Setitik Kontribusi dari Pojok Kampus

Adalah sebuah keharusan membudayakan baca, diskusi, dan tulis dalam dimensi kehidupan mahasiswa ideal. Bingkai kriteria mahasiswa ideal mengariskan, mahasiswa yang lekat dengan terminologi sebagai “makluk intelektual”, tentu harus sadar bahwa mereka tidak hanya dituntut untuk berprestasi dalam bidangnya masing-masing namun juga masyarakat sangat berharap kepada mereka agar dapat menjadi social solution bagi permasalahan masyarakat yang ada baik secara horizontal social kemasyarakatan maupun secara vertical masyarakat dengan pemerintahan. Hari ini dapat dirasakan pergerakan mahasiswa seperti kehilangan arah, taring, dan cita-citanya, mahasiswa hari ini acapkali dicap hanya sebagai
“tukang demo” dan “tukang rusuh”, pun juga masyarakat hari ini sudah telanjur kecewa karena “mahluk intelektual” yang diharapkan bisa menjadi pahlawan disaat rakyat tertindas oleh kebijakan penguasa yang tirani, kini telah mati membusuk bersama budaya hedonis dan menjadi sampah peradaban, “mahluk intelektual” yang dulu kerap dielu-elukan seperti koboi (pahlawan cerita bangsa meksiko), kini seperti tidak berdaya terkungkung budaya hedonis, vandalis, dan anarkis. 

Berangkat dari realita ini, lahir sebuah niatan besar untuk mempebaiki citra buruk mahasiswa dan generasi muda bangsa yang telah terhujam dalam pada mindset masyarakat. Di tengah euforia penderitaan rakyat, serta hak-hak rakyat yang termarginalkan oleh kepentinagan-kepentingan kaum elit politik bangsa ini, menggerakkan hati dan jiwa-jiwa muda ini untuk terus bergerak dan berkontribusi, yang pada akhirnya walaupun hanya melalui salah satu bentuk kontribusi yang paling sederhana bagi kami, generasi muda bangsa (baca:mahasiswa) yaitu melalui ide atau pemikiran yang solutif, dan itu hanya dapat dihasilkan dengan cara membudayakan baca, diskusi, dan tulis. 


Memulai dari hal yang kecil dan sederhana merupakan konsep perubahan yang paling efektif, forum diskusi-diskusi kecil kini mulai bergeliat dengan semangat perbaikan untuk negeri yang begitu bergelora, mulai aktif dan kontinyu keberadaannya di pojok-pojok kampus disaat sela-sela selesai perkuliahan. Ternyata sungguh memang hanya segelintir pemuda-pemuda (baca:mahasiswa) yang sadar akan pentingnya hal ini dan memiliki semangat ini, semangat perbaikan untuk negeri, semangat mengakselerasi kompetensi diri, semangat berkontribusi dari ilmu-ilmu yang telah didapatnya melalui bangku-bangku perkuliahan, serta semangat mengabdian pada masyarakat. Meskipun hanya sekedar melalui pemikiran, tapi ini merupakan salah satu bentuk tindakan paling konkret dalam membangun bangsa dan masyarakat. 

Sedikit berbagi atas hasil diskusi kami pada pekan ini yang menyoroti isu yang sedang hangat hadir mewarnai media-media yang ada saat ini. Diskusi berawal dari isu bencana yang kini sedang hangat-hangatnya untuk dibahas, Ungkapan Indonesia sebagai negeri gemah ripah loh jinawi sepertinya kini sudah mulai harus ditinggalkan dan diganti menjadi Indonesia negeri seribu bencana. Mau tidak mau, hal ini memang sudah seyogyanya menjadi ungkapan yang tepat untuk Indonesia. Mestinya kita menyadari bahwa kita hidup di tanah bencana dan paradigma berkawan dengan bencana harusnya sudah lekat dengan nurani kita, sehingga setiap waktu kita dapat kita maksimalkan untuk membntuk upaya-upaya penaggulangan dan pencegahan jatuhnya kerusakan dan korban yang lebih banyak lagi. Meskipun letak negeri gemah ripah loh jinawi ini sangat strategis dan dilalui oleh zambrut khatulistiwa namun dibalik itu semua tersimpan kekuatan besar alam Indonesia yang setiap saat dengan kehendak-Nya dapat memuncak mengamuk. Pembentukan lembaga-lembaga khusus penagganan bencana alam dinilai penting keberadaannya sehingga tiap kali terjadi bencana, semua dapat ditanggani dengan baik, cepat, dan efektif . Selain dari pada itu semua, opini beberapa pakar menganalisis terjadinya bencana alam yang terus menerus dan silih berganti dimungkinkan karena Indonesia saat ini, negeri gemah ripah loh jinawi sedang krisis kepemimpinan sehingga alam pun turut marah dan mulai bosan atas kesewenang-wenangan dan kemunafikan para elite politik yang terus menerus berebut kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat, padahal tidak sedikitpun mereka berpihak kepada rakyat. 

Mereka (baca:elite politik) bak ondel-ondel bertopeng dua yang siap bermain lakon demi menjaga dan memuaskan ambisi pribadi serta golongannya. Kini ibu pertiwi Indonesia tengah berurai air mata menanti hadirnya manusia-manusia yang dapat memimpin negeri ini keluar dari keterpurukan menuju pintu gerbang terang benderang seperti yang diamanatkan dalam UUD’45 yang merupakan landasan dan cita-cita pendirian republik ini. Wajah yang dahulu sempat berseri ketika diawal lahirnya republuk ini, melalui cita-cita mulia Indonesia mercusuar dunia, kini wajah tua itu semakin tampak semburat kemuramannya, rezim pemerintahan terus berganti namun tidak dapat mengembalikan wajah indah ibu pertiwi justru semakin melukai hati ibu pertiwi Indonesia. Haruskah kita terus berharap dan menunggu pada pemimpin-pemimpin republik ini sadar, atau kembali kita turun ke jalan memaksa mereka turun dan rezim ini tumbang seperti jejak rekan kelam peristiwa reformasi1998 ?. 
Wa’alahuallam bishowab



Post ADS 1
Banner
Banner