100 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi (Sebuah Pengantar)

Oleh Ismail Al-‘Alam (Anggota Dewan Penyelia DISC Masjid UI)

Pada tanggal 20 Mei 1915 lahir seorang bernama Saridi di Kotagede, Yogyakarta. Saat menuntut ilmu di usia belia, ia mengubah namanya menjadi Rasjidi, mengikuti gurunya, Syeikh Ahmad Syurkati, tokoh utama Al-Irsyad, yang dengan lisan arabnya kesulitan menyebut kata “Saridi”. Dalam hidupnya Rasjidi ternyata memberi sumbangsih besar pada sejarah bangsa kita.

Bangsa ini, yang entah karena alasan alpa bersama atau terlalu pusing dengan hiruk-pikuk persoalan harian, tak terlalu banyak memperingati seabad kelahiran Menteri Agama pertama ini. Kita benar-benar harus mengenal kembali sosok dan pemikiran beliau untuk memperoleh teladan dalam menjalani hidup berbangsa dan bernegara, khususnya sebagai muslim Indonesia.

Ulama dan Negarawan
Prof. Dr. H. M. Rasjidi, yang oleh keluarga Masyumi akrab dipanggil Pak Rasjidi, mencurahkan seluruh hidupnya untuk Islam dan Indonesia, terutama sebagai bagian dari pemerintahan dan pendidik. Dalam pemerintahan, beliau merupakan Menteri Agama RI pertama dalam Kabiet Sjahrir II. Pak Rasjidi kemudian, di usia kemerdekaan yang masih belia, menjadi diplomat di beberapa negara Arab. Kerja-kerja diplomasi yang beliau lakukan, baik seorang diri maupun sebagai anggota dari tim diplomasi yang dipimpin Haji Agus Salim, berbuah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh negara-negara muslim yang dikunjunginya. Beliau menjalani tugas kenegaraan itu tanpa sedikit pun lekat pada citra kemewahan sebagaimana ada pada sebagian besar pejabat masa kini. Sebagai menteri, beliau mengayuh sepeda setiap pagi untuk sampai ke tempatnya bekerja. Ketika pada akhirnya memiliki mobil dinas pun, ban mobil itu harus diisi rumput kering sampai padat agar bisa berjalan. Amat sederhana dan serba terbatas.

Setelah menjalani tugas kenegaraan di masa-masa sulit, yakni masa ketika Indonesia sebagai negara-bangsa masih berusia muda, beliau lebih banyak beramal shalih di dunia pendidikan. Universitas McGill, UI, dan IAIN Jakarta adalah tiga kampus yang menjadi tempat beliau mengampu kuliah-kuliah penting di bidang pemikiran Islam dan filsafat, bidang yang beliau tekuni kala berkuliah di Universitas Kairo dan Universitas Sorbonne. Di McGill, beliau memiliki kedudukan sejajar dengan orientalis besar seperti Toshihiko Izutsu. Di kampus ini pula beliau membimbing Syed Muhammad Naquib Al-Attas, filsuf muslim terbesar abad ini, dalam menulis tesis tentang Nuruddin ar-Raniry. Di Indonesia, beliau mendapat gelar guru besar bidang hukum Islam dari UI dan bidang filsafat Barat dari IAIN Jakarta. Meski bergelar guru besar, khususnya di lingkungan UI, beliau giat memberi pendidikan Islam kepada mahaiswa-mahaiswa yang jauh lebih muda darinya.

Debat-debat Bermartabat
Hal lain yang dapat dikenal dari beliau adalah banyaknya debat yang beliau lakukan, baik secara langsung atau melalui tulisan berbalas (polemik). Di McGill, beliau berbantah-bantah dengan Joseph Schacht, orientalis besar asal Jerman, tentang hukum Islam. Di Indonesia, beliau mengkritik gagasan sekularisasi Nurcholis Madjid, rancangan kurikulum pendidikan Islam Harun Nasution, pandangan kebudayaan AMW Pranaka, dan pandangan kebatinan Warsito. Beliau juga mengkritisi paham Syi’ah, komunisme, dan pandangan materialis Barat tentang agama. Sebagian kritik itu beliau terbitkan dalam bentuk buku, dengan penalaran ilmiah, bahasa yang tertata (meski kadang jenaka), dan tanpa menebar kebencian atau menyarankan penyerangan. Beliau masih berhubungan baik dan bersedia membuka ruang disksusi yang lebih serius dengan orang atau pihak yang dikritiknya itu.

Kritik beliau terhadap Harun Nasution bisa menjadi contoh yang menarik. Ketika Harun menulis buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya untuk kebutuhan penyediaan diktat kuliah di IAIN, Pak Rasjidi turut membaca dan kemudian menemukan adanya persoalan epistemologis dalam buku tersebut. Menurut beliau, buku tersebut sebagiannya menggunakan sudut pandang orientalis dalam melihat Islam. Di dalamnya, misalnya, terdapat penjelasan tentang makna agama. Beliau menilai penjelasan tentang makna agama tersebut seperti cara pandang para sarjana Barat yang melihat agama sebagai produk kebudayaan manusia. Jika tak teliti, pembaca akan turut mengira bahwa Islam bukanlah agama wahyu. Di bagian lain, beliau menemukan penjelasan Harun tentang mazhab-mazhab dalam Islam, yang dalam pengamatan beliau seperti kebiasaan kaum orientalis anti-Islam untuk menonjolkan hal-hal kecil sehingga tampak tak pernah ada kesepakatan di antara umat Islam.

Persoalan di atas dan persoalan lain dalam buku Harun beliau teliti dan tanggapi satu persatu sehingga menjadi satu buku berjudul Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Buku tersebut awalnya beliau sampaikan secara terbatas kepada pihak Departemen Agama. Setelah sekian lama tak ditanggapi, beliau akhirnya menerbitkan buku secara umum. Khususnya di kalangan kaum terpelajar, kritik beliau terhadap muridnya di McGill itu menjadi suatu sajian pertentangan pemikiran guru-murid yang amat berharga bagi kajian keislaman kontemporer di Indonesia. Setelah belasan tahun berbeda pandangan, beliau masih bersedia mengisi salah satu artikel untuk buku 70 Tahun Harun Nasution, dan mengapresiasi capaian intelektual Harun dengan kata-kata yang santun dan bersahabat.

Beliau memiliki kedewasaan dalam berbeda sekurang-kurangnya karena tiga hal, yakni keyakinan akan kebenaran Islam sampai taraf paling filosofis; persentuhan dengan berbagai bangsa, agama, dan pemikiran dalam suatu ruang kosmopolit global; dan keterlibatan aktif membangun dan membina bangsa yang dicintainya. Tiga hal tersebut membuat beliau memiliki kepercayaan diri yang tinggi sebagai muslim, tanpa sedikit pun minder atau merasa terancam berlebihan yang lebih sering membuat seseorang berlaku tidak pada tempatnya.

100 Tahun
Dalam rangka memperingati 100 tahun Prof. H. M. Rajidi, Depok Islamic Study Circle (DISC) Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia, mengadakan sebuah seminar sederhana. Seminar bertajuk “Peran Prof. H.M. Rasjidi dalam Dakwah di Indonesia” ini akan dilaksanakan pada haru Jumat, 5 Juni 2015, pukul 13.00-16.00 di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia.

DISC mengundang Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum yang pernah bersentuhan langsung dengan Prof. Rasjidi. Ketika menuntut ilmu di Fakultas Hukum UI, Prof. Jimly aktif berkegiatan di Masjid Arief Rahman Hakim UI, Salemba. Di Masjid inilah ia dibina langsung oleh Prof. Rasjidi. Pemaparan Prof. Jimly tentang Prof. Rasjidi tentu akan memberikan pengetahuan bagi khalayak umum.

Pembicaranya lain ialah, Prof. Dr. Ibnu Hamad, Guru Besar Ilmu Komunikasi UI. Prof. Ibnu merupakan Pengurus Masjid Ukhuwah Islamiyah, masjid resmi di lingkungan UI. Sebagai salah satu pelanjut perjuangan Prof. Rasjidi, tentu Prof. Ibnu memiliki berbagai pandangan menarik seputar Prof. Rasjidi.

Selama hidupnya, Prof. Rasjidi dikenal sangat kritis terhadap bermacam pemikiran liberal-sekuler yang menjangkiti umat Islam. Pada masa kini, Adnin Armas, M.A. dikenal di baris depan pakar pemikiran Islam yang aktif memberikan penjelasan terhadap kekeliruan-kekeliruan pemikiran sekular-liberal. Pada seminar kali ini, Ustadz Adnin akan turut serta memberi pandangannya mengenai Prof. Rasjidi, penduhulunya di kancah pemikiran Islam, khususnya di Indonesia.

Peringatan seabad kelahiran Prof. H. M. Rasjidi mungkin tak semeriah peringatan seabad Soekarno, Buya Natsir, atau HAMKA. Meski begitu, semakin membaca sosok dan pemikiran beliau, kita sepertinya akan semakin yakin bahwa gelar pahlawan amat pantas diberikan negara padanya. Sembari menunggu pemerintah sadar dan mewujudkan hal itu, kita dapat menempatkan beliau sebagai guru bangsa dengan segala warisan kisah dan gagasan cemerlang. Pak Rasjidi mengajarkan pada kita bahwa mencintai Indonesia dengan cara pandang Islam adalah juga suatu bentuk ketakwaan.




Post ADS 1
Banner
Banner