan sombong karena memiliki peradaban mulia sedangkan bangsa-bangsa lain kurang mulia. Bukan pula semangat yang kemudian menghaaruskan kita untuk menggebu-gebu mengekspor idealisme, nilai, dan ideologi kita ke negara-negara lain. Ini adalah semangat fastabiqul khairat, semangat berlomba-lomba dalam kebaikan, yang merupakan manifestasi rasa syukur kita atas nikmat menghuni sebidang tanah surga yang kita namai  Nusantara ini dan menjadi manusia Indonesia dengan karakter unik yang luar biasa. Ini adalah semangat  pengabdian untuk mendermakan sebaik-baiknya hal yang kita miliki untuk kebaikan dan kemuliaan orang lain. Ini adalah semangat ksatria tanpa pamrih yang melakukan kebaikan karena kebaikan itu sendiri, bukan karena proyeksi manfaat atau kalkulasi untung-rugi di masa mendatang.

Memimpin berarti memangku. Bukan memangku jabatan, seorang pemimpin sejati akan tetap bisa berkarya dan melayani dimana saja. Bukan memangku kekayaan, seorang pemimpin sejati sadar bahwa kekayaan sesungguhnya adalah ketika ia bisa menyumbangkan kekayaan yang dititipkan kepadanya untuk mengkayakan orang lain. Bukan pula memangku  kekuatan militer super, karena pemimpin sejati percaya diri bahwa selama ia bisa memenangkan hati dan pikiran kawan-kawannya, tiada perlu ia khawatir ada musuh yang  mengintai dan kalaupun ada ia yakin terlindungi.

Tetapi memangku seperti ibu ngemong anaknya: mencintai dengan sepenuh hati, mendidik dengan kasih sayang, dan berkorban besar untuk memastikan kebaikan untuk anak-anaknya. Memangku seperti bapak ngemong anaknya: bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya, mendidik dengan disiplin, dan menanamkan nilai-nilai luhur-kesatriaan. Memangku seperti kakak mengakrabi adiknya: saling berbagi, bermain bersama, sesekali bertengkar untuk memupuk persaudaraan yang lebih erat, dan bersama-sama menggapai impian. Atau memangku seperti anak dan adik itu sendiri: yang santun, hormat, bertanggung jawab, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan ikhlas melayani.

Dengan konsep ini, segala hal yang dipikirkan, dikatakan, dan ditampilkan oleh pemimpin di atas panggung kepemimpinan semuanya baik, dipenuhi kearifan, kebijaksanaan, dan keagungan nalar, pikir, dan budi. Memang sesekali ada kesalahan, tetapi bukan karena Sang Pemimpin berniat untuk membuat kesalahan yang bisa ia antisipasi, melainkan karena faktor yang diluar kemampuan kontrolnya sebagai seorang manusia (atau negara). Dan kekhwatiran, ketakutan, dan kepercayaan bahwa ketika Indonesia memimpin dunia kita akan bertindak lalim, dzolim, dan membawakan diri secara tinggi hati sama sekali tidak relevan. Karena cita-cita kita bukan menjadikan Indonesia sebagai penguasa dunia, melainkan memimpin dan memangku dunia. Dengan cara seperti ini, insyaAllah Indonesia akan menjadi bangsa wajib: yang kehadirannya sangat dinanti-nantikan dan dibutuhkan sementara ketiadaannya membuat bangsa-bangsa lain merasa kurang dan kehilangan.

Indonesia tidak akan menjadi bangsa besar apabila hanya mengkopi dan mengikuti jalan bangsa-bangsa lain yang berhasil membuat diri mereka besar. Kita tidak bisa meniru Yunani, Romawi, Abbasiyah, Muawiyah, Utsmaniyah, Inggris, Amerika Serikat, China, atau negara manapun di dunia ini yang pernah besar. Indonesia harus menempuh jalan berbeda karena kita memiliki kekhasan, keunikan, dan keluhuran peradaban tersendiri. Dan masyarakat kita dikenal dengan masyarakat yang kuat, sabar, bahagia, memiliki kebesaran jiwa, kelapangan dada, santun, dan gemar membantu. Itulah bekal paling utama kita menempuh perjalanan itu dan kita akan tetap terus mempertahankannya ketika sampai ditujuan nanti.



#FutureShaper adalah program dari Forum for Indonesia yang merupakan edisi tulisan-tulisan tentang kepemimpinan dan manajemen. Edisi ini ditulis untuk menjadi salah satu bahan inspirasi dan diskusi bagi teman-teman yang ingin mengawali petualangan menjadi pemimpin di lingkungan kita masing-masing.

@FutureShaperID | @forumforID | @GhufronMustaqim


Post ADS 1
Banner
Banner