Menolak Istilah Kiai Khas dan Kiai Kampung


KH Abdullah Faqih

Dulu, kiai-kiai yang sejalan dengan pemikiran dan langkah politik Gus Dur sering disebut-sebut dan dipopulerkan sebagai kiai khas. Meski tidak diketahui persis siapa yang memulai dan memunculkan istilah itu, sebenarnya risi juga mendengar dan menyandang sebutan itu. Sebab, para kiai yang disebut khas tersebut tidak merasa ada yang perlu dilebih-lebihkan menyangkut status atau strata sosial. Meski, keberadaannya mampu dimanfaatkan sebagai justifikasi dan legitimasi kelompok dan kepentingan tertentu.

Belakangan setelah para kiai itu mengambil sikap dan langkah kritis, dimunculkan istilah kiai kampung. Adalah KH Abdurrahman Wahid yang memulai dan memunculkan istilah tersebut. Dalam tulisannya, Hakikat Kiai Kampung (www.gusdur.net), Gus Dur membagi kiai dalam dua kelompok, kiai sepuh dan kiai kampung.

Menurut Gus Dur, kiai sepuh adalah mereka yang menjadi pengasuh pesantren-pesantren besar. Kiai kampung adalah tokoh-tokoh agama di desa-desa yang biasanya menjadi guru ngaji, memiliki surau/langgar/musala, pengurus takmir masjid, atau memiliki pesantren yang kecil.

Sesungguhnya harus dikatakan di sini bahwa penamaan dan pemilahan kiai khas dan kiai kampung sebagaimana dimaksud adalah sangat tidak mendasar dan terkesan mengada-ada. Boleh jadi, itu hanya dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tertentu karena pada hakikatnya, tidak ada istilah kiai khas dan kiai kampung. Jika ada kiai khas, berarti ada kiai awam. Padahal, penyebutan kata khas dan awam itu sebenarnya untuk membedakan antara orang yang pandai (alim) dan orang yang bodoh (awam) dalam hal keagamaan.

Kata kiai itu sebenarnya sinonim dari kata sheikh dalam bahasa Arab. Secara terminologi (istilahi), arti kata sheikh itu sebagaimana disebutkan dalam kitab al Bajuri adalah man balagha rutbatal fadli, yaitu orang-orang yang telah sampai pada derajat keutamaan karena selain pandai (alim) dalam masalah agama (sekalipun tidak allamah atau sangat alim), mereka mengamalkan ilmu itu untuk dirinya sendiri dan mengajarkan kepada murid-muridnya. Penyebutan kiai itu berasal dari inisiatif masyarakat, bukan dari dirinya sendiri atau media massa.

Sementara itu, makna kiai atau sheikh dalam pengertian etimologi (lughotan) adalah man balagha sinnal arbain, yaitu orang-orang yang sudah tua umurnya atau orang-orang yang mempunyai kelebihan, misalnya dalam hal berbicara atau mengobati orang (nyuwuk), tapi tidak pandai dalam masalah agama.

Dengan demikian, kalau ada orang yang disebut kiai tapi tidak alim dalam masalah agama atau alim dan pandai berbicara tapi tidak bisa mengamalkan ilmunya, orang itu termasuk kiai dalam pengertian bahasa (lughotan).

Patut dicermati bahwa penyebutan kiai khas yang diidentikkan dengan kiai yang dekat dan mendukung Gus Dur saat itu sangat dimungkinkan sarat dengan kepentingan dalam rangka menjustifikasi langkah-langkahnya yang kontroversi, terutama hal-hal berkaitan dengan ajaran dan nilai-nilai ahlusunah waljamaah, seperti sikapnya terhadap pencabutan TAP MPR tentang paham komunisme, penolakannya terhadap RUU APP, dukungannya terhadap aliran Ahmadiyah, liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Terbukti, saat ini begitu mudahnya para kiai itu ditinggalkan Gus Dur setelah mereka bersikap kritis terhadap langkah-langkahnya. Beruntung, para kiai sudah berani mengambil sikap tegas dengan mufaroqoh dari barisan Gus Dur.

Penamaan istilah kiai kampung tersebut juga sarat dengan upaya untuk membenturkan antara para kiai pondok pesantren dan para kiai di desa-desa yang notabene adalah murid kiai pondok pesantren. Padahal, pembenturan itu dapat memudarkan ghirah dan pemahaman para kiai di desa terhadap ajaran-ajaran gurunya di pesantren hanya karena pengultusan terhadap individu. Memang, fanatisme dan kecintaan yang berlebihan cenderung menafikan dan menutupi kesalahan, sebagaimana kebencian itu juga sering mencari-cari keburukan. (waainurridlaan kulli aibin kalilatun kamaa anna ainas sukhthi tubdil masawiyaa). Ketika ada sebagian kiai yang terlibat dalam politik praktis, serta-merta banyak orang yang menuduh para kiai itu telah terkontaminasi dan dianggap telah berpaling dari tugas keulamaan. Mereka menuduh para kiai yang terlibat dalam politik tidak lagi mampu mengemban gerak sosial dan keagamaan. Lebih dari itu, para kiai tersebut dianggap menjadi pendorong perpecahan (Muhyiddin Arubusman, Politik Kebangsaan Kiai Kampung, Jawa Pos, 17/2/2007).

Bahkan, Gus Dur mengatakan, banyak kiai sepuh yang berkenalan dengan uang, kekuasaan, dan jabatan (Jawa Pos, 15/2/2007). Sebenarnya, sebagai pewaris para nabi (waratsatul anbiya), keterlibatan kiai dalam dunia politik merupakan sebuah keharusan.

Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, selain dipahami sebagai peristiwa keagamaan, juga merupakan peristiwa politik dalam rangka membangun masyarakat dan pemerintah kota Madinah yang damai, tenteram, tenang, adil, dan makmur. Peran Nabi Muhammad SAW waktu itu, selain sebagai seorang Nabi, beliau menjadi seorang kepala negara.

Selain menjalankan tugas mengajar (talim) para sahabat, sewaktu-waktu beliau terjun ke medan laga untuk memimpin pasukan Islam dalam menumpas musuh-musuhnya. Peran kiai hendaknya juga demikian. Selain menjalankan tugas mengajar (talim) santri-santrinya, suatu saat para kiai harus ikut membantu urusan negara (politik) sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Jika para kiai hanya mengurusi pesantrennya dan tidak tahu-menahu soal urusan negara (politik), pada akhirnya pemerintah dikuasai orang-orang yang anti-Islam, antipesantren, dan anti-ajaran ahlusunah waljamaah.

Siapa yang harus menanggung akibatnya? Jadi, sebenarnya keterlibatan kiai dalam politik itu bertujuan menyelamatkan peran kiai itu sendiri.


KH Abdullah Faqih, pengasuh Pondok Pesantren Langitan dan Mustasyar Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Diambil dari Jawa Pos (2/4/7)
Post ADS 1
Banner
Banner