Intelek(Uang)

Meneliti = Mengais Rupiah..?
Pendidikan dan Pengajaran
Penelitian dan Pengembangan
Pengabdian pada Masyarakat
(Tri Dharma Perguruan Tinggi) 
Menjelang akhir dari ambang batas terakhir pengumpulan karya tulis penelitian mahasiswa dalam salah satu program bentukan Dikti Mendiknas, semakin kian terasa gemuruh euforia aroma yang sepertinya pantas diterminologikan “meneliti = mengais rupiah”, kini semakin menjadi-jadi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa menjelang zaman pascareformasi, budaya-budaya literasi atau budaya intelektual empunya kaum-kaum intelektual baik mahasiswa atau bahkan dosen semakin memudar dan tengah tergeser menuju arus hedonis. Kini jauh lebih sering ditemukan para mahasiswa yang tengah asik bermain kartu, pacaran, kongkow-kongkow sambil menghabiskan batang demi batang rokok atau bahkan berjudi kecil-kecilan di berbagai penjuru kampus. Dan banyak pula kini dijumpai realita dosen-dosen yang surplus mengajar bahkan sampai beberapa kampus namun defisit karya tulis penelitian. Mahasiswa yang lekat dengan sebutan “Intelektual” kini tak ubahnya dan tidak ada bedanya dengan orang-orang tidak berpendidikan dan pengangguran yang ada di lorong-lorong gang kecil di pinggiran-pinggiran kota besar. 

Analisis sederhana mengapa realita ini terjadi begitu membumi di kalangan kaum intelektual baik mahasiswa maupun dosen seperti yang telah digambarkan di atas, ada yang beropini bahwa realita ini terjadi karena usaha-usaha “mereka” pihak-pihak yang memang menginginkan agar Indonesia tidak menjadi bangsa maju dan tetap menjadi bangsa bodoh agar bisa terus menerus dibodohi, dikeruk sumber daya yang melimpahnya dengan cara-cara halus nan modern, dan bahkan dibuat seperti negara jajahan meskipun kita sebagai putra bangsa tidak menyadarinya sehingga kondisi ini akan senantiasa “mereka” terus lestarikan sampai tujuan untuk menguasai seluruh harta kekayaan Indonesia tercapai. 

Di sisi yang lain dirasa bangsa ini (baca: Indonesia) harus bersyukur karena tidak sedikit juga dari kaum-kaum intelektual (baca:mahasiswa) itu yang juga secara bersamaan tengah berproses menjadi pasukan-pasukan langit, menjadi soekarno-soekarno muda, hatta-hatta muda, sudirman-sudirman muda, habibie-habibie muda, syahrir-syahrir muda, kartini-kartini muda dan manusia Indonesia lainnya yang betul-betul melejit oleh karena pendidikan yang mampu memanusiakan manusianya dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka berjibaku melawan arus kebatilan dengan pikiran, tenaga, harta, bahkan darah dan jiwa mereka. Hidup dan gerak langkahnya senantiasa dipenuhi dengan pikiran agar mampu terwujud peradaban bangsa, umat, dan negaranya yang jauh lebih baik di masa mendatang. 

Dengan realita kehidupan di kota-kota besar yang semakin sulit dan mahal, situasi dan permasalahan negeri yang semakin tidak menentu, serta juga para pembesar-pembesar negeri yang telah diamanahkan justru seperti menghianati amanah yang tengah diembannya demi memuluskan kepentingan golongan dan kepentingan pribadi semata. Kemudian mau tidak mau mahasiswa pun turut terkena efek domino dan akhirnya sedikit atau banyak aroma pragmatis juga mulai menghinggapi mahasiswa agar dapat bertahan hidup di kota besar dan dapat terus melanjutkan studi hingga tahap akhir demi meraih cita dan mempersiapkan hidup yang lebih baik di masa mendatang. Ada yang menggunakan jalan “pintas” untuk dapat mengatasi realita tersebut seperti menjadi massa demo bayaran, ada pula yang masuk ke ranah politis praktis mendekati tokoh-tokoh politik karena memiliki jabatan penting dalam organisasi kampus, kemudian ada pula yang menjadi calo-calo ujian SNMPTN ataupun UN, dan lain sebagainya. Namun ada juga yang berusaha dengan cara-cara yang baik dan halal, seperti berjualan aksesoris, pakaian, buku, alat tulis, dan pula ada yang memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya seperti, menjadi makelar barang, membuka jasa pengetikan, membuka les privat, mencari beasiswa, bimbel dan lain sebagainya.


Akhir-akhir ini mulai ramai menjadi perbincangan mengenai karya-karya tulis penelitian, karena kini pemerintah juga mulai gencar membuka program-program penelitian dengan hibah puluhan juta rupiah sehingga menjadi begitu terasa menggiurkan. Hal ini mungkin dilakukan untuk menggenjot produktivitas penelitian mahasiswa dan dosen setelah muncul data hasil penelitian yang menunjukkan begitu rendahnya tingkat produktivitas penelitian yang terejawantahkan melalui karya-karya tulis ilmiah, Indonesia kini merupakan salah satu negeri yang mulai tertinggal dan terbelakang dalam tingkat produktivitas penelitiannya sehingga Indonesia terus menerus senantiasa mati daya kreativitas dan inovasinya serta dicap juga sebagai negara “plagiator” dalam berbagai hal mulai dari film, musik, trend fashion, budaya, food, bahkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Negeri ini menjadi kehilangan identitas aslinya, tertinggal, dan terbelakang diantara bangsa-bangsa lainnya di dunia. 

Rasanya kita patut bangga dan senang atas hidupnya kembali budaya literasi terutama budaya meneliti pada kaum intelektual khususnya mahasiswa, karena selain menghidupkan budaya baca, tulis, dan diskusi yang sangat penting tapi juga mengejawantahkan poin kedua dari tri dharma perguruan tinggi itu sendiri. 

Hal ini seperti memberi secercah angin harapan dan mimpi baru agar negeri ini (baca:Indonesia) mampu tegak berdiri kembali sejajar diantara bangsa-bangsa lainnya. Meminjam perkataan Soekarno, “Agar bangsa Indonesia tidak menjadi bangsa budak dan budak diantara bangsa-bangsa di dunia”. Meskipun begitu, namun ada beberapa hal yang penting untuk perlu digarisbawahi dan perlu dibenahi yaitu mengenai orientasi dan motivasi utama rekan-rekan mahasiswa mulai meneliti. Agar tidak marak lagi mahasiswa-mahasiswa yang mulai meneliti karena berorientasi kepada rupiah (baca:uang) untuk menyambung hidup mereka di kota besar. Sungguh merupakan salah satu hal yang tidak tepat jika rupiah (baca:uang) menjadi orientasi dan motivasi utama dalam meneliti, karena khawatir di masa mendatang generasi seperti ini hanya akan menjadi generasi-generasi buih, dan generasi-generasi yang menghambakan diri kepada rupiah (baca:uang) sehingga segala sesuatunya hanya berdasar pada uang. Biasanya terlihat jelas sekali mahasiswa-mahasiswa yang meneliti orientasi dan motivasinya karena rupiah (baca:uang), mereka akan sibuk bahkan super sibuk sekali mengerjakan karya tulis penelitian ketika menjelang ambang batas akhir pengumpulan karya tulis penelitian. Dan ide yang mereka gunakan pun adalah ide-ide dadakan atau bahkan ide-ide bajakan dari karya tulis penelitian lainnya. Berbeda dengan mereka yang benar-benar meneliti dengan orientasi dan motivasi utama untuk belajar dan mengupgrade diri menjadi pribadi-pribadi unggul penuntas mimpi, mereka akan lebih mempersiapkan semuanya sejak lama dan betul-betul mematangkan serta memikirkan ide-ide kreatif dan inovatif. 

Tidak ada pihak yang patut disalahkan dalam hal ini, hanya saja mudah-mudahan masalah orientasi dan motivasi utama dalam meneliti kaum intelektual tidak lagi terjebak dalam pikiran-pikiran sempit dan kecil serta kesempatan untuk meneliti melalui program-program yang telah dikembangkan oleh pemerintah melalui Mendiknas guna meningkatkan produktivitas penelitian, dapat kita maksimalkan untuk benar-benar mengupgrade diri dan belajar sungguh-sungguh untuk mempersiapkan hidup yang jauh lebih baik di masa depan. 

Terakhir, barangkali kita perlu disegarkan kembali oleh Adagium kuno dari seorang filsuf, “Seneca non scholae sed vitae discimus”. Kita belajar bukan untuk nilai, uang, pangkat, populeritas, dan lainnya segala pikiran yang sempit, melainkan kita belajar untuk hidup. Segemilang apa pun hasil yang kita peroleh, tanpa didasari oleh sebuah proses yang matang, hanya akan menciptakan kesuksesan jangka pendek yang rapuh. 

Selamat Berkarya Kaum Intelektual Indonesia...!!

Bravo kaum intelektual Indonesia..!

:astig:
Harman



Ikuti PenaAksi[dot]Com di twitter dan gabunglah bersama kami di facebook untuk mendukung gerakan "Saatnya Mahasiswa Menulis"
Post ADS 1
Banner
Banner