M. Natsir Dan Pandangannya Tentang Kartini [1]

Oleh:  Sarah Mantovani
“Vote for Women!,” begitu isi seruan dari kelompok Suffragettes yang tertulis di gedung-gedung pemerintahan Inggris.
Mereka tidak hanya puas dengan menulis seruan tersebut, namun juga berdemonstrasi ke jalan untuk menarik opini publik, bahkan sampai melempari rumah Menteri Dalam Negeri dengan batu sehingga banyak kaca yang pecah.
Cara ini dilakukan agar pihak pemerintah saat itu takut kepada mereka sehingga mereka akan diberikan kiesrecht (hak memilih dan dipilih), karena tuntutan inilah maka mereka dinamakan kelompok Suffragettes atau kelompok feminis yang menuntut hak pilih untuk perempuan.
Kelompok Suffragettes merupakan kelompok feminis beraliran Marxis yang dipimpin oleh feminis bernama Sylvia Pankhurst.
Oleh salah satu pengurus istri Sedar, S. Pringgodigdo dalam Koran Sedar edisi Juni-Juli 1931, Sylvia Pankhurst dinilai sebagai perempuan yang sangat dicintai oleh ratusan ribu perempuan dan dibenci oleh pihak kuno [S. Pringgodigdo. Kewadjiban dan Pekerdjaan Kaoem Istri Menoeroet Kemaoean Zaman, Sedar Juni-Juli 1931].
Gerakan yang telah berlangsung sejak akhir abad ke-19 tersebut pada akhirnya menjalar ke negara-negara lain, kemudian masuk hingga mempengaruhi pemikiran maupun sikap perempuan Indonesia pada tahun 1930-an.
Roekmini, Kartini dan Kardinah. Sumber foto KITLV Digital Media Library
Roekmini, Kartini dan Kardinah. Sumber foto KITLV Digital Media Library

Mohammad Natsir, salah satu tokoh yang juga vokal terhadap bahaya komunisme di Indonesia, menceritakan hasil pengamatannya terkait feminisme yang telah mempengaruhi pemikiran dan sikap perempuan Indonesia.
Salah seorang debater dari kalangan kaum istri yang terkemuka di Semarang saat KongresJong Islamieten Bond, cerita Natsir, mengungkapkan pemikirannya tentang mahar dalam Islam yang disebutnya bukan memuliakan perempuan, melainkan salah satu penghinaan karena dengan mahar tersebut, perempuan telah dibeli laki-laki.
 “Diwaktu penulis beberapa tahun jang silam mengemukakan sedikit perbandingan antara hak-hak perempuan menurut Qur’an dan menurut undang-undang Burgerlijk Wetboek jang berlaku dalam masjarakat bangsa Eropah dalam salah satu Kongres “Jong Islamieten Bond” dikota Semarang, salah seorang debater dari kalangan kaum isteri jang terkemuka dikota itu, melahirkan perasaannja bahwa “mahr” itu bukanlah suatu kemuliaan bagi perempuan, melainkan salah satu penghinaan, sebab dengan itu kaum perempuan itu dibeli oleh laki-laki……..!”[ Mohammad Natsir, Capita Selecta Jilid I, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1973), hlm. 51].
Tidak hanya menceritakan hasil pengamatannya, mantan Presiden Liga Muslim se-dunia ini juga memberikan pandangannya terkait emansipasi yang pernah digaungkan Kartini dalam surat-suratnya untuk teman-teman Belandanya. Emansipasi yang digaungkan Kartini disebabkan kerasnya adat Jawa saat itu yang tidak mengizinkan perempuan untuk menempuh pendidikan.
“Diwaktu R.A Kartini memulai perdjuangannja memperbaiki nasib kaum perempuan pada permulaan abad ini, dia berhadapan dengan tradisi-Djawa jang amat keras mengukung langkah-langkah kaum perempuan. Mereka terpaksa tinggal dalam dunia jang sempit, tinggal bodoh dan sontok pemandangan, tidak diberi kesempatan untuk menuntut ilmu-pengetahuan walaupun sekedar jang tak dapat tidak harus ada, untuk pentjukupkan peri kemanusiaan mereka.”
Natsir menilai, perjuangan yang dilakukan Kartini terhadap kaum perempuan tidak lain agar mereka menjadi perempuan yang terdidik, karena jika kaum perempuan terdidik, maka mereka bisa melakukan kewajibannya sebagai istri dan ibu.
“Supaja mendjadi perempuan jang terdidik untuk melakukan kewadjiban mereka sebagai isteri dan ibu dalam arti jang “sepenuh-penuhnja”, inilah tudjuan hidup jang dibajangkan srikandi ini untuk bangsanja kaum perempuan.”
Cita-cita emansipasi, papar alumni Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) ini, yang disebut Kartini dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan cita-cita yang sesuai dengan fitrah dan watak kaum perempuan.
“Para pembatja jang memperhatikan surat-suratnja jang terkumpul dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” tidak dapat tidak akan merasa sendiri bahwa tjita-tjita emansipasi jang dikemukakannja itu, tidak lain dari pada satu tjita-tjita jang schot (tepat sasaran) dan berdasar kepada fitrah dan watak kaum perempuan semata-mata.”
Tentu, hal ini diperkuat dengan suratnya yang tidak diterbitkan pada bulan Januari 1903, cita-cita yang ia perjuangkan agar perempuan mendapatkan pendidikan semata-mata bukan karena keseteraan gender, melainkan karena agar perempuan dapat menjadi ibu dan ibu merupakan pendidik pertama umat manusia.* (bersambung)..
Penulis mahasiswi S2 Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, tulisan ini juga dimuat  jejekislam.net
Post ADS 1
Banner
Banner