“Kuliah Kemana?”


oleh: Dr Adian Husaini

DALAM beberapa waktu terakhir, banyak muncul pertanyaan dari sejumlah orangtua: “Anak saya baiknya kuliah kemana? Atau, “Apakah kuliah di universitas ini atau universitas itu bagus?”  Ada orangtua menyampaikan kasus; anaknya diterima di dua jurusan pada universitas yang berbeda. Mana yang harus dipilih? Dan seterusnya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu lazim bermunculan, khususnya usai ujian akhir tingkat SMA. Biasanya, pertanyaan itu muncul terkait dengan proyeksi orangtua atau pelajar tentang masa depan kehidupan dan karir mereka. Hingga kini, gambaran tentang profesi ideal bagi para pelajar termasuk di berbagai sekolah Islam, tampaknya masih belum banyak berubah.

Jurusan-jurusan  -- istilah sekarang ‘Program Studi’ – yang menjadi idola pelajar untuk dimasuki masih seperti masa-masa sebelumnya, yaitu Kedokteran, Akuntansi, Teknik Informatika, dan sebagainya.  Jurusan-jurusan ‘agama’ seperti Jurusan Dakwah, Tarbiyah, Ushuluddin, Tafsir-Hadits, dan sejenisnya belum menjadi tujuan utama para pelajar yang memiliki kualifikasi intelektual tertinggi di sekolahnya. Yang cukup ‘laku’ saat ini adalah jurusan Tarbiyah dan Ekonomi Islam, karena dianggap menjanjikan lapangan kerja yang cukup bergengsi.

Walhasil, sesuai dengan arahan berpikir para pejabat di bidang pendidikan, pembentukan suatu jurusan atau  program studi (Prodi) memang masih dikaitkan dengan urusan lapangan kerja atau karir profesi seseorang. Hal itu juga diberlakukan untuk ilmu-ilmu keagamaan (ulumuddin). Jika suatu perguruan tinggi hendak membuka suatu Prodi, maka disyaratkan untuk menjelaskan, lulusannya akan bekerja di mana.

Maka, tidak terlalu keliru jika dikatakan, lembaga pendidikan tinggi utamanya diarahkan untuk menjadi lembaga kursus atau balai latihan kerja. Karena itu, jangan heran, jika sekolah dan universitas kalah profesional dengan lembaga bimbingan belajar atau lembaga-lembaga kursus dalam menyiapkan tenaga kerja.  Lucunya, ada sekolah-sekolah – yang dikatakan --  unggulan masih menyewa lembaga bimbingan belajar untuk membantu siswanya agar lulus Ujian Nasional dengan baik.

Pola pikir pendidikan yang terlalu pragmatis dan materialis sebenarnya tidak sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga menyebutkan, bahwa Pendidikan Tinggi bertujuan: (a). berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; (b). dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa; (c). dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan (d). terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.”


*****

Begitulah tujuan pendidikan nasional di Indonesia, seperti tertulis secara resmi dalam Undang-undang. Jika dicermati, secara umum, tujuan itu sangat baik, yakni mencetak manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa. Masalahnya, apakah dalam aplikasinya, tujuan itu benar-benar diwujudkan?

Untuk mencapai tujuan pendidikan itulah maka diperlukan tiga unsur penting, yakni: guru/dosen, kurikulum, dan metode pembelajaran. Agar mencapai tujuan pendidikan, yakni membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa, maka haruslah disusun kurikulum yang bisa mengantarkan  anak didik kepada tujuannya.  Logisnya, kurikulum itu harus bersumber dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT). Karena itu, adalah hal yang aneh, jika tujuan pendidikan untuk membentuk manusia beriman dan bertaqwa, tapi kurikulum pendidikannya justru “menolak” wahyu sebagai sumber ilmu.

Contoh mudahnya, sebenarnya keliru dan janggal, mahasiswa Muslim di UI, ITB, IPB, UGM, Unair, ITS dan sebagainya, tidak diajarkan Ulumuddin secara memadai. Para mahasiswa Muslim tidak mempelajari Ulumul Quran, Ulumul Hadits, Ushul Fiqih, Bahasa Arab, Tarikh Islam, dan sebagainya.  Ilmu-ilmu wahyu (revealed knowledge) itu dianggap bukan ilmu (knowledge) sebab tidak bersifat rasional dan empiris.  Masih terjadi antara “ilmu umum” dan “ilmu agama”. Padahal, dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama sebenarnya merupakan model pendidikan warisan penjajah yang sudah out of date. Saat ini, di tingkat TK sampai SMA sudah banyak bermunculan Sekolah-sekolah Islam atau Pesantren Terpadu yang tidak lagi mendikotomikan antara ilmu-ilmu agama (ulumuddin) dan ilmu-ilmu rasional-empiris – yang dalam istilah sekarang disebut “ilmu-ilmu umum”.

Kurikulum pendidikan yang masih memandang wahyu Allah bukan sebagai sumber ilmu adalah kurikulum sekuler yang seyogyanya tidak dipaksakan kepada mahasiswa Muslim. Konsep kurikulum dalam Islam  mengintegrasikan antara ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu fardhu kifayah secara proporsional, sesuai dengan tujuan dan kemampuan pelajar/mahasiswa. Ilmu Fardhu ‘Ain adalah ilmu yang wajib dimiliki setiap Muslim, seperti ilmu aqidah Islam, ibadah wajib, dan sebagainya. Sedangkan ilmu Fardhu Kifayah adalah ilmu yang wajib dimiliki oleh sebagian Muslim; tidak seluruhnya, seperti ilmu pengobatan, elektronika, tekbik bangunan, ilmu komputer,  dan sebagainya.

Misalnya, untuk anak-anak Muslim super cerdas, bisa ditargetkan, sarjana lulusan UI, ITB, atau IPB, UGM,– minimal --  harus memahami aqidah Islam dan tantangan pemikiran kontemporer,  menghafal al-Quran 10 juz, menguasai bahasa Arab dengan bauk, memahami dasar-dasar Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan sebagainya,  ditambah dengan ilmu-ilmu empiris-rasional, sesuai dengan kebutuhan dan minatnya, seperti matematika, fisika, statistika, jurnalistik, akuntansi, kedokteran hewan, ilmu gizi, arsitektur, dan sebagainya.

Jadi, seharusnya, untuk mahasiswa Muslim, mereka bisa mendapatkan muatan kurikulum di Perguruan Tinggi dengan komposisi 50:50, yakni 50% ulumuddin (ilmu wahyu/revealed knowledge) dan 50%  ilmu-ilmu rasional-empiris.  Apakah ini mungkin? Kita jawab: sangat mungkin!  Itu sudah banyak terbukti di tingkat SMA. Kini, tidak sulit menemukan lulusan SMA yang sudah hafal al-Quran, menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan baik, sekaligus juga menguasai mata pelajaran sains kontemporer. 

Sayangnya, setelah mereka memasuki Perguruan Tinggi Umum, “ilmu wahyu” mereka tidak berkembang; bahkan mungkin berangsur-angsur memudar, karena tidak mendapatkan media untuk pengembangannya.

Karena itulah, sudah saatnya, Perguruan Tinggi di Indonesia memiliki Pusat Studi Islam yang kuat. Di berbagai Universitas di Barat saja, sejak ratusan tahun lalu sudah dijumpai pusat-pusat studi Islam yang canggih, meskipun semua itu dibentuk untuk tujuan orientalisme secara umum. 

Hanya saja, salah satu masalah besar yang dihadapi di Indonesia adalah digunakannya “metode liberal” dalam Studi Islam.  Yakni, metode pengkajian Islam ala orientalis, yang berselubung jargon “metode ilmiah” tetapi ujung-ujungnya menanamkan keraguan dan kebingungan terhadap kebenaran serta menjauhkan mahasiswa dari pembentukan akhlak mulia.

Model pendidikan ulumuddin metode orientalis itulah yang kini banyak dijumpai di Perguruan Tinggi. Yakni, pendidikan ulumuddin yang berselubung jargon ilmiah dan netral terhadap kebenaran. Metode semacam ini sangat meracuni pikiran, karena membuat seorang merasa benar dan bangga ketika ia tidak memihak antara yang haq dan yang bathil. Padahal, setiap Muslim dituntut untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. 

****

Nabi Muhammad saw  pernah menyampaikan sebuah pesan penting: “Manusia itu adalah barang tambang, laksana emas dan perak. Orang-orang terbaik  diantara mereka di masa Jahiliyah adalah orang-orang terbaik juga di masa Islam, apabila mereka faqih fid-ddin.” (Muttafaq 'alaih). Juga, sabda Nabi saw: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan maka Allah menjadikannya pandai mengenai agama (yufaqqih-hu fid-din) dan ia diilhami PetunjukNYa.” (Muttafaq 'alaih).

Kedua petunjuk Rasulullah saw itu sangat menarik untuk kita cermati. Bahwa, manusia itu laksana barang tambang, seperti emas dan perak. Allah memang menciptakan manusia dengan kualitas dasar dan potensi yang sama. Ada yang dikaruniai kecerdasan super tinggi seperti  Imam Syafii, al-Ghazai, Ibn Rusyd, Ibn Sina, BJ Habibie, dan sebagainya. Ada juga yang diberi potensi kecerdasan sedang-sedang saja. Ada juga yang diberi amanah ringan, berupa tingkat kecerdasan yang sangat rendah. Dengan perbedaan potensi itulah roda kehidupan manusia bisa berjalan.

Allah berfirman: Tsumma latus’alunna yaumaidzin ‘anin-na’im. (Sungguh kalian akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Kiamat nanti atas segala nikmat (yang Kami berikan)).

Orang-orang yang dikaruniai nikmat kecerdasan mendapatkan amanah yang lebih berat ketimbang orang yang kecerdasannya lebih rendah. Orang yang mendapatkan nikmat kekayaan, akan berbeda tanggung jawabnya dengan yang hidupnya serba kekurangan.

Karena itulah, orang yang dikaruniai potensi kecerdasan tinggi memiliki tanggung jawab keilmuan yang lebih tinggi dari orang lain dengan potensi kecerdasan di bawahnya. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, bahwa manusia adalah laksana barang tambang.  Manusia yang kualitasnya emas, di masa jahiliyah, akan menjadi emas juga di masa Islam. Dengan syarat, dia faham agama (mutafaqih fid-din). Sebab, orang yang faham agama adalah salah satu ciri tanda kebaikan yang dimilikinya. Lihatlah bagaimana seorang Umar bin Khathab, Khalid bin Walid, Amr bin Ash, dan sebagainya, yang sebelumnya adalah tokoh-tokoh musyrik Arab lalu menjadi orang-orang hebat setelah mereka memahami Islam dengan baik.

Maka, adalah sudah sepatutnya jika seorang mahasiswa Muslim memahami ulumuddin dengan baik dan juga memahami ilmu-ilmu empiris-rasional yang bisa dijadikan sebagai bekal untuk membangun kemandirian dirinya di masa mendatang.  Untuk mewujudkan itu, pemerintah berkewajiban memberikan jalan agar mahasiswa Muslim memahami ilmu pengetahuan secara proporsional. 

Struktur kurikulum di “Perguruan Tinggi Umum” yang  mengajarkan Pendidikan Agama Islam (PAI) hanya 2 SKS selama masa kuliah. Itu sangat jauh dari kurikulum ideal, dalam perspektif Islam. Seharusnya mahasiswa Muslim diberi kesempatan untuk melaksanakan kewajibannya menuntut ilmu agama dengan memadai. Sekali lagi, ini adalah kewajiban pemerintah sebagai pelaksanaan UU Pendidikan Tinggi.

Pada titik inilah kita bisa memahami, bahwa realitasnya, Pendidikan Tinggi kita masih dihegemoni dengan pola pikir sekuler yang menjauhkan para mahasiswa Muslim untuk mendapatkan ilmu secara benar dan proporsional.  Dalam kondisi seperti ini, menjadi kewajiban orangtua dan calon mahasiswa Muslim untuk memahami konsep ilmu dalam Islam. Bahwa, kewajiban utama seorang Muslim adalah mencari ilmu (thalabul ilmi). Kuliah di Perguruan Tinggi harus dimaknai sebagai salah bentuk thalabul ilmi.  Karena itu, pertanyaan yang tepat bukan “kuliah dimana?” tetapi yang tepat adalah “ilmu apa yang wajib saya pelajari?”

Dengan memahami konsep ilmu dalam Islam, seorang mahasiswa Muslim yang belajar di Fakultas Kedokteran Hewan, Teknik Arsitektur, dan sebagainya, akan paham ilmu-ilmu apa lagi yang wajib ia pelajari di luar kurikulum resmi di kampusnya?  Sesuai dengan potensi dan kesempatannya, si mahasiswa wajib mempelajari ilmu-ilmu yang dapat meningkatkan dan menjaga keimanannya, untuk menjalankan ibadah dengan benar, dan juga untuk membekali dirinya dengan berbagai kemampuan yang menjadikannya sebagai juru dakwah yang mumpuni.

Dari sinilah kita memahami betapa pentingnya para orangtua memahami konsep ilmu dan ilmu pendidikan Islam. Tujuannya, agar ia dapat mendidik atau mengarahkan pendidikan anak-anaknya sesuai dengan tuntunan Islam. Dalam istilah Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas, pendidikan adalah proses ‘ta’dib’ yang bertujuan melahirkan manusia beradab. Untuk itu, sangat penting memahami konsep adab dalam Islam, agar tujuan pendidikan dapat tercapai.

Jurnal Islamia-Republika (16/5/2013) kerjasama INSISTS-Republika, menurunkan laporan utama sebanyak tiga halaman tentang kurikulum pendidikan yang baik dalam Islam. Salah satu artikel yang menarik ditulis oleh Muhammad Ardiansyah berjudul "Kurikulum Adab dalam Syair Imam Syafii."  Artikel itu menarik untuk kita simak, sebagai bekal kita dan para orangtua, juga calon mahasiswa yang akan menuntut ilmu.

Berikut ini beberapa adab dalam mencari ilmu dalam syair-syair Imam Syafi’i  yang dikutip dari Kitab Diwân al-Imâm al-Syâfi’i karya Muhammad Abdurrahim (Beirut:Dar al-Fikr, 1995).

(1) Ikhlas Karena Allah: “Siapa menuntut ilmu untuk meraih kebahagiaan negeri akhirat; ia kan beruntung meraih kemuliaan dari Allah yang Maha Pemberi Petunjuk; Maka dia pun akan meraih kebaikan yang berasal dari hamba-Nya”

(2) Meninggalkan Perbuatan Dosa: “Aku  mengadu kepada Wakî' tentang kelemahan hafalanku;  ia pun memberikan nasehat Agar aku meninggalkan maksiat; Ia memberitahuku pula bahwa ilmu itu cahaya; dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang maksiat.”

(3) Menuntut Ilmu Sejak Dini: “Siapa yang kehilangan waktu belajar pada waktu mudanya;  takbirkan dia empat kali; anggap saja ia sudah mati. Seorang pemuda akan berarti apabila ia berilmu dan bertaqwa; Jika dua hal itu tiada, pemuda pun tak bermakna lagi.”

(4) Mencatat Setiap Ilmu yang dipelajari: “Ilmu itu bagaikan binatang buruan, dan menulis adalah pengikatnya;  ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat; Sebab diantara bentuk kebodohan, engkau memburu seekor rusa;  lalu kau biarkan rusa itu bebas begitu saja.”

(5) Sabar Dibimbing Guru: “Sabarlah dengan sikap guru yang terasa pahit di hatimu;  sebab kegagalan itu disebabkan meninggalkan guru. Barangsiapa yang tak mau merasakan pahitnya menuntut ilmu sesaat; sepanjang hidupnya ia akan menjadi orang hina karena kebodohannya.”

(6) Manajemen Waktu yang Baik: “Takkan ada seorang pun yang akan mencapai seluruh ilmu;  takkan ada, meskipun ia terus berusaha seribu tahun lamanya. Sesungguhnya ilmu itu bagaikan lautan yang sangat dalam, sebab itu ambilah semua yang terbaik dari ilmu yang ada.” 

(7) Menikmati Ilmu yang Dipelajari: “Malam-malamku untuk mempelajari ilmu terasa lebih indah daripada bersentuhan dengan wanita cantik dan aroma parfum. Mata penaku yang tertuang dalam lembaran-lembaran kertasku lebih nikmat daripada bercinta dan bercumbu. Menepuk debu-debu yang menempel di lembaran-lembara kertasku lebih indah suaranya daripada tepukan rebana gadis jelita.” 

(8) Bergaul dengan Orang Berilmu dan Saleh: “Bergaullah dengan orang-orang berilmu dan bertemanlah dengan orang-orang saleh diantara mereka; sebab berteman dengan mereka sangat bermanfaat dan bergaul dengan mereka akan membawa keuntungan. Janganlah kau merendahkan mereka dengan pandanganmu; sebab mereka seperti bintang yang memberi petunjuk, tak ada bintang yang seperti mereka

(9) Mengembara Mencari Ilmu: “Mengembaralah! Engkau akan mendapat sahabat-sahabat pengganti sahabat-sahabat yang ditinggalkan. Bekerja keraslah, karena kelezatan hidup adalah dalam bekerja keras. Saya berpendapat bahwa air jika tetap di suatu tempat, ia akan busuk. Jika ia mengalir barulah ia bersih, dan kalau tidak mengalir akan menjadi kotor. Singa,  jika tidak keluar dari sarangnya, ia tak akan dapat makan. Anak panah jika tak meluncur dari busurnya ia takkan mengena.” 

(10) Menghargai Pendapat Orang Lain: “Jika anda benar-benar memiliki ilmu dan pemahaman  tentang ikhtilaf ulama dulu dan sekarang. Maka hadapilah lawan diskusimu dengan tenang  dan bijak; jangan sombong dan keras kepala

(11) Tak Pernah Puas dengan Ilmunya: “Setiap aku mendapat pelajaran dari masa, setiap itu pula aku tahu segala kekurangan akalku. Setiap ilmuku bertambah Setiap itu pula bertambah pengetahuanku akan kebodohanku.” 

Demikianlah adab mencari ilmu rumusan Imam Syafii rahimahullah, yang kiranya bisa dijadikan panduan oleh para mahasiswa menuntut ilmu, dimana pun ia kuliah. Semoga bermanfaat. Amin.*/Kuala Lumpur, 21 Mei 2013

Penulis Ketua Program Doktor Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Post ADS 1
Banner
Banner