Al-Ghazali dan Peranannya dalam Perbaikan Masyarakat [2]


Oleh: Alwi Alatas
Lanjutan artikel PERTAMA
Wajibnya Menuntut Ilmu
PERAN utama al-Ghazali adalah dalam mengokohkan kembali pilar penting peradaban dan masyarakatnya, yaitu ilmu pengetahuan serta otoritas yang mengembannya (ulama). Dalam kapasitasnya sebagai ulama, ia berusaha mengungkapkan kebenaran dan membersihkannya dari kesalahan, serta menunjukkan mana jalan yang perlu ditempuh dan mana yang perlu dihindari.
Ia menunjukkan kesalahan-kesalahan mendasar pada paham-paham tertentu yang berkembang di dunia Islam, terutama filsafat dan Batiniyah (Syiah Ismailiyah). Ia menulis buku yang mengkritik Batiniyah kurang lebih dua tahun setelah Nizam al-Muluk dibunuh kelompok itu, yaitu pada tahun 487/1094. Tentang ini Dr. Ali M. Sallabi memberikan apresiasinya:
“… hal yang paling menakjubkan adalah keberanian yang ditunjukkan oleh al-Ghazali dalam kampanyenya menentang Batiniyah Ismailiyah, pada masa ketika dai-dai mereka tersebar luas di Persia …. Mereka melancarkan pembunuhan dalam skala luas, menargetkan banyak politisi dan pemikir, terutama Nizam al-Muluk sendiri. Al-Ghazali memulai kampanyenya berdasarkan permintaan dari pemerintah [Khalifah, pen.], sebagai tambahan atas keinginannya sendiri sebagai seorang ulama Sunni untuk menjalankan tugasnya dalam membela Islam yang benar.” [Dr. Ali M. Sallabi, Salah-ad-Deen al-Ayubi, Vol. 1: Crusaders prior to the Rise of the Ayubid State (diterjemahkan oleh Nasiruddin al-Khattab), Riyadh: International Islamic Publishing House, 2010].
Peran penting al-Ghazali lainnya adalah saat ia menunjukkan, dan memulai dengan dirinya sendiri, apa yang seharusnya menjadi orientasi atau tujuan seseorang dalam menuntut ilmu dan mengajar, dan ini juga menjadi tuntutan bagi semua hamba Allah, yaitu keridhaan Allah dan kehidupan akhirat. Al-Ghazali pun akhirnya memilih tasawuf sebagai jalan yang dianggapnya paling baik dalam menuju pada kebenaran dan kepada Allah. Saat memilih jalan sufi dan meninggalkan karirnya yang cemerlang di Baghdad, al-Ghazali memang memperbanyak uzlah serta berupaya membersihkan jiwa dan mendekatkan diri pada Allah. Namun, ia tidak sama sekali meninggalkan aktivitas keilmuan.
Sebagaimana dapat kita baca pada buku yang ditulis oleh ‘Abd al-Qādir ibn Muhammad al-Dimashqi al-Nu’aimī, dalam ‘Al-Dāris fī Tārīkh al-Madāris vol. 1,’ al-Ghazali tetap terlibat dalam aktivitas keilmuan selama berada di Damaskus, secara cukup signifikan, sehingga lokasi tempat majelis itu diadakan di Masjid Jami’ Damaskus dikenal sebagai al-Ghazaliyah. Al-Ghazali juga tetap mengajar dan menulis hingga ke akhir hayatnya, walaupun kini dengan pendekatan sufistik.
Keberpihakan al-Ghazali terhadap tasawuf juga tidak menghalanginya dari sikap kritis terhadap perilaku menyimpang atau tidak tepat di dalamnya. Di dalam bukunya Ayyuha ‘l-Walad, misalnya, ia menulis:
“Wahai anakku, adalah satu keharusan bagimu bahwa kata-kata dan perbuatanmu sejalan dengan hukum Islam, karena pengetahuan dan amal tanpa keselarasan dengan syariah adalah kesesatan. Dan adalah penting bahwa engkau tidak tertipu oleh ungkapan-ungkapan gembira yang berlebihan serta tangisan-tangisan yang keras dari kaum Sufi, karena ditempuhnya jalan ini adalah dengan perjuangan (mujahadah) dan pemutusan dari syahwat yang ada dalam jiwa serta penghancuran nafsu dengan pedang disiplin/ latihan (sayf al-riyāḍah), bukan dengan tangisan-tangisan yang keras dan hal-hal yang berlebihan.
Sebagai seorang ulama, al-Ghazali tidak terasing dari kompetensi dan peranan yang berkaitan dengan negara ataupun sosial kemasyarakatan. Dalam kitab Sejarah Ibn al-Athīr misalnya ada sebuah contoh menarik tentang pentingnya posisi al-Ghazali yang cukup didengar dan dipandang dalam permasalahan kenegaraan. Dikisahkan bahwa saat Sultan Bani Saljuk Malikshah meninggal dunia pada tahun 1092, salah seorang istrinya ingin agar putranya yang baru berumur empat tahun, Mahmud, diangkat menjadi sultan yang baru sebagai pengganti. Khalifah dan juga para emir menyetujui keinginannya itu. Namun Khalifah mensyaratkan bahwa dalam pelaksanaannya urusan administrasi, pajak, dan pengaturan negara secara umum dikendalikan oleh wazir Tajul Muluk, sementara ketentaraan dipegang oleh emir yang lain lagi.
Ibu Mahmud pada awalnya tidak setuju dengan hal ini. Namun setelah al-Ghazali turun tangan dan menyampaikan nasihatnya, ia menerima keputusan itu. Al-Ghazali berkata kepadanya, “Putramu masih muda dan Hukum tidak membolehkannya untuk menjadi penguasa.” Setelah al-Ghazali beralih ke tasawuf, ia memang lebih menjaga jarak dengan pemerintah. Namun, ia tidak meninggalkan peranannya sama sekali dalam menasihati pemimpin negara. Di antara karya-karyanya setelah ia meninggalkan Baghdad, kita menemukan satu karya yang ia buat secara khusus berkaitan dengan ini, yaitu Naṣīḥat al-Mulūk. Sebagaimana judulnya, kitab itu merupakan nasihat untuk pemimpin.
Tarikan al-Ghazali ke arah tasawuf tampaknya begitu kuat sehingga kita menemukan kebanyakan ulama pada generasi berikutnya, dimana Syeikh ‘Abd al-Qadir al-Jilani menjadi salah satu tokoh utamanya, memadukan ilmu dan tasawuf di dalam diri mereka.
Perubahan yang terjadi sejak era al-Ghazali hingga al-Jilani serta sumbangan mereka dalam gerakan perbaikan digambarkan dengan sangat baik di dalam buku yang ditulis oleh Dr. Majid Kirsan al-Kilani. [Dr. Majid ‘Irsan Al-Kilani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib (terjemahan dari Hakadza Zhahara Jil Salah al-Din wa Hakadza ‘Adat al-Quds]

Perpaduan ilmu dan tasawuf tentunya membantu dalam mengurangi fanatisme madzhab yang pada gilirannya membolehkan kalangan Ahlu Sunnah untuk bersatu. Ia juga membantu bagi terbentuknya kesolehan di tengah masyarakat Muslim yang terlihat buahnya yang ranum pada era kepemimpinan Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi di Suriah dan Mesir. Saat membahas tentang Shalahuddin al-Ayyubi, Abdul Rahman Azzam menulis:
“… adalah di Baghdad, satu abad sebelum kelahiran Shalahuddin, … semangat kebangkitan kembali Ahlu Sunnah dilahirkan dan adalah cita-cita yang melekat pada kebangkitan ini, lebih dari apa pun juga, yang mempengaruhi dan membentuk keyakinan dan perbuatan Shalahuddin. Shalahuddin adalah anak kandung Kebangkitan Ahlu Sunnah (Sunni Revival) dan ia adalah seorang anak yang setia dan patuh. Popularitasnya setelah itu, ditambah dengan obsesi Barat dengan Perang Salibnya, cenderung mengaburkan hal yang mendasar bahwa bagi Shalahuddin pemulihan ortodoksi Sunni di dalam lipatan Islam adalah sama pentingnya – bahkan lebih penting – dibandingkan pemulihan kembali Yerusalem.”
Tentu saja al-Ghazali tidak sendirian dalam memicu terjadinya semua itu, tetapi rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kontribusi al-Ghazali merupakan salah satu yang paling utama dalam memperbaiki keadaan masyarakat Muslim pada era itu. Dapat dikatakan bahwa al-Ghazali adalah cermin zamannya yang bukan hanya merefleksikan realitas jalan-jalan yang ada di hadapan, tetapi juga menunjukkan dengan jelas jalan terbaik yang perlu diambil oleh kaum Muslimin.
Pada akhirnya, tentu saja al-Ghazali bukanlah manusia yang tidak memiliki kekurangan. Ada juga kritik-kritik yang diarahkan kepada beliau, terutama berkaitan dengan metode al-Ghazali dalam memilah antara hadis-hadis yang shahih dan tidak di dalam karyanya.
Bukan berarti beliau tidak faham dalam ilmu hadis seperti yang dituduhkan. Imam Ghazali punya guru-guru hadis yg berisnad, namun beliau tidak meriwayatkan hadis. Di akhir hayatnya beliau fokus menelaah ilmu hadis. Hal ini berarti, tuduhan kepada beliau tidaklah sebanding dengan keutamaannya serta tidak boleh menghalangi kita dari mengapresiasi sumbangannya yang sangat besar bagi masyarakat Muslim. Sebenarnya, kalaulah tidak ada Imam al-Ghazali, kita mungkin akan melihat wajah sejarah yang berbeda dengan yang kita ketahui saat ini. Hanya saja, apa yang ditetapkan oleh-Nya telah terjadi dan pasti terjadi. Wallahu a’lam.*
 Penulis adalah ahli sejarah, penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” dan“Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Salib III”. Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari rencana penerbitan buku tentang Imam al-Ghazali yg akan dikeluarkan oleh Ma’had Aly Hujjatul Islam, Depok
sumber; hidayatullah.com
Post ADS 1
Banner
Banner