Kita Memerlukan Tokoh Bujang


ditulis oleh : Maman S Mahayana
 
Apa yang kita peroleh dari cerita-cerita macam Seribu Satu MalamAlibabaAbunawasNasruddin HojaJoko Dolok, atau bahkan Si Kabayan? Selalu, di sana kita akan mendapatkan kisah tentang peristiwa-peristiwa keseharian yang terkesan tak penting, remeh-temeh, tetapi orang tetap merasa, bahwa kisah-kisah itu bagian atau sebagian dari kehidupan kesehariannya. Pertanyaannya, mengapa cerita-cerita itu masih tetap hidup dan kemudian menggelinding menciptakan berbagai versi dengan berbagai tokoh tempatan?

Humor-humor sufi, boleh jadi juga merupakan hasil dari proses pengaruh dari cerita-cerita klasik itu. Ketika kisah-kisah seperti itu menjadi bagian dari tradisi lisan, seketika mereka akan hidup dan dihidupi oleh masyarakatnya. Itulah salah satu faktor yang membuat cerita-cerita seperti itu dapat bertahan selama berabad-abad. Kisah-kisah itu juga tetap terasa aktual, karena di sana ada satir atau simbolisme yang memungkinkan pembaca atau pendengar mencantelkan pesan yang terdapat dalam teks dengan situasi zaman, dengan konteks kekinian. Bukankah sampai sekarang orang masih saja suka menikmati cerita-cerita itu atau menciptakan versi baru dengan tokoh yang juga baru sesuai dengan kondisi social budaya masyarakatnya; sejalan dengan perkembangan zaman.

Begitulah, kekuatan cerita-cerita seperti itu sesungguhnya bukanlah terletak pada keseriusannya, melainkan pada bagaimana segalanya disampaikan secara ringan, cair, dan asyik. Dengan cara itu, siapa pun kemudian akan membuat reproduksi yang di sana-sini, selalu ada penambahan dan pengurangan. Itulah yang  membuat cerita itu tetap akan aktual dan menjadi alat untuk menyampaikan pesan-pesannya.

Berbagai kisahan yang disajikan Harlis Kurniawan, boleh jadi tidak berpretensi untuk menjadi bagian dari khazanah karya klasik. Tetapi, kisah-kisah yang diangkatnya, tidak pelak lagi, menawarkan sesuatu yang penting, tetapi disajikan secara ringan dan bersahaja. Sejumlah fragmen dalam buku ini pada hakikatnya adalah pesan spiritualitas tentang makna kehidupan;  makna manusia dalam usaha mencari dan menemukan Tuhannya. Pesan spiritual itulah sesungguhnya yang hendak disampaikan Harlis Kurniawan. Tetapi, jika pesan itu disampaikan sebagai sebuah pemikiran filosofis, maka ia menjadi pernyataan-pernyataan filsafat.

Harlis Kurniawan juga barangkali sangat menyadari itu. Ia tak hendak berfilsafat. Ia juga tidak bermaksud menyampaikan fatwa ilahiah sebagai ajaran atau dakwah keagamaan. Maka, diperlukan cara lain yang tidak terkesan menggurui, yaitu wacana cerita yang cair mengalir. Itulah yang memungkinkan cerita-cerita dalam buku ini dapat dinikmati semua kalangan. Perkara makna yang dapat ditangkap dari cerita-cerita itu, tentu saja bergantung pada tingkat pemahaman masing-masing.

Dengan menampilkan tokoh Bujang, Hamzah, Nyi Mas Gandasari atau tokoh-tokoh lainnya, pengarang coba mengangkat berbagai peristiwa itu sebagai kisahan yang  terkesan berkesinambungan. Pada dasarnya, kisah-kisah dalam buku ini seperti hendak memanfaatkan pola sebagaimana yang terdapat dalam kisah Alibaba, Nasruddin Hoja, atau Si Kabayan. Fragmentaris tetapi tetap membangun wacana besar tentang makna kehidupan dan hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Tokoh-tokoh dalam buku ini diarahkan dalam serangkaian peristiwa dengan karakteristik yang tidak begitu hitam-putih. Meskipun demikian, dalam setiap peristiwa yang ditampilkan, hampir selalu kita berjumpa dengan pesan-pesan ideologis. Tentu saja pengarang mempunyai alasan sendiri untuk membuat pilihan. Dan di belakang pilihan itu, tak terhindarkan selalu ada implikasi yang menyertainya. Itulah yang juga terjadi pada serangkaian kisah dalam buku ini. Lalu, apa yang menonjol dari sana? Makna apa pula yang dapat kita ambil?

Perhatikan kutipan berikut ini,
“Tuan Putri, apa yang kau cari dariku? Aku tidak memiliki apa yang kau inginkan. Aku tidak mempunyai apa yang kau harapkan. Aku tidak menggenggam apa yang kau rindukan. Aku hanya seorang hamba dari Sang Pemilik dan sampai akhir hayatku aku akan tetap menjadi sahaya dari Sang Khalik,” ujar Hamzah yang mengajukan pertanyaan penting untuk mengetahui alasan Putri Nyimas Gandasari mau menjadi istrinya.

“Ya Syaikh Cinta, aku tidak menginginkan apa yang kau miliki. Aku tidak mengharapkan apa yang kau punyai. Aku tidak merindukan apa yang kau genggam. Karena aku tahu, engkau bukanlah Sang Pemilik. Aku hanya seorang sahaya yang hanya mengharapkan ridha Tuhanmu selama pengabdianku sebagai istrimu,” ujar Putri Nyimas Gandasari.

Bukankah kutipan di atas menunjukkan sebuah metafora tentang cinta?
Tokoh Bujang adalah manusia fiksional, rekaan, dan dihidupkan oleh kekuatan imajinasi pengarangnya. Dengan menempatkan tokoh Bujang atau tokoh-tokoh lain, kerap berada dalam posisi yang seperti itu, sudah barang tentu kita dapat mengkaitkannya dengan kondisi sosial yang terjadi di negeri ini sebagai kenyataan faktual. Di sinilah makna penting karakterisasi tokoh-tokoh rekaan dalam buku ini. Ia laksana merepresentasikan serangkaian kegelisahan ketika berbagai persoalan sosial-politik terjadi dan dating silih berganti. Ia seperti sosok yang diharapkan, mesias, atau“RatuAdil”. Sebagai sosok tokoh yang dicitrakan demikian, tidak terhindarkan, pesan-pesan ideologis, seperti menjadi keniscayaan. Maka, berbagai fatwa, hadis atau ayat-ayat suci patut pula menjadi bagian integral dari karakterisasi tokoh Bujang. Justru dalam konteks itulah, kita–pembaca—mendapatkan begitu banyak pencerahan, mutiara hidup, dan pedoman yang dapat dijadikan sebagai dasar kita mengarungi kehidupan ini.

Perhatikan lagi kutipan berikut,
“Wahai Ananda Hamzah, istri adalah pendamping hidupmu dalam menempuh jalan menuju Tuhanmu. Ia juga calon ibu dari anak-anakmu yang akan menjadi generasi penerusmu di zaman yang akan datang. Karena itu, madrasah utama bagi seorang anak adalah ibunya, karena dia yang selalu ada bersamanya. Binalah madrasahmu dengan keimanan dan keilmuan yang kelak akan mengangkat derajat kalian dan keturunan kalian di mata Tuhan.

Juga kutipan ini,
“Tuan saya anggap gila karena Tuan berbangga diri atas kuda, baju, dan nenek moyang Tuan, padahal kebanggaan itu adalah milik mereka, bukan milik Tuan. Bila Tuan berbangga diri kepadaku atas kuda yang Tuan miliki, maka keistimewaan yang Tuan banggakan adalah milik kuda, bukan milik Tuan. Bila Tuan berbangga diri kepadaku karena baju bagus yang Tuan miliki, maka yang bagus adalah baju Tuan, bukan diri Tuan. Bila Tuan berbangga diri kepadaku karena kehormatan nenek moyang Tuan, maka kehormatan itu adalah milik nenek moyang Tuan, bukan milik Tuan,” ujar Bujang.

Boleh jadi pesan-pesan ideologis itu, dalam beberapa peristiwa seperti sebuah nasihat. Tetapi, dengan pengolahan yang mengalir dan cair, ia tampak sebagai sesuatu yang wajar. Dengan demikian, karakterisasi tokoh-tokoh dalam buku ini sesungguhnya sekadar alat bagi pengarang untuk menyampaikan pesan. Ketika pesan itu dibungkus peristiwa, ia menjadi sesuatu yang hidup dan kontekstual. Di situlah kita merasa bahwa dalam kondisi karut-marut kehidupan sosial-politik bangsa ini, kita memerlukan tokoh-tokoh yang dalam banyak hal, telah diperlihatkan oleh lakuan dan tindakan tokoh Bujang. Bagaimanapun, serangkaian kisahan dalam buku ini, diharapkan member inspirasi, bagaimana hidup harus dijalani, bagaimana harapan harus dihidupkan, dan bagaimana pula pesan-pesan ideologis itu menjadi tindak perbuatan kita!

Tokoh Bujang atau tokoh-tokoh lainnya dalam buku ini adalah manusia-manusia fiksional! Dan kini atau kapan pun, kita memerlukan tokoh fiksional seperti itu yang hadir dan hidup di tengah kita, kini dan sampai entah kapan!

Semoga!
Post ADS 1
Banner
Banner