15 Tahun Reformasi Indonesia

Ditulis oleh Dr Adian Husaini

Tak lama lagi, era reformasi Indonesia yang dimulai bulan Mei 1998 akan memasuki masa 15 tahun. Berbagai prestasi dan kegagalan tentu saja mewarnai perjalanan reformasi. Perubahan yang sangat mencolok adalah terciptanya era kebebasan dalam berbagai bidang. Sejalan dengan kemajuan pesat di bidang komunikasi, khususnya media online dan elektronik, berbagai aspirasi ideologis bermunculan secara bebas. 

Reformasi yang berjalan 15 tahun telah memunculkan berbagai perubahan pandangan dan sikap. Yang dulu kawan dalam politik, sekarang menjadi lawan. Dulu dibenci dan dicaci maki dimana-mana, sekarang mulai dipahami, bahkan dipuja-puji. Ada yang dulu benci Soeharto setengah mati, tapi kemudian mengusulkan Soeharto jadi pahlawan negara ini. Partai Golkar yang dianggap sebagai salah satu komponen utama Orde Baru sempat menjadi bahan cercaan dan hujatan. Kini, dalam berbagai survei, elektabilitas Golkar justru yang tertinggi. 

Bahkan, pada bulan September 2010, di berbagai pelosok Jakarta bermunculan poster bergambar mantan Presiden Soeharto sedang tersenyum, sambil berucap: “Piye Kabare? Enak jamanku to?” (Bagaimana kabarnya? Enak zaman saya kan?). Ternyata, poster seperti itu, bermunculan di berbagai kota. Dalam berbagai acara talk show saat krisis BBM, kenaikan harga beras, bawang, minyak goreng, dan sebagainya, biasanya ada yang menyebut-nyebut, bahwa di masa Pak Harto lebih baik kondisinya. 

Apa pun komentar orang, faktanya, reformasi telah memberikan ruang kebebasan yang sangat luas di berbagai bidang. Keterbukaan yang sangat besar di bidang politik telah membuka ruang bagi munculnya elite-elite politik dan ekonomi baru yang menikmati kekuasaan, popularitas, dan juga akses-akses kekayaan. Sebagian ilmuwan berhasil memanfaatkan keterbukaan politik dan sistem pemilihan langsung Presiden dan kepala daerah dengan membentuk lembaga-lembaga survei yang berhasil meraih posisi strategis di bidang politik dan sebagian bahkan menghasilkan keuntungan berlimpah. Itu antara lain, kesempatan yang tidak ternikmati di masa Orde Baru. 

Walhasil, reformasi di Indonesia selama 15 tahun ini telah menghasilkan iklim kebebasan (liberal) yang sangat luas di berbagai bidang kehidupan. Tentu saja, dalam kebebasan dan kemanfaatan yang diraih oleh sebagian orang, ada efek samping dan dampak buruk yang dilihat dan dirasakan oleh sebagian masyarakat lainnya. Dalam berbagai bidang, dampak buruk ini begitu nyata, sehingga mulai meresahkan. 

Reformasi Gagal? 

Jadi, patutlah kita bertanya, “Berhasil atau gagalkah reformasi?” Tanpa ragu-ragu, berbagai pihak yang aktif memelopori gerakan reformasi sudah berteriak: “Reformasi memang gagal!” Pada 16 Mei 2011 lalu, situs www.kompas.com, menurunkan berita berjudul “Gerakan Reformasi Gagal”. Disebutkan, “Gerakan reformasi politik dan pemerintahan yang telah berjalan selama sekitar 13 tahun dianggap gagal. Mayoritas masyarakat tidak merasakan ada perbaikan signifikan dalam bidang politik, pemerintahan, dan perekonomian.” 

Kesimpulan itu didasarkan pada hasil survei nasional yang dilakukan Indo Barometer. Pada April-Mei 2011 dengan 1.200 responden di 33 provinsi. Hasilnya: : 55,4 persen menyatakan tidak ada perubahan kondisi bangsa sebelum dan sesudah reformasi. Hanya 31 persen menganggap kondisi bangsa setelah reformasi jauh lebih baik. ”Bisa dikatakan, hanya 1 dari 3 responden yang menganggap kondisi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan kondisi 13 tahun lalu,” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari dalam jumpa wartawan di Jakarta, (15/5/2011).

Hasil lainnya: sekitar 55 persen mengaku tidak puas dengan reformasi. Hanya 29,7 persen menyatakan puas terhadap pelaksanaan reformasi. Masyarakat menganggap masih banyak tuntutan dan amanat reformasi yang belum terpenuhi, terutama tuntutan perubahan di bidang hukum, hak asasi manusia, dan ekonomi. Tak hanya itu. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono juga terus anjlok. Pada Juli 2009 kepuasan publik terhadap kinerja Presiden/Wapres masih mencapai 90,4 persen. Awal 2010. kepuasan publik turun menjadi 74,5 persen. Pada Agustus 2010, tinggal 50,9 persen. Bulan Mei 2011 tingkat kepercayaan masyarakat menurun lagi menjadi 48,9 persen.

Ekonom Faisal Basri, menyatakan, kegagalan paling mencolok pascareformasi terjadi di bidang ekonomi. Pengangguran dan kemiskinan makin tinggi meski pemerintah melansir angka pengangguran dan angka kemiskinan mengalami penurunan. Hal itu kemungkinan yang membuat rendahnya kepuasan masyarakat terhadap reformasi. ”Kalau ini dibiarkan, reformasi akan menjadi Orde Baru jilid II,” ujarnya.

Pada 12 Mei 2012, Kantor Berita Radio Nasional menurunkan berita yang menyebutkan: “Hari ini 12 Mei 2012 genap 14 tahun reformasi yang diperjuangkan oleh mahasiswa dan masyarakat Indonesia. Gerakan reformasi tidak hanya mampu melengserkan rezim Soeharto dan kroni-kroninya namun juga menjadi angin segar untuk perubahan Indonesia menjadi lebih baik lagi. Reformasi yang harus dibayar mahal dengan jatuhnya korban tewas dari masyarakat sipil, kini dianggap gagal total. Agenda reformasi diantaranya adalah tegakkan supremasi hukum, dan ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN, tidak berjalan sebagai mana mestinya. Korupsi semakin menggurita dan penegakkan hukum masih pandang bulu.” (http://rri.co.id/index.php/detailberita/detail/18714).

Pada 13 September 2012, Mantan Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga (Menpora) Adhyaksa Dault melancarkan bukunya yang bertajuk 'Menghadang Negara Gagal (Sebuah Ijtihad Politik). Dalam bukunya, Adhyaksa mengungkapkan hasil penelitian dari organisasi Fund for Peace pada tahun 2011, yang mengatakan Indonesia termasuk salah satu negara dalam zona berbahaya. Dari penelitian itu, Indonesia ditempatkan pada peringkat 63 dari 178 negara. Berarti turun satu tingkat dari tahun 2011. Sebaliknya, negara-negara di kawasan ASEAN, menempati posisi yang lebih baik, seperti Singapura (posisi nke-157), Malaysia (posisi ke-110), dan Thailand (posisi ke-84). 

Salah satu sektor yang menikmati kebebasan besar di era reformasi adalah sektor media massa. Kebebasan di sektor ini begitu besar, sehingga nyaris tiada batas lagi. Namun, lagi-lagi, kebebasan yang nyaris tak terbatas ini pun akhirnya menuai kritik di kalangan internal pers sendiri. Pada 9 Desember 2010, www.republika.co.id menyiarkan berita bertajuk “Kebebasan Pers di Indonesia Dinilai Over Dosis.” Menurut pakar Komunikasi Politik Nasional, Prof Dr Tjipta Lesmana, dibandingkan dengan beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat dan Inggris, kebebasan pers di Indonesia adalah yang paling besar dan bahkan seolah-olah tidak memiliki batasan.

Di bidang politik, sistem pemilihan kepala daerah langsung (pilkadal) mulai dipertanyakan kebaikannya. Pada 7 Maret 2013, www.republika.co.id melaporkan, adanya 222 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi. Padahal, biaya untuk memilih seorang kepala daerah secara langsung sangatlah mahal, mencapai puluhan sampai ratusan milyar rupiah. 

Lingkaran Setan 

Reformasi telah bergulir, dan telah menyeret Indonesia ke pusaran “Lingkaran setan” liberalisme dalam berbagai bidang. Kondisi seperti ini sangat pelik. Kebebasan informasi telah mengubah pola pikir dan perilaku banyak warga bangsa, khususnya anak-anak muda-remaja kearah pola hidup hedonis yang serba permisif dan menjadikan para selebritis sebagai idola kehidupan. Dunia politik pun terimbas. Partai-partai politik seperti berlomba merangkul para artis terkenal, untuk meraih suara dari masyarakat. 

Ketika digulirkan, jargon reformasi menumbuhkan banyak harapan di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagaimana biasa dalam setiap peristiwa tumbangnya suatu rezim, muncul suatu euphoria dan semangat melawan segala sesuatu yang berbau rezim lama. Apapun yang berbau rezim sebelumnya seolah-olah salah. Rezim lama menjadi momok. Siapa pun jika dicitrakan sebagai bagian dari rezim lama, akan menghadapi suatu proses deligitimasi sosial politik yang sulit dikendalikan.

Seperti diektahui pada era akhir dekade 1980-an, rezim Orde Baru mengubah pendekatannya kepada umat Islam dari pola antagonistik menjadi pola akomodatif yang ditandai dengan penyerapan (akomodasi) berbagai aspirasi Islam ke dalam sistem dan kehidupan kenegaraan. Sebagai contoh adalah dicabutnya larangan berjilbab di sekolah-sekolah umum, didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), didirikannya Bank Muamalat Indonesia, juga disahkannya sejumlah Undang-Undang yang sebelumnya ditentang habis-habisan oleh kelompok non-Islam dan sekuler: seperti UU Peradilan Agama (No. 7 tahun 1989), UU Pendidikan Nasional (No. 2 tahun 1989), UU Perbankan (No.7 tahun 1992) yang mengakomodasi Bank Syariah, dan sebagainya.

Terlepas dari motif politiknya, politik akomodatif rezim Orde Baru merupakan hal yang positif dan disambut oleh kalangan Islam, yang selama dua dekade sebelumnya menjadi obyek deislamisasi dan sekulerisasi rezim Orde Baru. Sayangnya rezim Orde Baru gagal memperbaiki dirinya dalam soal kebobrokan demokrasi dan ketidakadilan ekonomi. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), telah menjadi kanker ganas yang sulit disembuhkan. Pondasi ekonomi negara yang rapuh akhirnya tidak mampu menahan serangan badai krisis moneter dan ekonomi sejak pertengahan tahun 1997. Krisis itulah yang kemudian semakin merajalela dan berujung pada tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.

Tentu saja tumbangnya Soeharto disambut dengan suka cita saat itu. Kehidupan politik semakin bergairah. Sistem politik Orde Baru yang serba tertutup, monolitik dan sentralistik digugat habis-habisan. Era reformasi dan demokratisasi dicanangkan dan terus digelindingkan. Berbagai jenis paham pemikiran bebas berkeliaran di benak publik. Penguasaan akses-akses informasi yang sangat kuat di tangan non-muslim dan kaum sekular menyebabkan semakin maraknya paham-paham sekuler-liberal di tengah masyarakat. Pada era seperti inilah, berbagai benih paham sesat dengan leluasa dan tanpa banyak rintangan tersebar dan bersemi di tengah masyarakat Muslim Indonesia. 

Salah satu paham yang sangat marak menyebar di Indonesia di era reformasi adalah paham liberalisme di kalangan umat Islam, yang dikenal sebagai paham “Islam liberal”. Paham ini telah sangat meresahkan umat Islam Indonesia, sehingga Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 mengeluarkan fatwa yang mengharamkan paham SEKULARISME, PLURALISME, DAN LIBERALISME – yang kemudian dikenal dengan singkatan paham “Sipilis”. Cakupan paham ini sangat luas, meliputi liberalisasi di bidang aqidah, al-Quran, dan syariat Islam. 

Kebebasan Kebablasan

Di era reformasi, isu Hak Asasi Manusia (HAM) semakin ramai digunakan untuk menyuarakan berbagai jenis kebebasan. Sayangnya, isu HAM ini seringkali digunakan untuk menjadi dasar penyebaran paham sesat dan penetapan peraturan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, tahun 2010, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendukung dicabutnya Undang-undang (UU) No 1/PNPS/1965, sebab UU tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 18 tentang Kebebasan Beragama. 

Padahal, UU No 1/PNPS/1965 mengatur tentang penodaan agama di Indonesia. Menurut UU ini, sesiapa saja yang melakukan penafsiran atas ajaran agama yang menyimpang dari ajaran-ajaran pokok suatu agama yang diakui di Indonesia (enam agama: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghuchu), maka dinyatakan telah melakan pidana (jinayat) dan dapat dipenjara selama lima tahun. 

Jika UU No. 1/PNPS/1965 itu dicabut, maka berbagai aliran sesat mendapatkan peluang yang makin besar untuk berkembang di Indonesia. Kita berharap, para aktivis HAM bersedia meletakkan al-Quran lebih tinggi ketimbang kitab Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sehingga tidak meletakkan prinsip kebebasan tanpa batas, sampai melanggar ajaran Islam. Alhamdulillah, gugatan kaum liberal itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga UU No 1/PNPS/1965 tetap berlaku. 

Meskipun gagal dalam mendukung pembatalan UU No 1/PNPS/1965, Komnas HAM masih melakukan pembelaan terhadap prinsip-prinsip HAM sekuler, misalnya dalam memperjuangkan hak tiap warga negara untuk melakukan praktik perkawinan sejenis (homoseks dan lebisn) dan melakukan perkawinan beda agama. Komnas HAM telah secara terbuka mendukung praktik nikah beda agama (NBA). Tahun 2005, bekerjasama dengan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Komnas HAM menerbitkan sebuah buku berjudul: Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Keagamaan, dan Analisis Kebijakan (editor: Ahmad Nurcholish dan Ahmad Baso). Tahun 2010, buku ini diterbitkan lagi untuk edisi kedua.

“Bagi ICRP, pernikahan adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dirintangi oleh siapa pun dan dengan alasan apa pun, sepanjang di dalamnya tidak ada unsur pemaksaan, eksploitasi, dan diskriminasi,” tulis Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, Ketua Umum ICRP. 

Komnas HAM meminta Kementerian Agama untuk mengimplementasikan penghapusan praktik segala bentuk diskriminasi atas dasar etnis, ras, budaya dan agama, terutama pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama dan keyakinan. Komnas HAM juga meminta agar Kompilasi Hukum Islam (KHI) No. 1 tahun 1991 dirumuskan ulang, sehingga dapat mengakomodasi pernikahan antara muslimah dengan laki-laki non-muslim. 

Atas nama HAM, Komnas HAM juga memberikan dukungan terhadap gerakan Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT). Tahun 2006, pakar HAM internasional yang berkumpul di Yogyakarta menghasilkan “Piagam Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles) yang mendukung pelaksanaan hak-hak kaum LGBT. 

****

Walhasil, menjelang 15 tahun perjalanan reformasi, kita kaum Muslim Indonesia, patut merenungkan dengan serius dan mengevaluasi apa yang telah dan sedang terjadi. Salah satu pelajaran penting: tidak sepatutnya kita dipatuk ular pada lobang yang sama. Seyogyanya tokoh-tokoh Muslim menentukan sendiri tujuan, sasaran, konsep, dan agenda-agenda perubahan, sesuai dengan amanah risalah Nabi Muhammad SAW. Tidaklah patut kaum Muslim terjebak lagi ke dalam agenda yang seolah-olah menjanjikan kebebasan dan kemajuan, padahal jelas-jelas merusak masyarakat dan mengadu domba sesama Muslim. 

Jargon-jargon reformasi yang digulirkan kadang tampak indah. Tapi, makna “reformasi” itu sendiri tidaklah jelas acuannya. Bagi Muslim, reformasi – atau perubahan apa pun – akan sia-sia jika tidak berdasarkan pada konsep Tauhid dan bertujuan membentuk manusia dan masyarakat yang adil dan beradab. Umat Islam jangan sampai tertipu dengan jargon dan janji-janji “reformasi” yang ternyata membawa agenda liberalisasi di berbagai bidang. 

Orang Muslim yang paham dan sadar akan agenda-agenda liberalisasi, pasti tidak rela menukar iman dan kedaulatan negaranya dengan kebebasan dan kenikmatan duniawi yang semu. Wallahu a’lam bish-shawab. (Jakarta, 15 Maret 2013).
Post ADS 1
Banner
Banner